Jalan-Jalan dengan Rumah Berjalan
Di negara dengan beragam kekayaan wisata alam, seperti Amerika Serikat, tren penggunaan mobil karavan cukup tinggi. Hal serupa terjadi di Eropa. Di Indonesia, penggunaan mobil karavan dapat menambah jumlah turis.
Destinasi wisata berbasis kekayaan alam Indonesia sangat bervariasi dan indah. Namun, sebagian besar popularitas kawasan itu rendah karena persoalan akomodasi. Wisata dengan mobil karavan dapat menjadi salah satu solusinya.
Indonesia merupakan negara dengan beragam potensi keindahan alam. Masuk dalam wilayah negara cincin api, menurut catatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Indonesia memiliki sekitar 400 gunung berapi dengan 129 di antaranya masih aktif. Deretan gunung berapi ini menyuguhkan panorama indah.
Di daerah pesisir, Indonesia memiliki terumbu karang terkaya di dunia. Sebagai salah satu negara terbesar dalam Kawasan Segitiga Koral, dalam dua dekade terakhir ini Indonesia memiliki 50.875 kilometer persegi terumbu karang. Dengan angka sebesar itu, LIPI menyebutkan 18 persen dari total kawasan terumbu karang dunia berada di Indonesia.
Dari sisi daya tarik kekayaan budaya, Indonesia memiliki beragam suku bangsa. Menurut sensus BPS tahun 2010, tercatat ada 1.128 suku bangsa yang terangkum dalam 31 kelompok yang tersebar di Indonesia. Keragaman suku bangsa yang khas Indonesia ini menciptakan ribuan hasil karya cipta bercorak produk budaya, seperti tarian, alat musik, dan makanan khas.
Meski demikian, daya saing pariwisata Indonesia ternyata masih kalah dari negara tetangga. Di Asia Tenggara saja, Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand yang masing-masing berada di peringkat 17, 29, dan 31. Dalam The Travel and Tourism Competitiveness Report 2019 World Economic Forum, Indonesia masih berada di peringkat ke-40 dari 140 negara yang diukur.
Dengan rentang skor 1 hingga 7, Indonesia mendapatkan angka 4,3. Skor daya saing ini dihitung dari sejumlah pilar yang menggambarkan kondisi masing-masing negara. Rapor merah Indonesia banyak terdapat pada soal infrastruktur bandara, pelabuhan, dan transportasi darat, serta yang paling rendah ialah infrastruktur layanan turis.
Kondisi ini juga terlihat dari statistik sajian BPS terhadap obyek daya tarik wisata di Indonesia. Diketahui, hingga tahun 2018 sudah ada 2.896 daya tarik wisata (DTW) di Indonesia yang terbagi dalam enam jenis. Di antaranya, 699 daya tarik wisata alam (DTA) dengan proporsi jumlah pengunjung terbanyak. Pada tahun yang sama, jumlahnya mencapai 85,4 juta wisatawan.
Meski sudah banyak menarik pengunjung, sebagian besar DTA itu belum menyediakan fasilitas layanan untuk turis. Fasilitas yang belum tersedia ini mulai dari asuransi pengunjung yang baru 44,1 persen dari total DTA, restoran atau rumah makan (43,4 persen), jasa pramuwisata (42,5 persen), prosedur operasi standar (38,9 persen), hingga toko cinderamata (38,3 persen).
Minimnya fasilitas-fasilitas ini dapat mengurangi minat wisatawan untuk kembali berkunjung di DTA yang sama. Inisiatif untuk merekomendasikan DTA pada orang lain juga bisa menjadi rendah.
Rumah berjalan
Salah satu solusi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut ialah wisata mobil karavan. Pertimbangannya, menurut data BPS yang sama, sebanyak 89,0 persen DTA sudah memiliki area parkir. Fasilitas ini mengindikasikan mayoritas DTA di Indonesia telah memiliki akses jalan yang dapat dilewati kendaraan bermotor.
Meski belum dapat mengakomodasi semua fasilitas di DTA, mobil karavan setidaknya dapat memenuhi kebutuhan penting wisatawan. Kebutuhan itu, misalnya, beristirahat dengan menggunakan kasur di dalam mobil. Kebutuhan makan minum juga bisa dipenuhi dengan dapur mini di mobil. Adapun kebutuhan MCK dapat dipenuhi dengan memanfaatkan fasilitas yang sudah tersedia di 90,6 persen DTA.
