Pulau Komodo untuk Siapa?
Pulau Rinca disiapkan menjadi destinasi wisata premium dengan pendekatan konsep ”geopark”, yakni pembangunan wilayah terpadu yang mengedepankan perlindungan dan penggunaan warisan geologi dengan cara yang berkelanjutan.
Rencana pemerintah menjadikan Pulau Rinca (Taman Nasional Komodo) sebagai kawasan wisata superpremium mendapat sorotan. Sejatinya, untuk siapakah proyek di lahan konservasi kebanggaan Indonesia ini?
Pembangunan pariwisata di Flores dan sekitarnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) bermula dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Dalam MP3EI, wilayah NTT ditempatkan sebagai fokus utama industri pariwisata bersama dengan Bali dan Nusa Tenggara Barat.
Strategi ini semakin dimatangkan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional serta rencana program Infrastructure for Tourism.
Pemerintah berpijak pada konsep leisure economy yang dipopulerkan Linda Nazareth melalui bukunya, The Leisure Economy: How Changing Demographics, Economics, and General Attitudes Will Reshape Our Lives and Our Industries (2007). Singkatnya, leisure economy dilukiskan sebagai fenomena pergeseran pola konsumsi masyarakat secara global, dari konsumsi berbasis barang (good based consumption) ke arah model konsumsi berbasis pengalaman (experience based consumption). Tepat di sinilah, pemerintah melihat peluang besar bagi destinasi wisata di Indonesia.
Dari sejumlah kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) di NTT, Labuan Bajo (terutama wilayah Pulau Rinca dan Pulau Komodo) menjadi daerah yang kini disorot. Penyebabnya, rencana pembangunan infrastruktur di wilayah itu bersinggungan langsung dengan wilayah habitat komodo (Varanus komodoensis) yang menjadi kebanggaan Indonesia. Komodo hanya ada di Indonesia dan menyandang status terancam punah.
Pemerintah memandang kekayaan hayati di pulau ini merupakan aset berharga bagi pengembangan pariwisata dan mendongkrak pendapatan negara di sektor tersebut. Posisi Labuan Bajo merupakan titik awal menuju lokasi Taman Nasional Komodo (TNK). Dari sana, jarak menuju Pulau Komodo sekitar 50 kilometer dan menuju Pulau Rinca sekitar 40 kilometer.
Selain itu, Labuan Bajo masuk ke dalam salah satu kawasan pariwisata superprioritas dengan empat program besar di dalamnya. Keempatnya meliputi program Bina Marga, Program Cipta Kerja, Program Perumahan, dan Program Sumber Daya Air.
Pulau Rinca menurut rencana menjadi destinasi wisata premium dengan pendekatan konsep geopark. Maksudnya, pembangunan wilayah terpadu yang mengedepankan perlindungan dan penggunaan warisan geologi dengan cara yang berkelanjutan. Melalui Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menganggarkan Rp 69,96 miliar untuk menata kawasan Pulau Rinca dengan segala bangunan yang menunjang keperluan wisata.
Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Labuan Bajo Flores menyatakan bahwa tujuan lain dari pengembangan pariwisata ini ialah meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Shana Fatina, Direktur Utama Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores, mengatakan, pembangunan ini akan memasukkan elemen-elemen percampuran budaya yang mewarnai Labuan Bajo dan Flores.
Ada banyak proyeksi gemilang dari pemerintah mengenai destinasi premium tersebut. Akan tetapi, rencana dan eksekusi proyek pembangunannya ditentang oleh sejumlah kelompok masyarakat lokal dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Di sinilah jalan tengah dibutuhkan untuk menjembatani kepentingan semua pihak.
Penolakan
Penolakan terjadi sejak 2019 ketika pemerintah setempat memindahkan penduduk Desa Pasir Panjang di Pulau Rinca. Warga asli berasal dari suku Komodo dan suku Bajo. Padahal, sejak zaman nenek moyang, mereka telah hidup berdampingan dengan komodo.
