Berdasarkan pengalaman di pilkada sebelumnya, Kota Ternate menyimpan potensi konflik yang tinggi, terlebih di masa kampanye. Bawaslu Kota Ternate memperingatkan setiap paslon untuk tidak menjelek-jelekkan lawan.
Oleh
Susanti Agustina S
·4 menit baca
Kontestasi pemilihan kepala daerah di Kota Ternate, Maluku Utara, disinyalir akan berlangsung ketat di tengah bayang-bayang masih tingginya tingkat kerawanan. Kohesivitas sosial menjadi kunci keberhasilan wilayah ini mengurangi potensi konflik sosial serta menggelar pilkada secara aman dan demokratis.
Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu, Kota Ternate berada di posisi ketiga daerah rawan dalam Pilkada 2020 dan termasuk zona merah. Indeks kerawanan Pilkada Kota Ternate mencapai 66,25. Angka ini menunjukkan, tingkat kerawanan pada kategori tinggi (level 5 dan level 6).
Kerawanan didefinisikan sebagai segala hal yang menimbulkan gangguan atau menghambat proses pemilu/pilkada yang demokratis. Lima besar indikator tingginya Indeks Kerawanan Pilkada di Kota Ternate adalah pemasangan alat peraga kampanye tidak sesuai aturan, praktik politik uang, praktik mahar politik, penggunaan fasilitas negara dalam kampanye, serta kampanye di luar jadwal.
Setidaknya ada beberapa faktor pendorong tingginya tingkat kerawanan pilkada di Kota Ternate. Di antaranya adalah keragaman suku di daerah itu, pengaruh kandidat terhadap simpatisan, serta jumlah penduduk. Potensi kerawanan boleh jadi juga disumbang dari tingginya sifat kontestasi. Kota Ternate memiliki etnis dan bahasa yang sangat beragam. Berdasarkan Rustam Hakim dalam Geo Civic Jurnal, 2019, di Ternate terdapat 12 subetnis dengan 13 bahasa lokal. Corak kehidupan sosial budaya masyarakat di Ternate kental dengan karakter yang dipengaruhi oleh corak budaya dan agama di Kesultanan Ternate.
Hubungan sosial antara massa pendukung dan pemimpin di tingkat lokal Ternate dalam pergumulan kekuasaan politik ditandai dengan militansi dan mobilisasi massa dalam memberi dukungan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika konflik fisik kerap mewarnai perjalanan pilkada di Kota Ternate.
Bakal calon wali kota Ternate yang tampil dalam membangun kekuatan politik di Pilkada 2020 masih mengandalkan modal popularitas dan modal finansial. Ketiadaan figur dominan memberi ruang bagi setiap pasangan calon (paslon), sekaligus memunculkan potensi konflik yang tinggi akibat tensi persaingan di antara keempat paslon.
Potensi konflik
Berdasarkan pengalaman di pilkada sebelumnya, Kota Ternate menyimpan potensi konflik yang tinggi, terlebih di masa kampanye. Kampanye merupakan salah satu tahapan yang patut diwaspadai dalam pilkada karena pada tahapan ini paslon mengajak masyarakat dan tim pendukung.
Gesekan antarpendukung, baik secara fisik maupun virtual lewat kampanye daring, sangat mungkin terjadi. Bawaslu Kota Ternate telah memperingatkan kepada setiap paslon untuk tidak menyinggung dan menjelek-jelekkan paslon lain.
Pada masa Pilkada 2005, ratusan pengunjuk rasa di Kota Ternate memprotes hasil pilkada dan bentrok dengan aparat keamanan. Aksi ini bermula dari kekalahan paslon Sujud Sirajuddin dan Nita Budhi Susanti. Para pendukung pasangan tersebut menuding KPU Kota Ternate berbuat curang akibat ditemukannya ribuan kartu pemilih yang tidak disalurkan dan ditemukan di tempat sampah.
Selain itu, juga ditemukan 1.800 pemilih fiktif di Kelurahan Kalumata, Ternate Selatan. Bentrokan fisik terjadi ketika jajaran Polres Kota Ternate mencoba membubarkan demonstrasi. Sikap tegas aparat keamanan ternyata tak diterima para pengunjuk rasa.
Pada Pilkada 2010, rekapitulasi hasil pilkada diwarnai penolakan oleh pendukung Iqbal Ruray-Vaya Armaiyn (Alva). Ratusan pendukung pasangan ini memaksa masuk ke ruang pleno rekapitulasi hasil pilkada di Hotel Corner. Mereka memaksa KPU setempat menunda rekapitulasi hasil pilkada hingga seluruh pelanggaran dituntaskan sesuai hukum berlaku.
Konflik di pilkada tahun 2010 itu lalu dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Namun, MK menolak gugatan paslon Iqbal Ruray-Vaya Armaiyn terkait pemungutan suara di Ternate.
Pada tahun 2015, konflik hasil Pilkada Kota Ternate kembali menjadi sengketa di MK. Salah satu paslon, Sidik Dero Siokona-Djasman Abubakar, menggugat ke MK lantaran menilai terdapat kecurangan. Paslon ini minta KPU setempat menyelenggarakan pemungutan suara ulang (PSU) di Kota Ternate. Namun, MK kemudian menolak gugatan tersebut.
Calon perempuan
Calon wali kota dari kalangan perempuan di Ternate sudah pernah ada pada Pilkada 2005. Kala itu, permaisuri Mudafar Sjah, yakni Nita Budhi Susanti, ikut mencalonkan diri sebagai calon wali kota berpasangan dengan Sidik Dero Siokona. Namun, posisinya sebagai istri Sultan Ternate tidak mampu mendongkrak perolehan suara.
Di pilkada tahun ini, kembali muncul calon dari kalangan perempuan, yakni sosok milenial yang merupakan mantan Ketua DPRD Kota Ternate, Merlisa Marsaoly. Ia ikut serta dalam pencalonan wali kota dan wakil wali kota. Marsaoly berpasangan dengan Juhdi Taslim. Munculnya kandidat perempuan ini sempat memunculkan isu jender.
Namun, pada akhirnya, siapa pun memiliki peluang yang sama untuk merebut simpati pemilih, terutama bagaimana program-program yang ditawarkan mampu menarik perhatian dan kepercayaan pemilih di Ternate.
Kontestasi yang mendasarkan pada kekuatan program sedikit banyak akan mengurangi potensi ketegangan dan akan memperkuat terwujudnya demokrasi yang sehat. (Litbang Kompas)