Peserta Pilkada 2020 dengan kekayaan tergolong di atas rata-rata peserta lain cenderung didukung partai politik besar. Sebagian kandidat itu merupakan pengusaha yang memang punya modal ekonomi lebih besar.
Oleh
Eren Marsyukrilla/ Litbang Kompas
·5 menit baca
Kekayaan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang berkontestasi di Pilkada 2020 yang diselenggaran serentak dapat dilihat dari laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN yang mereka sampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai syarat pencalonan. Setiap kandidat diwajibkan menyampaikan LHKPN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
LHKPN yang diserahkan kepada KPK berisi laporan daftar harta kekayaan penyelenggara negara dalam berbagai bentuk aset ataupun setara kas, berikut utang. Data KPK per 19 Oktober 2020 menunjukkan, 25 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur serta 716 pasangan calon bupati/wali kota dan wakilnya telah menyampaikan LHKPN sebagai syarat mengikuti Pilkada 2020.
Hasil olah data LHKPN 741 calon kepala daerah, yang dipadukan dengan data dukungan pencalonan kandidat di Pilkada 2020, menunjukkan adanya kecenderungan dukungan sejumlah partai besar dan partai menengah kepada para calon kepala daerah yang relatif kaya.
Berdasarkan olah data itu, sejumlah partai, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), masuk rumpun lima besar parpol yang mendukung calon kepala daerah dengan kekayaan di rentang lebih dari Rp 75 miliar sampai Rp 100 miliar serta di atas Rp 100 miliar. Sebagai catatan, pasangan calon bisa diusung lebih dari satu parpol. Sebab, pencalonan dari jalur parpol atau koalisi parpol harus memenuhi syarat minimal 20 persen kursi DPRD setempat atau 25 persen suara sah pemilu terakhir.
Partai Gerindra tercatat paling banyak mendukung calon kepala daerah yang kekayaannya masuk kategori ini. Di kategori ini, ada tujuh kandidat yang diusung Gerindra, bahkan tiga di antaranya masuk kategori kekayaan lebih dari Rp 100 miliar. Calon kepala daerah terkaya yang diusung Gerindra adalah calon bupati Bulukumba, Sulawesi Selatan, Muchtar Ali Yusuf, dengan nilai kekayaan Rp 287,5 miliar.
Setelah Gerindra, partai yang banyak mengusung calon kepala daerah dengan rentang kekayaan lebih dari Rp 75 miliar adalah PKB. Partai ini mengusung lima kandidat yang kekayaannya masuk kategori tersebut, bahkan empat di antaranya masuk rentang kekayaan lebih dari Rp 100 miliar. Calon kepala daerah terkaya yang diusung PKB adalah calon wali kota Palu, Sulawesi Tengah, Hadianto Rasyid, dengan nilai kekayaan Rp 263,5 miliar.
Di posisi berikutnya adalah PDI-P, Partai Golkar, dan PKS yang masing-masing mengusung empat calon kepala daerah yang kekayaannya masuk rentang Rp 75 miliar-Rp 100 miliar serta di atas Rp 100 miliar.
Dari PDI-P, setidaknya tiga dari empat kandidat di kategori kekayaan tertinggi ini masuk kelompok peserta dengan kekayaan lebih dari Rp 100 miliar. Calon wali kota Manado, Sulawesi Utara, Andrei Angouw, tercatat sebagai calon kepala daerah dengan nilai kekayaan tertinggi dari semua calon kepala daerah yang diusung PDI-P, yakni Rp 273,5 miliar.
Sementara itu, dari empat calon kepala daerah yang diusung Partai Golkar, ada dua calon yang kekayaannya lebih dari Rp 100 miliar. Calon bupati Maros, Sulawesi Selatan, Andi Tajerimin Nur, menjadi calon kepala daerah terkaya dari semua calon kepala daerah yang diusung Partai Golkar pada pilkada tahun ini. Kekayaan Tajerimin Rp 143,4 miliar.
PKS juga tercatat sebagai partai politik yang mengusung empat calon kepala daerah dengan nilai kekayaan di atas Rp 75 miliar. Sama dengan Partai Golkar, dua calon kepala daerah yang diusung PKS kekayaannya melebihi Rp 100 miliar. Calon kepala daerah paling kaya yang diusung PKS sama dengan calon kepala daerah terkaya yang diusung Gerindra, yakni calon bupati Bulukumba, Muchtar Ali Yusuf.
Nama Muchtar juga tercatat sebagai satu-satunya calon kepala daerah terkaya yang diusung PAN dari dua calon kepala daerah yang nilai kekayaannya masuk kategori paling tinggi tersebut. Sementara Partai Demokrat mengusung satu calon kepala daerah yang kekayaannya masuk kategori tinggi (di atas Rp 75 miliar). Calon kepala daerah itu sama dengan yang diusung Partai Golkar, yakni calon bupati Maros, Andi Tajerimin Nur.
Pengusaha
Calon bupati Bulukumba, Muchtar Ali Yusuf; calon wali kota Manado, Andrei Angouw; dan calon wali kota Palu, Hadianto Rasyid, memang tercatat sebagai calon kepala daerah dengan kekayaan tertinggi dibandingkan dengan calon kepala daerah lainnya yang akan berlaga di pilkada tahun ini. Dari penelusuran biodata pencalonan pilkada di laman daring KPU, selain sebagai politisi, ketiganya juga tidak lepas dari aktivitas bisnis.
Muchtar Ali Yusuf dikenal sebagai pengusaha yang bergerak di bidang bongkar muat dengan sejumlah perusahaan yang dimilikinya. Muchtar juga aktif dalam Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat.
Kemudian Andrei Angouw dikenal sebagai politisi PDI-P dan menjadi anggota DPRD Sulawesi Utara sejak 2009, bahkan terakhir sebagai Ketua DPRD. Selain itu, ia juga dikenal sebagai profesional di bidang konsultasi bisnis.
Hal yang sama tercatat pada sosok Hadianto Rasyid. Selain dikenal sebagai politisi Hanura, ia juga dikenal sebagai pengusaha di sektor pariwisata. Hadianto menjadi Ketua Gabungan Pengusaha Wisata Bahari Sulawesi Tengah sejak 2010.
Menonjolnya pengusaha yang menjadi calon kepala daerah secara anekdotikal bisa mengindikasikan bahwa pembiayaan yang harus dikeluarkan di pilkada memang tak murah. Di sisi lain, bukan tidak mungkin, hal ini juga menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan jaringan bisnis yang dibawa dalam lingkar politik kekuasaan di tingkat daerah.
Natasha Hamilton Hart dalam Government and Private Business: Rents, Representation and Collective Action (2007) mengungkapkan, ada perubahan jaringan bisnis dan politik di era demokratisasi setelah Orde Baru. Menurut dia, para pemilik modal, seperti pengusaha, menjadi bagian dalam proses politik di eksekutif ataupun legislatif agar dapat memanfaatkan institusi kekuasaan guna memengaruhi kebijakan atau regulasi dengan pola transaksional.
Namun, sebaliknya, ada pula anggapan, seorang kepala daerah harus ”kaya dulu” supaya tak mencari rente di posisi jabatannya. Mana yang benar dari dua perspektif itu, sangat bergantung pada individu sang kandidat dan iklim politik.
Proses politik dan tahapan pilkada memang butuh biaya yang tak murah. Namun, satu hal yang pasti. Jangan sampai pilkada bermakna sempit menjadi ajang pertarungan modal kekayaan yang dimiliki para calon kepala daerah. Oleh karena itu, pemilih kritis yang mencermati rekam jejak kandidat akan berperan penting.