Membangun Kawasan Wisata Tanpa Merusak
Pembangunan lokasi wisata harus mengedepankan keselamatan lingkungan. Mempertemukan kepentingan wisata dengan aspirasi masyarakat setempat menjadi solusi agar sektor wisata memiliki nilai ekonomi dan sosial,
Penolakan terhadap pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional mencuat di jagat maya. Twitter diramaikan oleh tagar-tagar penolakan menyusul adanya rencana pembangunan kawasan wisata di Pulau Rinca yang dikhawatirkan akan merusak habitat komodo.
Namun, penolakan terhadap rencana pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional ternyata sudah banyak muncul jauh sebelumnya. Kehati-hatian dalam pembangunan maupun pengelolaan kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) serta dukungan sumber daya manusia setempat akan sangat menentukan keberlangsungan lingkungan wisata di masa mendatang.
KSPN merupakan program nasional yang menjadi prioritas kabinet kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dalam dokumen Nawacita, khususnya pembahasan Sektor Prioritas Pembangunan Kabinet Kerja, JKW-JK, sektor pariwisata adalah prioritas kelima, setelah infrastruktur, maritim, energi, dan pangan.
Secara normatif, berdasarkan Lampiran III Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional 2010-2025, ditetapkan 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di Indonesia. Dari 88 lokasi, ditetapkan 10 destinasi prioritas dengan jargon kampanye ”Menciptakan 10 Bali Baru”.
Dalam perkembangannya, muncul lima KSPN super prioritas, yakni Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Manado-Bitung-Liukupang. Alokasi anggaran yang digunakan PUPR dalam mendukung 5 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Super-Prioritas dalam APBN 2020 mencapai 4,89 triliun,
Sebagai salah satu lokasi superprioritas, pemerintah berencana membangun KSPN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satunya adalah pembangunan ”Jurassic Park” di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat.
Pulau ini hendak dijadikan destinasi wisata premium dengan pendekatan konsep geopark atau wilayah terpadu yang mengedepankan perlindungan dan penggunaan warisan geologi dengan cara yang berkelanjutan.
Namun, pembangunan Jurassic Park tidak berjalan mulus. Di Twitter, sejak 26 Oktober muncul tagar Jurassic Park, #SaveKomodo, #savekomodo, #SelamatkanKomodo, dan Pulau Rinca bergantian menghiasi trending topik Indonesia. Tagar Komodo bahkan mencapai 130.000 cuitan pada 26 Oktober hingga pukul 20.10 WIB. Sementara tagar #savekomodo menjadi trending topic mencapai 59.000 cuitan pada 26 Oktober 2020.
Bahkan, belakangan muncul petisi penolakan pembangunan kawasan wisata itu yang digagas di Twitter berjudul Cabut Izin Pembangunan Investor Asing/Swasta di Kawasan Taman Nasional Pulau Komodo. Petisi itu telah ditandatangani lebih dari 300.000 orang dan ditargetkan 500.000 orang untuk menandatanganinya.
Pembangunan KSPN dinilai berdampak buruk bagi kelangsungan hidup komodo. Petisi untuk menyelamatkan komodo pun menggema. Pembangunan Jurassic Park di Pulau Rinca dinilai bukan jalan untuk membuat kunjungan wisata ke Taman Nasional Komodo lebih menarik wisatawan.
Persoalan manajemen, promosi, dan pengemasan wisata komodo selama ini dinilai menjadi penyebabnya. Pembuatan taman buatan seperti Jurassic Park dinilai tidak sebanding dengan status Pulau Rinca sebagai satu-satunya tempat di dunia yang menjadi habitat komodo.
Penolakan terhadap rencana pembangunan KSPN di sejumlah wilayah wisata prioritas sesungguhnya sudah lama muncul dari berbagai pihak. Pembangunan KSPN dinilai hanya berorientasi pada infrastruktur wisata, tetapi melupakan dampak lingkungan dan sosial budaya setempat.
Penolakan
Sebelum ramai diperbincangkan di media sosial, pembangunan di berbagai wilayah KSPN telah mendapatkan banyak penolakan. Penolakan tidak hanya ditujukan pada pembangunan KSPN di Pulau Rinca, tetapi juga di Danau Toba dan wilayah-wilayah kawasan pesisir.
Pada Agustus 2018, Formapp menolak rencana pembangunan tempat peristirahantan di kawasan Pulau Rinca dan Pulau Padar yang merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo atau TNK. Kala itu, konsesi pembangunan sudah diberikan kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism untuk konsesi seluas 426,07 hektar.
