Dua Gajah dan Pelanduk Investasi
Adalah sebuah hal ironis sebagian pebisnis yang hengkang dari China, memilih pindah ke negara-negara tetangga Indonesia. Sementara di kawasan ASEAN, Indonesia berada di peringkat kedua negara tujuan investasi asing.
Ibarat dua gajah yang bertarung, konflik dagang Amerika Serikat dan China pada masa pandemi telah mengubah arah investasi global yang rawan menempatkan Indonesia menjadi salah satu pelanduk.
Perseteruan dua gajah ekonomi, AS dan China, dimulai Maret 2018. Saat itu, Pemerintah AS menandatangani memorandum untuk mengajukan kasus WTO terhadap China. Pemerintah AS kemudian menaikkan tarif impor produk China ke negara tersebut.
Pemerintah AS menilai adanya serangkaian praktik tidak adil dalam kebijakan investasi di China. ”Negeri Tirai Bambu” itu dinilai membatasi kepemilikan asing yang menekan perusahaan asing untuk mentransfer teknologi.
Selain itu, Pemerintah AS menilai China memberlakukan persyaratan tidak adil pada perusahaan AS. Kebijakan investasi China juga mengarahkan investasi dari AS ke industri strategis mereka dan mendukung serangan terhadap AS di dunia maya.
Dua negara, AS dan China, tercatat menempati posisi teratas pembentukan output global. Tahun lalu, tercatat nilai produk domestik bruto (PDB) AS mencapai 21 triliun dollar AS, sedangkan China sekitar 14 triliun dollar AS. Output ekonomi dari dua negara raksasa ini mencapai 41 persen dari total output global senilai lebih kurang 88 triliun dollar AS.
Kekuatan ekonomi AS dan China juga didukung populasi penduduk yang besar. Tahun lalu, tercatat penduduk dua negara ini berada di lima teratas dunia.
China tercatat sebagai negara berpenduduk terbanyak dengan populasi mencapai hampir 1,4 miliar jiwa. Amerika Serikat menempati urutan ketiga dengan jumlah penduduk mencapai 328 juta jiwa.
Namun, dua raksasa tersebut juga berada di tengah situasi perang dagang. Perseteruan dua gajah ekonomi tersebut dimulai 22 Maret 2018. Saat itu, Pemerintah AS menandatangani memorandum untuk mengajukan kasus WTO terhadap China. Pemerintah AS kemudian menaikkan tarif impor produk China ke negara tersebut.
Peta Investasi
Konflik dagang AS-China masih berlanjut hingga kini. Konflik dagang menjadi kian pelik lantaran pandemi Covid-19 yang memperberat kondisi bisnis global. Perusahaan asing di sejumlah negara mulai mengambil langkah merelokasi bisnis, yang artinya memindahkan investasi mereka ke negara-negara lain.
Situasi tersebut turut mengubah peta investasi AS dan China. Surat kabar The New York Times edisi 22 Juli 2020 memberitakan sebagian besar perusahaan dari AS mulai memindahkan beberapa fasilitas industri mereka dari China, antara lain Samsung, Hasbro, Apple, Nintendo, dan GoPro.
Kekuatan modal dan manufaktur merupakan dua hal yang identik dengan AS dan China. Dua gajah perekonomian global ini juga mencatat profil investasi yang fantastis.
Investasi asing yang masuk ke AS dan China tahun lalu mencapai 507 miliar dollar AS, atau sekitar sepertiga dari aliran arus masuk modal asing global yang totalnya senilai 1,62 triliun dollar AS. Besarnya arus modal asing yang masuk ke AS dan China menempatkan kedua negara di peringkat teratas tujuan investasi asing dunia.
Pangsa output manufaktur dari dua negara gajah ini mencapai sekitar 46 persen dari total output manufaktur global tahun 2018.
Perusahaan-perusahaan manufaktur ini memindahkan produksi ke negara-negara dengan tingkat upah lebih rendah. Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang dilirik untuk merelokasi pabrik-pabrik mereka.
Kamar Dagang Jerman di Indonesia juga mengabarkan, sebanyak 119 perusahaan tengah mempertimbangkan relokasi manufaktur mereka ke Indonesia, dan perusahaan-perusahaan ini sebagian besar berasal dari China.
