Pemuda dan Agen Ideologi Bangsa
Pemuda berperan sebagai agen ideologi yang memperjuangkan gagasan kemakmuran berlandaskan nilai-nilai persatuan. Kini, peran itu diuji saat pemuda tumbuh menjadi mayoritas di tengah beragam fasilitas.
Gerakan kepemudaan menjadi fragmen yang tidak terpisahkan dalam membentuk imaji kebangsaan. Dalam sejarah perjalanan bangsa, pemuda kerap kali berperan sebagai agen ideologi yang memperjuangkan gagasan kemakmuran berlandaskan nilai-nilai persatuan. Kini, peran itu diuji saat pemuda akan tumbuh menjadi mayoritas di tengah beragam fasilitas.
Ada satu kekhasan gerakan pemuda pada era pra-kemerdekaan, yakni tipe gerakan yang bersifat dinamis, heterogen, tetapi memiliki satu corong tujuan yang sama. Setiap organisasi dari berbagai latar belakang melakukan gerakan dengan beragam corak, tetapi tetap memperjuangkan sebuah ideologi menuju cita-cita persatuan dan kesejahteraan bersama. Gerakan ini menjadi orkestrasi yang berwujud pada cita-cita besar kebangsaan.
Pada era pra-kemerdekaan, heterogenitas gerakan kepemudaan terlihat dari munculnya organisasi dengan semangat kedaerahan. Boedi Oetomo, misalnya, pada awal kelahirannya pada tahun 1908, organisasi ini fokus pada upaya moderat untuk peningkatan derajat masyarakat, khususnya di Pulau Jawa dan Madura, melalui bidang pendidikan dan kebudayaan.
Boedi Oetomo sekaligus menjadi manifestasi dari persilangan gagasan antara golongan tua dan golongan muda pada awal munculnya kaum pergerakan intelektual.
Pada dekade kedua abad ke-20, sejumlah organisasi kedaerahan juga muncul dengan beragam corak. Tri Koro Dharmo, cikal bakal Jong Java, adalah salah satunya. Organisasi ini lahir pada tahun 1915 dengan tujuan membentuk generasi muda yang cakap serta memperkuat semangat persatuan masyarakat di Pulau Jawa.
Dua tahun berselang, lahir pula Jong Sumatranen Bond, suatu organisasi yang dibentuk oleh pemuda asal Pulau Sumatera di Batavia. Organisasi ini juga memiliki tujuan membentuk semangat persatuan dan mengangkat derajat penduduk di Sumatera melalui berbagai gerakan.
Dari sinilah lahir sejumlah tokoh muda seperti Mohammad Hatta, Moh Yamin, hingga AK Gani yang kelak memegang peranan penting dalam pembentukan identitas Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa.
Meski masih bersifat kedaerahan, berbagai organisasi pada masa itu memiliki suatu kredo yang sama, yakni gagasan persatuan yang bermuara pada asa kesejahteraan sosial. Ide ini semakin membesar menjadi gagasan kebangsaan dengan lahirnya Kongres Pemuda II pada tahun 1928.
Menurut Abu Hanifah, Sekretaris Organisasi Kongres Pemuda II-1928, pertemuan itu kemudian meleburkan semangat kedaerahan menjadi asa persatuan.
Gagasan persatuan ini salah satunya terwujud dengan lahirnya perkumpulan Indonesia Muda yang merupakan gabungan dari sejumlah organisasi kepemudaan. Sejak saat itu, tujuan persatuan untuk mencapai kesejahteraan nasional semakin mengakar.
”Perkumpulan-perkumpulan pemuda-pemuda daerah itu adalah terdiri dari pelajar-pelajar dari SMP, SLA, STA, dan lain-lain sekolah sederajat. Jadi dapat dikatakan sebagian besar dari para intelek muda di seluruh Indonesia telah insaf benar mereka atas saktinya sumpah pemuda itu,” tulis Abu Hanifah seperti yang dimuat dalam buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda (1978).
Transformasi
Memasuki periode kemerdekaan, gerakan kepemudaan semakin mengakar dan masuk pada berbagai ranah di ruang publik. Pada era revolusi, para pemuda tidak hanya berperan sebagai pejabat politik semata, tetapi juga berjuang secara langsung di medan perang.
Hadirnya tentara pelajar adalah bentuk nyata dari gerakan yang dilakukan oleh para pemuda. Bahkan, pada proses nasionalisasi, pemuda pada setiap bidang juga turut berjuang merebut sektor-sektor yang memiliki peran vital.
Hingga akhir periode revolusi, gerakan kepemudaan tampak masih mengakar pada satu landasan yang sama, yakni kemerdekaan dan persatuan. Jejak ini kemudian secara perlahan mengalami transformasi seiring pergantian rezim pemerintahan.
Gerakan kepemudaan mulai didominasi oleh kalangan intelektual yang lahir dari berbagai satuan pendidikan di dalam negeri. Proses dialektika terhadap beragam persoalan muncul dari berbagai diskusi para mahasiswa hingga gerakan turun ke jalan. Gerakan 1965, 1974, 1978, dan 1998 adalah aksi besar yang tercatat oleh sejarah yang melibatkan aktor pemuda intelektual.
