Mengapa Disinformasi Mudah Tersebar?
Disinformasi merupakan penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain. Memperbanyak konten berkualitas dapat dilakukan untuk melawan disinformasi dalam berbagai platform.
Disinformasi yang banyak beredar melalui media internet merupakan fenomena sosial yang harus diwaspadai. Tom Buchanan dalam studi terbarunya mengungkap faktor penyebab terjadi distribusi disinformasi ini.
Perkembangan teknologi digital selain bermanfaat untuk mendukung interaksi manusia, juga menghadirkan fenomena sosial berupa informasi yang tidak benar. Pada era digital, semua orang dapat dengan mudah membuat konten dan menyebarkannya. Dampaknya, berita tidak benar atau disinformasi dan berita bohong atau hoaks pun terus menyebar luas.
Disinformasi merupakan satu dari tiga jenis informasi tidak benar yang diangkat dalam publikasi Journalism, Fake News & Disinformation: Handbook for Journalism Education and Training yang diterbitkan UNESCO (2018). Selain disinformasi, ada pula misinformasi dan malinformasi.
Definisi disinformasi adalah penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain. Produksi dan penyebaran informasi salah ini dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu.
Kasus yang sempat mencuat akibat beredarnya disinformasi adalah penyerangan Polsek Ciracas, Jakarta Timur, pada 27 Agustus 2020. Insiden bermula dari beredarnya informasi keliru sehingga memicu emosi massa (Kompas 29/8/2020).
Peristiwa tersebut merupakan wujud nyata dampak kekacauan yang ditimbulkan oleh disinformasi. Hal ini memunculkan pertanyaan, hal apa yang membuat orang mau menyebarkan informasi keliru terkhusus dalam jaringan internet?
Pertanyaan ini yang diajukan oleh Tom Buchanan dalam jurnalnya yang berjudul Why Do People Spread False Information Online? Jurnal yang dipublikasikan pada September 2020 ini menyoroti karakter pesan dan audiens yang berpeluang menyebarkan berbagai disinformasi melalui media sosial.
Penelitian yang dilakukan Tom meliputi media sosial Facebook, Twitter, dan Instagram untuk responden di Inggris. Ditambah dengan platform Facebook untuk responden yang berada di Amerika Serikat. Riset ini melibatkan total 2.634 orang yang sebagian besar berada di Inggris dan terdapat 638 orang di antaranya berada di AS.
Karakter pesan
Tom yang merupakan akademisi dari Universitas Westminster, London, Inggris, memetakan tiga aspek karakter disinformasi yang berpotensi untuk disebarkan. Aspek yang pertama adalah konsistensi. Ketika seseorang menerima pesan yang sama secara berulang, ada kemungkinan orang tersebut akan memercayai pesan yang keliru.
Padahal, sebelum menerima pesan secara konsisten, orang tersebut mengetahui bahwa pesan yang diterimanya adalah salah. Ketika seseorang menerima pesan yang keliru secara terus-menerus, perlahan akan dianggap sebagai kebenaran.
Konsep ini pernah digunakan oleh Nazi. Menteri Propaganda Nazi Joseph Goebbels menamakan konsep tersebut sebagai ”kebohongan besar”. Goebbels menyatakan bahwa jika kebohongan yang besar disampaikan secara terus-menerus, orang akan percaya pada hal ini.
Paparan disinformasi terhadap seseorang melalui media sosial didorong oleh sistem algoritma platform digital. Adalah yang disebut ”filter bubble” dalam ekosistem internet, termasuk media sosial.
Istilah yang dipopulerkan oleh Eli Pariser ini merujuk pada kecenderungan aplikasi daring yang digunakan seseorang akan merekomendasikan informasi serupa. Hal inilah salah satu yang dapat mendorong konsistensi paparan disinformasi terhadap seseorang.
Kemudian, aspek yang kedua adalah konsensus atau kesepakatan. Sebuah pesan atau konten di media sosial dapat diyakini kebenarannya ketika mendapat banyak tanggapan oleh warganet. Misalnya, jumlah retweet, ”suka”, atau ”berbagi” yang tertera pada materi unggahan dapat menggugah seseorang untuk ikut berpartisipasi di dalamnya.
Dalam bidang pemasaran, fenomena ini disebut dengan ”pembuktian sosial”. Suatu produk akan mendapat perhatian apabila dikerumuni oleh banyak orang. Pada era perdagangan daring saat ini, penilaian dapat dilihat dari seberapa banyak orang membeli produk serta bagaimana tanggapan atau ulasannya.
Prinsip yang sama berlaku pada sebuah konten disinformasi jika dianalogikan sebagai sebuah produk yang diperdagangkan. Persoalannya adalah jumlah ”suka”, ”dibagikan”, dan indikator lainnya dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga berjumlah banyak.
