Kelemahan sistem "cost recovery" menyebabkan pemerintah mengubah kebijakan. Regulasi yang menghambat investasi migas dipangkas dan Indonesia mengubah sistem kontrak "cost recovery" menjadi "gross split".
Oleh
Budiawan Sidik Arifianto
·5 menit baca
Mengubah aturan menjadi lebih fleksibel merupakan pilihan terbaik bagi pemerintah dan pengusaha agar sama-sama memperoleh manfaat dari sumber daya alam minyak serta gas yang dimiliki Indonesia.
Sejak Indonesia melakukan bisnis hulu migas tahun 1960-an, mekanisme product sharing contract (PSC) cost recovery selalu menjadi satu-satunya pilihan kerja sama dengan kontraktor hulu migas. PSC merupakan skema bagi hasil yang diperoleh masing-masing pihak setelah dikurangi biaya produksi yang dikeluarkan oleh investor dalam sebuah periode waktu.
Skema cost recovery bertujuan merangsang minat investor untuk menanamkan modal di bisnis hulu migas. Semakin banyak investor migas di Indonesia, target lifting (produksi siap jual) minyak pemerintah kian mudah tercapai. Skema ini juga mendorong pengembangan wilayah kerja baru untuk memperkuat cadangan migas nasional.
Namun, dalam skema cost recovery, ada beban biaya operasi (cost) yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam laporan Direktorat Jenderal Migas tahun 2019 disebutkan, skema cost recovery juga sarat muatan birokratis. Akibatnya, kontraktor kurang leluasa menerapkan teknologi yang berkembang sangat pesat.
Situasi global menyebabkan pula harga minyak dunia berfluktuasi. Ketika harga minyak turun, timbul potensi risiko kerugian investasi migas. Harga minyak yang dihasilkan tak sebanding dengan harga jual di pasaran. Bagi pemerintah, hal itu lebih berisiko lagi karena harus tetap mengganti cost recovery yang nilainya relatif tetap di tengah harga minyak dunia yang menurun.
Dampaknya, Indonesia mengalami kerugian untuk pertama kalinya dalam sejarah industri hulu migas di tahun 2015 dan 2016. Besaran cost recovery lebih tinggi daripada penerimaan migas. Kondisi itu merupakan tantangan yang berat bagi industri migas di Indonesia.
Sistem ”gross split”
Kelemahan sistem cost recovery menyebabkan pemerintah melakukan sejumlah perubahan kebijakan. Regulasi yang menghambat investasi migas dipangkas dan Indonesia mengubah sistem kontrak cost recovery menjadi gross split.
Sistem gross split merupakan skema dengan perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor migas yang dilakukan pada awal. Melalui skema ini, negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi serta eksploitasi sehingga penerimaan negara lebih pasti (Indonesiabaik.id).
Kebijakan tersebut digulirkan pada tahun 2017 melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017. Skema baru ini bertujuan mendorong usaha eksplorasi dan eksploitasi lebih efektif serta efisien. Kontraktor migas dan industri terkait menjadi lebih kuat menghadapi gejolak harga minyak yang fluktuatif setiap saat.
Sistem ini mendorong pula proses bisnis kontraktor migas dan SKK Migas lebih sederhana serta akuntabel. Skema gross split ikut mendorong kontraktor migas untuk mengelola biaya operasi dan investasinya dengan berpijak kepada sistem keuangan korporasi tiap-tiap investor, bukan sistem keuangan negara.
Mekanisme carry forward digunakan pemerintah agar kewajiban pajak di masa mendatang dapat memperhitungkan kerugian yang dialami saat ini. Dalam kebijakan itu, kerugian yang dialami oleh suatu perusahaan dapat mengurangi penghasilan kena pajak selama jangka waktu tertentu di masa mendatang. Dengan demikian, pelaku usaha dapat menikmati insentif pajak tersebut ketika sudah memperoleh keuntungan.
Investasi menurun
Sayangnya, kehadiran skema baru belum diikuti dengan peningkatan investasi di sektor hulu migas. Sepanjang tahun 2011-2019, realisasi investasi di sektor hulu dan hilir rata-rata mengalami penurunan hingga sekitar 3 persen atau senilai hampir 700 juta dollar AS per tahun.
Penurunan terbanyak berasal dari subsektor hulu dengan besaran penurunan rata-rata sekitar 2,5 persen atau setara 527 juta dollar AS setahun. Kondisi serupa terjadi di subsektor hilir, tetapi dengan besaran penurunan lebih kecil, yakni sekitar 1 persen atau berkisar 164 juta dollar AS.
Penurunan investasi di subsektor hulu sangat berpengaruh pada investasi sektor migas secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena subsektor hulu merupakan kontributor terbesar dalam investasi migas.
Setiap tahun, rata-rata sebesar 91 persen investasi migas berasal dari subsektor hulu. Dengan demikian, fluktuasi investasi subsektor hulu berpengaruh besar pada perkembangan investasi sektor migas secara keseluruhan.
Pada tahun 2015-2019, wilayah kerja migas yang ditawarkan pemerintah mendapat respons sangat minim dari investor. Pada penawaran wilayah kerja konvensional, dari 100 persen penawaran, setiap tahun rata-rata hanya sekitar 30 persen yang berujung pada penandatanganan kontrak.
Di wilayah kerja nonkonvensional, animo investor untuk berinvestasi jauh lebih sedikit lagi. Pada tahun 2017-2019, tak ada satupun investor yang mau berinvestasi di wilayah kerja tersebut. Padahal, pemerintah sudah mengajukan penawaran setidaknya untuk dua wilayah kerja kepada investor tiap tahun. Namun, lagi-lagi respons positifnya nihil.
Kerja sama fleksibel
Kondisi tersebut menunjukkan iklim investasi hulu migas di Indonesia tidak menarik investor. Maka, mengubah aturan menjadi lebih fleksibel menjadi solusi terbaik untuk mendapatkan manfaat sumber daya alam secara optimal bagi kedua belah pihak.
Maka, pada tahun ini keluar aturan baru sebagai kelanjutan kebijakan gross split. Pada Juli lalu, pemerintah menerbitkan Permen ESDM No. 12/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Peraturan ini menegaskan pemberlakuan bentuk kerja sama yang fleksibel dalam operasi pertambangan minyak dan gas. Bentuk kontrak kerja sama bagi hasil antara pemerintah dan investor dapat berupa gross split atau dengan mekanisme cost recovery.
Kebijakan ini merupakan solusi alternatif dari pemerintah agar investor tertarik berinvestasi mengembangkan pertambangan migas di Indonesia. Investor serta pemerintah sama-sama mendapat keuntungan yang sepadan dari kegiatan tersebut.
Dengan aturan fleksibel, investor dihadapkan pada dua pilihan. Dengan sistem PSC, rasio penerimaan negara dari migas dengan split minyak ialah 85 persen berbanding 15 persen, sedangkan untuk gas ialah 70 persen berbanding 30 persen. Apabila sistem gross split dipilih, pembagian untuk pemerintah dan investor berada pada kisaran 30 persen berbanding 70 persen, serta terus turun seiring menurunnya penerimaan migas nasional.
Dengan pola pembagian keuntungan dan risiko yang lebih fleksibel ini, diharapkan semakin banyak investor yang kembali tertarik untuk mengeksplorasi industri di sektor minyak dan gas bumi demi terpenuhinya tujuan perbaikan iklim investasi migas Indonesia.