Menurut Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, para penghuni Pulau Komodo tidak mempunyai hak kepemilikan atas lahan yang mereka tempati. Justru dengan relokasi, penduduk dapat mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Di sisi lain, ekosistem alami akan kembali berkembang dan dapat meningkatkan populasi komodo. Hingga kini, proses relokasi masih dibiarkan bergulir.
Dengan proyek ini, muncul ketakutan terjadinya privatisasi wilayah oleh pihak swasta. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor 21/IV-Set/2012 tertanggal 24 Februari 2012, TNK memiliki luasan 173.300 hektar, terdiri dari 34.311 hektar zona inti dan 22.187 hektar zona rimba.
Dari 173.000 hektar tersebut, terdapat 447,170 hektar yang pengelolaannya akan diserahkan kepada swasta. Rinciannya, PT Segara Komodo Lestari berhak atas 22,1 hektar atau 0,1 persen dari luas Pulau Rinca. Ada pula PT Komodo Wildlife Ecotourism yang berhak atas 274,13 hektar atau 19,6 persen luas Pulau Padar dan 151,94 hektar atau 0,5 persen dari luas Pulau Komodo.
Menanggapi isu itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa tidak ada upaya privatisasi kawasan. KLHK menegaskan bahwa izin ini berada di ruang usaha pada zona pemanfaatan. Prosedur penerbitan izin kedua perusahaan juga sudah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan dibukanya izin pembangunan oleh pihak swasta ini, masyarakat setempat cemas akan bahaya kerusakan lingkungan sekitar dan kawasan yang mereka huni saat ini. Misalnya, dilakukan penggalian sumur bor untuk mengambil air demi kebutuhan hotel dan infrastruktur lainnya, sementara NTT masih rentan bencana kekeringan air setiap tahun.
Dalam wawancara National Geographic Indonesia, pemandu wisata dan jagawana Aloysius Suhartim menuturkan bahwa daerah Pulau Rinca dan Pulau Padar paling kering di TNK. Sumur bor dapat menyebabkan terganggunya sirkulasi air bawah tanah.
Baca juga : Jeritan Pencinta Komodo Flores Tenggelam di Balik Argumentasi Analisis Iptek
Ada pula area mangrove yang sudah dibabat untuk dibangun sarana ekowisata. Menurut Aloy, area mangrove itu merupakan habitat monyet yang tidak lain makanan komodo. Area tersebut juga menjadi tempat tinggal bayi komodo untuk berjemur dan berlindung dari mangsa induknya karena komodo merupakan satwa kanibal.
Jika melihat kembali rencana KSPN, terdapat dua pulau lagi yang disasar, yakni Pulau Muang dan Bero (Pulau Rohbong). Keduanya terletak di antara Pulau Rinca dan Golo Mori. Dua pulau ini masing-masing menjadi zona rimba dan zona inti TNK. Pulau Muang merupakan tempat bertelur penyu, sementara Pulau Bero atau Rohbong menjadi habitat kakaktua kecil jambul kuning.
Baca juga : Silang Pendapat Penutupan Taman Nasional Komodo Resahkan Pelaku Pariwisata
Sejumlah permasalahan tersebut belum menggambarkan konflik sepenuhnya yang terjadi di tanah komodo seiring berlangsungnya proyek KSPN di NTT. Desakan penolakan proyek KSPN ini masih disuarakan. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang tepat.
Maka, proyek KSPN berhadapan dengan dilema antara kepentingan mendongkrak pendapatan negara dan usaha konservasi lingkungan serta pembangunan masyarakat setempat. Perlu ada mediasi dan pembangunan berbasis lingkungan hidup yang didasari penelitian yang akurat. Jangan sampai percepatan ekonomi mengorbankan kepentingan masyarakat setempat dan kelestarian alam.
(LITBANG KOMPAS)