Sebagai perbandingan, di negara dengan beragam kekayaan wisata alam, seperti Amerika Serikat, tren penggunaan mobil karavan cukup tinggi. Menurut data yang dihimpun RV Industry Association, penjualan mobil karavan di Amerika Serikat sepanjang 2019 sebanyak 46.600 unit. Dalam lima tahun terakhir, tahun tersebut belum menorehkan penjualan tertinggi. Penjualan tertinggi terjadi pada 2017, yakni 62.600 unit.
Fenomena serupa berlangsung di Eropa, bahkan dengan tren yang lebih baik. Menurut European Caravan Federation, pada tahun 2019, jumlah registrasi mobil karavan baru di Eropa sebanyak 131.900 unit. Berbeda dengan AS, tren penggunaan mobil ini di Eropa terus meningkat dari tahun 2015 yang baru mencapai 81.500 unit.
Maraknya pengguna mobil karavan tidak lepas dari ketersediaan berbagai jenis kendaraan itu berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan sarana infrastruktur jalan raya. Di dalam tulisan Difference: Class A vs. Class B vs. Class C Motorhomes (RV Wholesale Superstore, 2016), mobil karavan, yang di AS biasa disebut motorhome, dibagi menjadi tiga jenis, yaitu class A, B, dan C.
Class A merupakan motorhome paling mewah dan paling besar. Biasanya dibangun pada rangka kendaraan besar, seperti truk atau bus komersial. Berbagai fasilitas ada di dalam mobil ini, seperti dapur, ruang makan, ruang keluarga dengan TV besar, kamar mandi, kamar tidur utama permanen, hingga mesin cuci.
Class B merupakan motorhome dengan ukuran paling kecil dan sangat mirip mobil van biasa. Memiliki ruang kabin yang relatif kecil, maka berbagai fasilitas yang tersedia di dalamnya dibuat seminimalis mungkin, portabel, dan multifungsi. Class C berada di antara class A dan class B, dibangun di sasis truk atau mobil van kargo.
Tren di Indonesia
Mobil karavan di Indonesia belum berkembang masif seperti di AS dan Eropa. Karavan masih lebih banyak dijadikan wisata berkonsep glamping (glamour camping) yang ditawarkan sejumlah operator. Contohnya, Caravan Safari Lodge di Taman Safari Bogor yang sudah ada sejak 1990. Memanfaatkan rangka asli karavan gandeng, interior didesain sedemikian rupa hingga muat untuk empat orang.
Jauh sebelumnya, pada 5 September 1965, tiga mahasiswa Indonesia berangkat keliling dunia dengan kapal London Breeze menuju Port Said. Dipimpin Hang Djojosubroto, kegiatan selama 11 bulan itu menggunakan mobil Volkswagen-Combi. Selain untuk mengenal negara-negara lain, mereka juga membawa tugas mulia menjelaskan perjuangan dan revolusi Indonesia (Kompas, 7/9/1965).
Baca juga: Mari, Kejar ”Sunrise” hingga Puncak Gunung Lokon
Volkswagen-Combi buatan Jerman kala itu memang menjadi primadona. Bentuknya yang monospace dapat digunakan berbagai keperluan, termasuk mobil karavan. Menurut catatan Kompas, setelah Combi, mobil model ini mulai bermunculan di Indonesia awal tahun 90-an menggeser segmen pasar station wagon. Wujudnya berupa kehadiran minivan Daihatsu Zebra Espass tahun 1995.
Kini ditemukan di jalanan Indonesia berbagai jenis mobil van dan minivan yang dimodifikasi menjadi motorhomes class B baik secara pribadi maupun oleh pelaku usaha wisata. Mereka, antara lain, usaha persewaan Indocamper Van dengan armada Hyundai H-1 dan KIA Pregio. Ada juga Jogja Camper Van dengan VW Combi dan Suzuki APV.
Baca juga: Surga Tertinggal di Morotai
Tren ini merupakan tanda yang baik khususnya di masa pandemi. Mobil karavan dapat menjadi salah satu cara membangkitkan kembali dunia pariwisata di Indonesia. Selain relatif lebih higienis karena hanya berisi orang-orang terdekat, biayanya dapat lebih terjangkau karena biaya akomodasi lain dapat ditekan.
Hal itu kian didukung dengan jangkauan infrastruktur jalan di Indonesia yang semakin baik. Hingga 25 Agustus 2020, Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian PUPR mencatat sudah ada 57 ruas jalan tol dengan total panjang 2.166,2 km yang telah beroperasi. Infrastruktur itu tidak hanya berada di Pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Hal itu membuka peluang mobil karavan bermobilitas hingga antarpulau Jawa-Sumatera.
(Litbang Kompas)