”Ota Lapau” dan Transisi Kuasa di Ranah Minang
Ada anekdot di masyarakat Minang, jika ingin menjadi anggota Dewan, maka sering-seringlah duduk di lapau. Anggapan itu masih mengakar sampai sekarang.
Lapau, atau kedai tradisional, menjadi salah satu simpul tumbuhnya budaya intelektual di masyarakat Minang. Dalam setiap transisi kuasa, termasuk pilkada, lapau juga menjadi titik temu berbagai lapisan masyarakat untuk mendiskusikan beragam isu politik. Inilah serpihan mosaik politik di Ranah Minang yang masih bertahan hingga kini.
Lapau merupakan warisan sejarah dalam ekonomi kerakyatan di Sumatera Barat. Dahulu, lapau identik dengan warung sederhana yang menjual kebutuhan sehari-hari. Pemilik lapau biasanya juga menyediakan makanan khas buatan sendiri untuk dijual.
Lapau jamak memiliki kursi dan meja panjang yang terbuat dari kayu. Tata ruang diatur agar ramah bagi pengunjung. Kursi diatur saling berhadapan di antara meja sehingga menjadi wadah untuk berdiskusi bagi masyarakat setempat.
Di lapau, masyarakat Minang zaman dahulu saling bertukar kabar di tengah keterbatasan informasi. Para tetua kampung, petinggi adat, hingga perantau yang baru kembali ke kampung halaman biasanya saling berdiskusi tentang apa pun yang sedang berkembang di wilayah mereka. Diskusi informal itu dilakukan sambil menyantap jajanan makanan ringan dan minuman seperti kopi dan teh talua khas Minang.
Lapau juga menjadi lembaga sosial bagi anak muda di Ranah Minang zaman dahulu. Sistem kekerabatan matrilineal yang dianut masyarakat Minang mendorong anak laki-laki lebih banyak beraktivitas di luar rumah karena tidak memiliki ruangan privat atau kamar. Setelah menuntut ilmu di surau, para pemuda biasanya bersosialisasi dan berdiskusi di lapau.
Seiring dengan perkembangan zaman, lapau tetap eksis di berbagai pelosok nagari. Topik pembahasan terus berkembang sesuai dengan isu yang terjadi di lingkungan sekitar. Persoalan budaya, sosial, ekonomi, hingga isu lainnya seperti pekerjaan hingga kegiatan di nagari, sebutan untuk wilayah setingkat desa di Sumatera Barat, jamak didiskusikan.
Dialog biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum beraktivitas, atau malam hari setelah merampungkan berbagai pekerjaan. Pada saat itulah lapau ramai oleh riuh diskusi dari tetua kampung, ninik mamak, hingga generasi muda. Diskusi ini disebut sebagai ota lapau. Ota berarti ’obrolan’ dan lapau berarti ’warung atau kedai’, obrolan di warung.
Tradisi ini memberikan manfaat dari dua sisi. Pada aspek ekonomi, diskusi di lapau menggerakkan perputaran uang karena transaksi jual-beli. Transaksi ini penting dalam menggerakkan ekonomi desa mengingat lapau menjadi pusat jual-beli kebutuhan hidup terdekat di sekitar permukiman penduduk.
Dari aspek sosial, lapau menjadi ”media sosial” masyarakat Minang untuk mendapatkan atau menyampaikan informasi. Informasi ringan seperti kerja bakti, berburu, hingga informasi penting menyangkut persoalan sosial, kejahatan, hingga kemiskinan dibahas dari berbagai sudut pandang di lapau.
Perbincangan politik
Ketika kini memasuki periode reformasi dan pesatnya perkembangan arus informasi, lapau masih sering digunakan sebagai sarana diskusi, termasuk perbincangan tentang politik. Kebijakan pemerintah hingga pembangunan daerah menjadi hal yang lumrah diperbincangkan. Lapau tetap berperan sebagai wadah diskusi yang menumbuhkan kontrol sosial dari kalangan masyarakat terhadap pemerintahan.
Konsep lapau sebagai sarana diskusi juga semakin berkembang. Jika sebelumnya terbatas di warung sederhana, kini diskusi mulai banyak dilakukan di lapau makan hingga lapau kawa. Lapau makan merupakan warung nasi yang menjual berbagai makanan khas Minang. Sementara lapau kawa adalah warung yang khusus menjual air kawa, sebuah minuman yang terbuat dari daun kopi dan menjadi khas di Ranah Minang.
