Persaingan Politik Petinggi dan Penjahit
Tidak ada petahana dalam Pilkada Kota Surakarta tahun ini. Dua pasangan calon yang bersaing merupakan wajah baru dalam kontestasi politik Surakarta.
Pilkada Kota Surakarta kali ini bisa menjadi momentum bersejarah. Persaingan terjadi antara kandidat jalur perseorangan dan putra presiden yang sekaligus figur akar rumput.
Tidak ada petahana dalam Pilkada Kota Surakarta tahun ini. Dua pasangan calon (paslon) yang bersaing, yaitu Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa dan Bagyo Wahyono-FX Supardjo, merupakan wajah baru dalam kontestasi politik Surakarta. Dua calon wali kota itu tak memiliki rekam jejak dalam dunia politik, baik nasional maupun daerah.
Gibran lebih dikenal sebagai anak Presiden RI yang sekaligus pengusaha muda. Kiprahnya di dunia bisnis dimulai sejak 2010 dengan merintis usaha katering. Putra sulung Presiden Joko Widodo ini juga memiliki sejumlah usaha makanan dan minuman yang tersebar di kota-kota besar di Tanah Air.
Kiprahnya di dunia politik baru dimulai lebih kurang satu tahun lalu, ketika mendaftarkan diri jadi anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Kantor DPC PDI-P Surakarta. Sebelumnya, Juli 2019, Gibran pernah masuk dalam bursa Pemilihan Wali Kota Surakarta berdasarkan survei Laboratorium Kebijakan Publik Universitas Slamet Riyadi (Unisri), Surakarta.
Gibran didampingi Teguh, Ketua DPRD Kota Surakarta. Ia merupakan profil politisi kawakan di Solo dan duduk sebagai anggota DPRD Surakarta periode 2009-2014, 2014-2019, dan 2019-2024.
Pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Wali Kota Surakarta dalam pilkada periode sebelumnya, Teguh kalah saat bersaing dengan Achmad Purnomo, wakil wali kota saat ini. Gibran-Teguh sebagai paslon nomor urut 1 diusung PDI-P.
Kemunculan penantang Gibran-Teguh, yakni Bagyo-Pardjo, turut menjadi sorotan publik. Paslon yang disapa Bajo ini juga jauh dari pengalaman politik.
Bagyo merupakan warga Kecamatan Laweyan, Surakarta, yang bekerja sebagai penjahit. Namanya nyaris tak pernah muncul sebelum dirinya mendaftar sebagai calon wali kota.
Supardjo, salah satu ketua RW di Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, memberanikan diri mendaftar menjadi pasangan Bagyo. Paslon nomor urut 2 ini merupakan calon dari jalur perseorangan yang didukung organisasi masyarakat Tikus Pithi.
Partai dominan
Dengan melihat pendukungnya, bisa dikatakan paslon Gibran-Teguh memiliki peluang sangat besar. Hal ini tak lepas dari peran pengusungnya yang merupakan partai dominan di Surakarta. PDI-P menduduki dua pertiga total kursi di DPRD Kota Surakarta berdasarkan hasil Pemilu Legislatif 2019, yakni 30 dari 40 kursi yang ada.
Kota Surakarta dijuluki sebagai ”kandang banteng”. Menurut catatan KPU Kota Surakarta, PDI-P menguasai kursi DPRD sejak Pemilu 2004. Saat itu, PDI-P meraih 15 kursi dari total 40 kursi.
Baca juga : Tantang Gibran di Pilkada Solo, Pasangan Bagyo-Supardjo Tolak Disebut Calon Boneka
Pada Pemilu 2009, PDI-P mempertahankan 15 kursi yang diperoleh pada periode sebelumnya. Kekuatannya membesar pada Pemilu 2014 ketika PDI-P berhasil menduduki 24 dari total 45 kursi.
Sejarah mencatat, PDI-P tak pernah gagal memboyong paslon yang diusungnya dalam pilkada. Pada Pilkada 2005, pasangan Joko Widodo-FX Hadi Rudyatmo memenangi pertarungan dengan perolehan 36,67 persen suara.
Mereka mengalahkan Hardono-Diokusumo yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraih 29,08 persen suara. Berbeda tipis, 29 persen suara diperoleh Slamet Suryanto-Henky Narto Sabdo yang didukung oleh gabungan 14 partai kecil. Sementara pasangan Achmad Purnomo-Istar Yuliadi yang diusung koalisi Golkar-Demokrat berada di posisi terendah dengan 5,25 persen suara.