Jika sebelumnya gerakan kepemudaan dimotori oleh satu ideologi dan cita-cita yang sama, maka pada periode ini gerakan kepemudaan mulai muncul dengan cita-cita dan paham yang beragam, baik dari sisi sosial maupun politik. Meskipun begitu, gagasan persatuan dan kesejahteraan sosial masih jamak didengungkan dalam setiap aksi massa yang melibatkan para tokoh pemuda.
Keteladanan
Menurut sejarawan JJ Rizal, memasuki periode reformasi, ada satu garis perbedaan mendasar pada gerakan pemuda. Meski sama-sama dilakukan dalam konteks yang heterogen, gerakan pemuda saat ini tidak lagi memiliki landasan ideologi dan cita-cita yang homogen.
Ini cukup berbeda dengan gerakan sebelumnya, khususnya sebelum kemerdekaan, saat para pemuda dibentuk oleh suatu semangat yang sama tentang persatuan dan kemerdekaan di tengah ragam corak gerakan yang muncul.
Di tengah minimnya cita-cita bersama, ada dua hal mendasar yang menjadi tantangan eksistensi pemuda Indonesia saat ini. Pertama adalah sulitnya pemuda mencari keteladanan dalam ranah ideologis.
Hal ini cukup berbeda dari pemuda angkatan sebelumnya yang memiliki banyak pilihan untuk dijadikan sebagai teladan dalam setiap periode, seperti Soegondo Djojopuspito bagi pemuda angkatan 1928 ataupun Soekarno dan Mohammad Hatta bagi angkatan 1945.
Tantangan kedua adalah rendahnya minat baca para pemuda. Dampaknya, tidak banyak para pemuda yang memahami garis dan arah perjalanan sejarah bangsa. Padahal, ini dibutuhkan untuk menumbuhkan idealisme para pemuda yang kelak berperan sebagai agen ideologi bangsa. ”Akhirnya para pemuda tidak memiliki ukuran prestasi dan idealisme. Jika tidak ada idealisme, maka terjadi dekadensi,” kata JJ Rizal.
Dua hal inilah yang menjadi hambatan historis bagi gerakan pemuda saat ini. Padahal, di tengah gencarnya fasilitas teknologi dan arus informasi, pemuda butuh pegangan untuk terus bergerak memperjuangan nilai-nilai dalam mencapai cita-cita kemakmuran berlandaskan semangat persatuan seperti yang telah diwariskan para pemuda pada zaman sebelumnya.
Dua tantangan pemuda saat ini adalah sulitnya mereka mencari keteladanan dan masih rendahnya minat baca.
Harapan
Meskipun dihadapi oleh sejumlah tantangan, harapan besar bagi perubahan bangsa ini masih terletak di tangan pemuda. Jika menengok hasil jajak pendapat Litbang Kompas sejak 2015 hingga 2019, tampak citra positif pemuda di hadapan masyarakat terus membaik dari 46,4 persen pada 2015 menjadi 66,2 persen tahun 2019. Tentu ini menjadi modal sosial bagi para pemuda untuk terus berperan sebagai agen ideologi di setiap daerah.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik, hingga 2019, sebanyak 52,25 persen penduduk di Indonesia berusia di bawah 31 tahun. Secara khusus, terdapat 24,01 persen pemuda yang masuk pada kategori usia 16-30 tahun. Artinya, Indonesia memiliki potensi demografi yang sangat besar pada kalangan anak muda.
Dari 64 juta pemuda di Indonesia, sebanyak 57,94 persen di antaranya berada di perkotaan dan 42,06 persen berada di perdesaan. Jumlah ini cukup ideal untuk membagi kontribusi anak muda dalam beragam jaringan pembangunan baik di kota maupun desa.
Hanya saja, bonus demografi perlu dimanfaatkan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia agar tidak berubah menjadi bencana demografi.
Berbagai persoalan masih dihadapi oleh Indonesia untuk memperbaiki kualitas generasi muda. Menurut catatan BPS, sebanyak 7 dari 1.000 pemuda berusia
16-30 tahun di perdesaan masih buta huruf. Sementara sebanyak 8 dari 1.000 pemuda di Indonesia tidak pernah bersekolah.
Bahkan, sebanyak 27 persen penduduk berusia 16-18 tahun tidak lagi melanjutkan pendidikannya. Ini mengindikasikan bahwa sepanjang reformasi, pendidikan belum menyentuh generasi muda secara merata.
Bonus demografi tentu perlu dimanfaatkan untuk melahirkan generasi pemikir. Jangan sampai, peluang ini hanya membawa generasi muda menjadi pekerja klerikal. Sebab, pemuda selayaknya tidak hanya tumbuh menjadi generasi pekerja, tetapi juga menjadi generasi pemikir.
Persis seperti harapan Soekarno pada pidato peringatan kemerdekaan Indonesia tahun 1963 agar Indonesia tidak menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa (een natie van koelies, en een kolie onder de naties).
Maka, menciptakan generasi pemikir sebagai agen ideologi bangsa adalah hal mutlak yang perlu dipertimbangkan di tengah bonus demografi. (LITBANG KOMPAS)