Seluas 274,13 hektar berada di kawasan Pulau Padar dan 151,94 hektar lainnya di Pulau Komodo. Kemudian konsesi di Pulau Rinca digenggam PT Sagara Komodo Lestari (SKL).
SKL memperoleh izin konsesi seluas 22,1 hektar untuk pembangunan tempat peristirahantan, seperti restoran, penginapan ranger, serta fasilitas lainnya. Penolakan Formapp ditunjukkan dengan demo yang dihelat di depan kantor DPRD Manggarai Barat.
Pemerintah diminta membatalkan rencana pembangunan tempat peristirahantan karena ditengarai menyalahi Pasal 19, 21, dan 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Komisi III DPR kemudian menolak rencana pembangunan sarana wisata alam oleh PT. Segera Komodo Lestari, di Kawasan Balai Taman Nasional Komodo (TNK), Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Mereka meminta pembangunan tersebut dihentikan. Penolakan disebabkan karena dinilai berdampak buruk terhadap habitat flora dan fauna di TNK.
Tahun 2019, penolakan terhadap pembangunan KSPN di berbagai wisata pesisir datang dari Forum Masyarakat Adat Pesisir. Lembaga ini menolak perampasan ruang hidup masyarakat dalam bentuk proyek reklamasi di 42 wilayah pesisir. Penolakan serupa juga ditujukan pada usaha tambang pesisir di 26 kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Penolakan juga datang dari Masyarakat Adat Raja Na Opat Desa Sigapiton yang memprotes pembangunan KSPN Danau Toba. Perwakilan masyarakat adat Desa Sigapiton juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap ketersediaan air mengingat titik pembangunan berada di dekat sumber air utama. Pendekatan pemerintah yang tidak melibatkan masyarakat menimbulkan gesekan sosial di antara warga desa.
Penolakan terhadap pembangunan KSPN yang tengah berlangsung harus menjadi perhatian serius pemerintah. Berbagai ketakutan dan kekhawatiran warga maupun pihak lainnya harus mampu dijawab lewat jaminan dari pemerintah bahwa pembangunan yang sedang dilakukan tinggi manfaat dari sisi sosial budaya, ekonomi masyarakat lokal, terlebih masa depan lingkungan setempat.
Jaminan
Jaminan dari pemerintah akan pembangunan yang terpadu dan tidak merusak kawasan wisata yang asli menjadi keharusan supaya tidak ada penolakan dari berbagai pihak. Belakangan, Menteri PUPR menyatakan pembangunan di KSPN selalu mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur di setiap KSPN direncanakan secara terpadu, baik penataan kawasan, jalan, penyediaan air baku dan air bersih, pengelolaan sampah, sanitasi, maupun perbaikan hunian penduduk melalui sebuah rencana induk pengembangan infrastruktur yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Terkait penataan di Pulau Rinca, penataan memasuki tahap pembongkaran bangunan eksisting dan pembuangan puing, pembersihan pile cap, dan pembuatan tiang pancang. Pemerintah memastikan pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan telah menjamin keselamatan pekerja dan perlindungan terhadap satwa komodo.
Selain itu, untuk melindungi Taman Nasional Komodo sebagai World Heritage Site UNESCO, Kementerian PUPR bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Kerja sama tersebut ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman pada 15 Juli 2020 atau sebelum proyek dimulai.
Koordinasi dilakukan untuk mencegah dampak negatif terhadap habitat satwa, khususnya komodo, yang bermukim di Pulau Rinca. Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Provinsi NTT Herman Tobo bahkan mengklaim pembangunan Pulau Rinca selalu melibatkan ranger agar tidak merusak kawasan.
Pemerintah juga mengklaim penggunaan kawasan hutan untuk mendukung investasi di wilayah KSPN Danau Toba melalui proses izin yang seharusnya. Penggunaan kawasan hutan untuk mendukung investasi yang dikhawatirkan akan mengakibatkan kesulitan air bersih bagi masyarakat lokal diklaim oleh pemerintah melalui proses izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pembangunan kawasan wisata panorama Tele.
Pembangunan infrastruktur secara fisik dan fungsional harus mendukung KSPN serta seimbang dengan perlindungan lingkungan. Selanjutnya, pemerintah harus memastikan adanya upaya pengembangan masyarakat, pengembangan kapasitas usaha, pelatihan peningkatan pemasaran daring (online), peningkatan kualitas pelayanan, evaluasi, dan pemonitoran hingga manajemen kawasan wisata.
Belajar dari pengalaman, Indonesia masih sangat lemah dalam pengemasan produk wisatanya. Sehingga, pembangunan infrastruktur di KSPN tidak menjamin peningkatan wisatawan jika tidak didukung kualitas sumber daya manusia setempat. (LITBANG KOMPAS)