Kegagalan Peluang
Sayangnya, kegagalan juga mewarnai upaya Indonesia menangkap peluang investasi ini. Pada September lalu, ada 33 perusahaan yang keluar dari China. Sebanyak 23 perusahaan memilih berinvestasi ke Vietnam, sedangkan selebihnya ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Adalah sebuah hal ironis sebagian pebisnis yang hengkang dari China memilih pindah ke negara-negara tetangga Indonesia. Sementara di kawasan ASEAN, Indonesia berada di peringkat kedua negara tujuan investasi asing pada tahun lalu.
Profil investasi Indonesia di kancah global bahkan terbilang mengesankan. Pada tingkat global, Indonesia juga tercatat masuk dalam 20 besar negara tujuan investasi asing tahun lalu.
Adapun Vietnam yang sedang banyak dilirik sebagai negara baru tujuan investasi, berada di urutan ke-23, sedangkan Malaysia di urutan ke-38 dunia. Berikutnya, Thailand dan Kamboja, masing-masing berada di peringkat ke-42 dan ke-52 dari total investasi asing di 197 negara tahun 2019.
Paling tidak, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya tarik ekonomi yang kuat di mata investor global. Apalagi, dari sisi jumlah penduduk, Indonesia tercatat berada di peringkat keempat dengan populasi mencapai 270 juta jiwa tahun lalu. Sekitar 4 persen populasi dunia ada di Indonesia.
Dalam sudut pandang investor, besarnya populasi penduduk bermakna bahwa negara tersebut memiliki tenaga kerja melimpah dan pasar konsumen yang besar. Inilah yang disebut dengan motivasi resource seeking dan market seeking dari investor. Keuntungan populasi penduduk ini tidak dimiliki negara-negara lain, seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Efficiency Seeking
Namun, bukan tanpa alasan juga jika sebagian perusahaan asing lebih memilih merelokasi manufaktur mereka ke negara-negara tetangga Indonesia. Ada motivasi yang melatabelakangi keputusan investasi yang disebut efficiency seeking. Investor mempertimbangkan sudut pandang ini karena keberhasilan mereka juga ditentukan oleh regulasi negara tujuan investasi.
Pada sisi inilah investor kerap kali meragukan keseriusan pemerintah dalam mengamankan kepentingan bisnis mereka. Merujuk publikasi Bank Dunia soal kemudahan berbisnis (ease of doing business) di 191 negara pada 2020, tercatat Indonesia menduduki peringkat ke-73. Sementara Vietnam berada di peringkat ke-70, Thailand peringkat ke-21, dan Malaysia di peringkat ke-12.
Keseriusan pemerintah mendukung investor asing juga tecermin dari perekonomian mereka. Andil investasi asing terhadap PDB suatu negara dapat menjadi salah satu indikasi upaya suatu negara untuk menarik masuk modal dari luar.
Pada tingkat kawasan ASEAN, Singapura berada di peringkat teratas dalam hal rasio investasi asing terhadap PDB. Tahun 2019, investasi asing di ”Negeri Singa” ini memberikan andil hingga seperempat dari total PDB mereka.
Peringkat kedua adalah Kamboja, yang mencatat hampir 14 persen rasio investasi asing terhadap PDB. Andil modal asing terhadap PDB di Vietnam juga terbilang besar, yakni lebih dari 5 persen.
Adapun di ASEAN, Indonesia hanya menempati peringkat ketujuh dengan rasio investasi 2,2 persen terhadap PDB. Dalam lima tahun belakangan, kontribusi Investasi asing terhadap PDB Indonesia tak pernah menyentuh angka 3 persen.
Melihat perubahan aliran modal asing, ke depan mungkin saja akan muncul ”gajah” yang baru di bidang ekonomi. Kepastian regulasi pada akhirnya menjadi kunci yang akan mempercepat jalan menuju kesejahteraan penduduk Indonesia yang berjumlah besar.
Indonesia tentu tidak berharap bahwa penduduk tua akan membebani perekonomian, sesudah puncak bonus demografi berlalu berakhir pada 2030. Jika ini terjadi, posisi Indonesia pada masa depan rentan menjadi salah satu pelanduk. (LITBANG KOMPAS)