Kini, perjuangan santri tak lagi melawan penjajah. Masalah kesenjangan, kemiskinan, dan kebodohan menjadi pekerjaan rumah yang juga harus dipikul oleh santri untuk memajukan bangsa.
Oleh
Yohan Wahyu
·5 menit baca
Peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober merupakan wujud pengakuan negara atas peran kebangsaan santri dalam sejarah politik di negeri ini. Peristiwa Resolusi Jihad 1945 yang menjadi tonggak perlawanan santri terhadap penjajah dan kolonialisme menjadi rekam jejak sejarah yang meneguhkan peran mereka dalam kemerdekaan.
Peringatan Hari Santri 2020 merupakan tahun kelima sejak ditetapkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Penetapan ini jadi bentuk komitmen Presiden menepati salah satu janji kampanyenya untuk menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri.
Salah satu dasar penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri ialah peristiwa yang terjadi pada tanggal yang sama tahun 1945. Ketika itu, KH Hasyim Asy’ari yang menjabat sebagai Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menetapkan Resolusi Jihad untuk melawan pasukan kolonial di Surabaya, Jawa Timur.
Peristiwa Resolusi Jihad tercatat sebagai tonggak perlawanan rakyat melawan Belanda yang berupaya menguasai kembali Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kondisi Indonesia yang belum stabil pascakemerdekaan. Setelah lebih kurang dua bulan sejak menyatakan kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada masih minimnya pengakuan negara-negara lain atas kedaulatannya. Bahkan, Belanda justru mempropagandakan bahwa Indonesia masih menjadi negara boneka, belum sepenuhnya merdeka.
Propaganda ini menggelisahkan sejumlah pemimpin kemerdekaan, terutama Presiden Soekarno. Kegelisahan ini kemudian dinyatakan Soekarno kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta arahan terkait hal tersebut.
Maka, pada Oktober 1945, Presiden Soekarno mengirim utusan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Satu pesan Soekarno ialah meminta arahan tentang hukum membela negara yang sudah merdeka sekalipun negara itu bukan negara Islam.
Atas permintaan Soekarno inilah, KH Hasyim menginstruksikan PBNU mengadakan rapat dengan mengundang semua konsul NU se-Pulau Jawa dan Madura. Rapat digelar sejak 21 Oktober 1945 di Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI Nomor 2 Surabaya, Jawa Timur. Rapat dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah.
Pada hari kedua rapat, yakni 22 Oktober, dihasilkan catatan tentang pokok-pokok kewajiban umat Islam dalam berjihad mempertahankan bangsa dan negaranya. Pokok-pokok hasil rapat ini dikenal sebagai Resolusi Jihad.
Seruan Resolusi Jihad disampaikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari sebagai bentuk komitmen dan kewajiban umat Islam untuk mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia yang merdeka. Resolusi juga mengingatkan, kehadiran Belanda (NICA) dan Jepang di Indonesia ternyata telah menimbulkan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.
Bagi NU, keberadaan mereka melanggar kedaulatan Republik Indonesia dan agama karena ingin kembali menjajah. Maka, di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan banyak jiwa manusia.
Resolusi Jihad kemudian memutuskan agar Pemerintah RI menentukan sikap dan tindakan nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya. PBNU juga menyerukan kepada umat Islam untuk melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya negara Republik Indonesia.
Praktis, Resolusi Jihad ini menjadi pemacu semangat perlawanan rakyat kepada Belanda yang mencoba kembali masuk ke wilayah Indonesia. Puncaknya ialah perlawanan arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945, yang kemudian dikenal sampai saat ini sebagai Hari Pahlawan. Resolusi Jihad menjadi inspirasi atas perlawanan tersebut.
Resolusi Jihad ini menjadi pemacu semangat perlawanan rakyat kepada Belanda yang mencoba kembali masuk ke wilayah Indonesia.
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri yang didasarkan pada peristiwa Resolusi Jihad juga membuka tabir yang selama ini belum terungkap ke publik bahwa perjuangan santri turut memberi kontribusi bagi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harus diakui, tak banyak di antara generasi penerus yang mengikuti sejarah peristiwa Resolusi Jihad.
Sejarah ini menjadi bukti kuat tonggak peran santri dalam pergerakan melawan kolonialisme yang berupaya merenggut kemerdekaan Indonesia. Peristiwa dan isi Resolusi Jihad ini didokumentasikan di harian Kedaulatan Rakyat edisi Jumat Legi, 26 Oktober 1945.
Perjuangan santri
Resolusi Jihad sekaligus menegaskan peran santri dalam perjuangan kemerdekaan. Sejarawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Milal Bizawie, dalam peluncuran buku Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional, menegaskan, negara Indonesia tak dibangun hanya dengan perjuangan bersenjata. Menurut dia, RI juga dibangun melalui kekuatan doa dan tirakat golongan santri (Kompas, 9 Mei 2016).
Peran santri juga tecermin dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 68 orang, belasan di antaranya santri dan ulama. Ada KH Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah. Ada pula KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Masykur dari Nahdlatul Ulama, Sukiman Wirjosandjojo dari PII, Abikusno Tjokrosujoso dari PSII, Haji Agus Salim dari Pergerakan Penyadar, serta KH Ahmad Sanusi dan KH Abdul Halim dari Persatuan Umat Islam.
Dalam sidang BPUPKI inilah dirumuskan dasar negara Indonesia yang mengalami perdebatan panjang di antara anggotanya. Namun, pada akhirnya disepakati Pancasila sebagai dasar negara, yang sampai hari ini merupakan nilai-nilai yang ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kini, perjuangan santri tak lagi melawan penjajah. Masalah kesenjangan, kemiskinan, dan kebodohan menjadi pekerjaan rumah yang juga harus dipikul oleh santri untuk memajukan bangsa, salah satunya melalui jalur politik. Melihat distribusi persebaran politisi dari kalangan santri, mereka tidak melulu berada dalam partai politik berbasis Islam. Di sejumlah partai nasionalis juga dapat ditemui politisi-politisi dari kalangan santri.
Hal itu semakin meneguhkan bahwa peran santri tak dibatasi oleh kelembagaan, tetapi lebih pada nilai-nilai kesantrian dan agama yang menjadi pegangan dalam menegakkan keadilan serta demokrasi, seperti dilakukan ulama dan santri pendahulu. Kiranya sampai kapan pun tak perlu diragukan komitmen kebangsaan dari para santri. Selamat Hari Santri.