Selain tempat berdiskusi, tak jarang lapau juga menjadi tempat bagi sekelompok masyarakat untuk menentukan pilihan politik setelah terlibat diskusi yang cukup panjang.
Dari sisi tokoh politik, lapau juga menjadi sarana untuk mendulang dukungan masyarakat hingga menyerap aspirasi publik. Hal ini terlihat dalam beberapa kali pemilu dan pilkada di Sumatera Barat, di saat sejumlah partai politik dan tokoh memanfaatkan lapau sebagai sarana sosialisasi untuk menggalang dukungan.
Ada anekdot di masyarakat Minang, jika ingin menjadi anggota Dewan, maka sering-seringlah duduk di lapau. Kini, anggapan itu masih terus mengakar. Pada Pemilu 2019, misalnya, pendekatan personal melalui lapau masih digunakan oleh aktor politik lokal. Selain kampanye di ruang formal, diskusi di lapau juga masih dilakukan demi meraih dukungan di akar rumput.
Bahkan, di tengah menjamurnya kedai kopi modern, lapau masih menjadi pilihan masyarakat Minang, terutama di pedesaan, untuk berdiskusi. Kondisi ini semakin mengukuhkan pemeo bahwa di Ranah Minang, politik bukan hadir di DPRD ataupun kantor pemerintahan, melainkan di lapau.
Selain dimanfaatkan sebagai sarana diskusi, lapau juga menjadi tempat untuk menarik simpati masyarakat melalui berbagai program bantuan. Perbaikan lapau turut diberikan oleh aktor politik sebagai program di tingkat daerah.
Pilkada
Kini memasuki pergelaran Pilkada 2020, lapau-lapau di berbagai pelosok nagari akan kembali diramaikan oleh riuh perbincangan politik. Kondisi ini mulai terlihat pada beberapa calon kepala daerah di Sumatera Barat yang sudah mulai bergerilya dan memanfaatkan lapau untuk bersosialisasi.
Dari 19 kota/kabupaten di Sumatera Barat, sebanyak 13 kota/kabupaten di antaranya menggelar pilkada pada tahun ini. Beberapa di antaranya adalah daerah yang identik dengan diskusi lapau seperti Kabupaten Tanah Datar, Agam, dan Limapuluh Kota. Wilayah ini juga dikenal sebagai Luhak Nan Tigo yang menjadi asal-usul tumbuh kembang adat dan budaya Minangkabau.
Baca juga: Nagari, Kenangan Minang
Diskusi di lapau diperkirakan akan hidup di tiga wilayah ini. Apalagi tiap-tiap wilayah mempunyai empat pasangan calon.
Selain itu, Sumatera Barat juga akan melakukan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, yang juga diikuti oleh empat pasangan calon.
Namun, diskusi di lapau tampaknya akan cukup sulit dilakukan di Kota Padang. Pasalnya, hingga 22 Oktober, daerah ini masih masuk pada kategori zona merah Covid-19 atau kategori risiko tinggi. Sementara 13 daerah penyelenggara pilkada lainnya berada pada kategori risiko sedang.
Tantangan
Di tengah tradisi diskusi di lapau, ada dua tantangan utama yang dihadapi berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada 2020. Pertama ialah upaya merawat tradisi diskusi di tengah gencarnya arus informasi melalui teknologi komunikasi.
Jika melihat catatan Badan Pusat Statistik pada 2019, hanya 41,15 persen individu di Provinsi Sumatera Barat yang menggunakan internet. Artinya, lapau masih berpotensi menjadi titik temu untuk meramu berbagai isu, terutama di tengah-tengah masyarakat desa yang belum sepenuhnya melek internet.
Baca juga: Rendang, Makanan Sarat Tradisi
Tantangan kedua bagi aktor politik dan penyelenggara pilkada. Ini karena tradisi diskusi di lapau ternyata tidak serta-merta berdampak pada meningkatnya antusiasme masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara.
Sejak pemilihan gubernur dan wakil gubernur tahun 2005, 2010, hingga 2015, ada tren penurunan partisipasi pemilih. Puncaknya pada tahun 2015 saat tingkat partisipasi pemilih hanya 58,65 persen.
Di tengah kondisi ini, diskusi di lapau ataupun tempat lainnya diharapkan tidak hanya berkutat pada perbincangan atau jalan untuk menentukan sikap politik. Namun, juga untuk meningkatkan partisipasi pemilih hingga ke pelosok nagari di Ranah Minang.
(Litbang Kompas)