Dalam Pilkada Surakarta 2010, kemenangan kembali diraih paslon yang diusung PDI-P, yakni petahana Joko Widodo yang didampingi FX Rudy Rudyatmo. Pasangan tersebut menang mutlak dengan 90,09 persen suara saat bertarung menghadapi Eddy S Wirabhumi-Supradi Kertamenawi yang diusung koalisi Golkar-Demokrat.
Keberhasilan PDI-P memenangkan paslon yang diusungnya terus berlanjut hingga Pilkada 2015. Wakil Wali Kota Rudy berhasil menjadi Wali Kota Surakarta periode 2015-2020 dengan 60,39 persen suara. Kali ini, Achmad Purnomo mendampingi Rudy memimpin Surakarta hingga lima tahun terakhir.
Rudy-Purnomo saat itu mengalahkan pasangan Anung Indro Susanto-Muhammad Fajri yang didukung oleh koalisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PAN, Demokrat, dan Gerindra. Catatan sejarah tersebut di atas kertas jelas memantapkan langkah politik Gibran-Teguh untuk berkontestasi.
Tikus Pithi
Terlepas dari kekalahan yang dialami para penantang PDI-P pada tiga pilkada periode sebelumnya, parpol-parpol lain, termasuk parpol kecil nonparlemen, tak patah arang. Maka, muncullah tukang jahit didampingi ketua RW yang menantang paslon yang diusung partai penguasa Kota Surakarta.
Ormas Tikus Pithi Hanata Baris yang mendeklarasikan diri sebagai pendukung utama pasangan Bajo didirikan tahun 2014 oleh Tuntas Subagyo (Kompas.com, 8/9/2020). Secara harfiah, tikus pithi berarti ’tikus kecil’ sebesar jempol tangan.
Dalam salah satu publikasi Pemerintah Kabupaten Kulon Progo disebutkan, Tikus Pithi Hanata Baris merupakan masyarakat kecil yang menyusun barisan untuk memperjuangkan nasib bangsa. Istilah tersebut sudah ada sejak zaman Singosari ataupun Majapahit.
Secara harfiah, tikus pithi berarti ’tikus kecil’ sebesar jempol tangan.
Selaras dengan makna tersebut, ormas Tikus Pithi melibatkan rakyat kecil, tanpa perjanjian dengan partai politik mana pun. Bajo dipilih mewakili aliansi masyarakat yang tergabung dalam ormas ini karena dianggap memiliki karakter yang jujur dan bertanggung jawab. Keduanya juga memprakarsai berdirinya Tikus Pithi.
Meski belum memiliki pengalaman di dunia politik, Bajo berhasil mengumpulkan 38.831 surat dukungan yang sah. Jumlah tersebut melampaui batas minimal yang ditentukan KPU, 35.870 suara.
Meski demikian, tak sedikit orang yang menduga bahwa pasangan Bajo merupakan calon ”boneka”. Paslon tersebut dibuat agar pasangan Gibran-Teguh tak melawan kotak kosong dalam pilkada mendatang.
Kontestasi dan kompetensi
Terlepas dari adanya paslon boneka atau tidak, pilkada tahun ini berlangsung berbarengan dengan situasi saat masyarakat mengalami keterpurukan sosial ekonomi akibat pandemi. Ketidakpastian menguat, sedangkan program-program pemerintah hanya bersifat subsidi untuk bertahan hidup.
Pandemi Covid-19 memaksa masyarakat untuk menjaga jarak dan melakukan aktivitas di luar rumah seperlunya. Sektor perdagangan dan pelakunya terancam. Satu bulan setelah Covid-19 melanda Tanah Air terjadi penurunan sekitar 30 persen pengunjung pasar tradisional di Surakarta.
Baca juga : Pilkada Dinasti Politik
Dalam Analisis Survei Sosial Ekonomi Dampak Covid-19 oleh BPS Surakarta, Juli lalu, disebutkan bahwa 13 persen responden dirumahkan. Ada pula 8 persen responden yang terkena pemutusan hubungan kerja atau terpaksa menutup tempat usaha.
Separuh dari responden mengaku mengalami penurunan pendapatan di era normal baru akibat Covid-19. Sebanyak 40 persen di antaranya ialah kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (kurang dari atau sama dengan Rp 1,8 juta). Situasi yang semakin tak menentu ini menuntut kehadiran pemimpin yang mampu melakukan perbaikan.
(LITBANG KOMPAS)