Jasa jual pengikut dan ”suka” bertebaran di dunia maya. Hal ini sudah umum diketahui oleh warganet, tetapi belum tentu seseorang dapat menilai akun mana yang menggunakan jasa ini atau organik (wajar/alami).
Terakhir, aspek yang ketiga adalah kekuatan otoritas yang menyertai pesan atau konten. Pesan dapat dipercayai keabsahannya apabila disampaikan oleh orang atau lembaga yang kredibel. Namun, identitas seseorang atau lembaga dapat dipalsukan oleh pihak yang bertujuan mencelakai ketertiban masyarakat.
Misalnya, ketika dilakukan pencarian akun ”Jokowi” di Instagram, akan banyak muncul nama-nama akun yang memakai kata ”Jokowi”. Akun yang dimiliki oleh Presiden Indonesia memiliki ciri centang biru. Tanda ini menunjukkan keaslian akun bahwa benar dimiliki oleh pemegang identitas tersebut.
Disinformasi dapat tersebar melalui akun palsu yang menyerupai akun asli. Misalnya, aku Twitter @TVRINasional, kemudian ada juga akun @TVRIJakarta yang merupakan akun resmi. Hal ini diindikasikan dari tanda centang biru di sebelah kanan nama akun.
Namun, ada akun @TVRIRiau yang belum memiliki centang biru. Dari sini terbuka kemungkinan bahwa bisa saja ada oknum yang memanfaatkan dengan cara membuat akun siluman @TVRIKotaManaSaja, misalnya. Oknum yang menyamar sebagai akun Twitter TVRI dapat menyebarkan disinfromasi dan merugikan masyarakat.
Beredarnya pesan disinformasi bisa diawasi oleh lembaga negara. Di Indonesia, fungsi ini diemban oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Tim Siber Polri. Selanjutnya, bagaimana dari sisi pengguna yang secara sukarela dan sadar turut menyebarkan disinformasi?
Kondisi pengguna
Tom menemukan terjadi hal yang paradoks dari sisi pengguna. Warganet tahu apa itu disinformasi dan paham tentang dampaknya, tetapi tetap saja ada peluang ikut menyerbarluaskannya. Hal inilah yang berusaha dikuak oleh Tom dalam studinya.
Kondisi pertama adalah latar belakang keyakinan seseorang dan pandangannya terhadap dunia. Dalam studi yang dilakukan Tom, salah satu temuannya adalah ada kaitan antara afiliasi politik dan kepercayaan terhadap informasi tertentu. Dalam konteks masyarakat Indonesia, peristiwa polarisasi politik pada Pilpres 2019 dapat menjadi pelajaran.
Masyarakat Indonesia pernah terpecah antara pendukung Jokowi atau Prabowo. Pilihan seseorang dapat memengaruhi cara merespons sebuah disinformasi. Seseorang cenderung memercayai hal-hal yang sesuai dengan keyakinan diri.
Sebagai contoh, orang yang memilih Jokowi akan menelan mentah-mentah kabar buruk tentang Prabowo, hal ini terjadi juga berlaku sebaliknya. Nilai kebenaran informasi menjadi dikesampingkan ketika isi pesan menggiring pada segi kepercayaan serta emosional/afeksi.
Berikutnya, kondisi yang kedua adalah sikap spontanitas yang lazim terjadi ketika seseorang menggunakan media sosial. Celah ini muncul ketika pengguna internet menyerap informasi hanya sekilas dan cenderung serampangan.
Hal ini diulas dalam artikel dari Asosiasi Psikologi Amerika yang berjudul ”Why we fall for fake news: Hijacked thinking or laziness?” Dikatakan bahwa warganet cenderung selesai menyerap informasi cukup dengan melihat tangkap layar (screenshot), judul berita, atau kalimat awal berita saja.
Fenonema ini disebut dalam artikel sebagai sebuah kemalasan untuk berpikir lebih jauh. Penerimaan informasi hanya memproses pesan dalam satu langkah saja. Pesan tidak ditelaah sampai dengan melakukan cek fakta dari sumber lain.
Dari hasil temuannya, Tom mengusulkan upaya untuk melawan peredaran disinformasi. Caranya, dengan membuat informasi yang akurat dengan format menyerupai peredaran pesan keliru. Dari segi kuantitas harus bisa mengungguli konten disinformasi. Hal ini dilakukan supaya sistem internet dapat menyodorkan konten positif kepada audiens.
Berikutnya dengan menarik aktivitas organik warganet, jangan memanfaatkan jasa ”suka” bayaran atau membeli pengikut. Semakin banyak khalayak yang berpartisipasi meramaikan konten, semakin terdorong menjadi topik hangat (trending topic).
Terakhir, distribusi konten berkualitas dilakukan oleh tokoh publik, lembaga pemerintah, media massa dengan reputasi prima, serta lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu-isu spesifik. Tentu saja jumlahnya harus lebih besar dibandingkan dengan para pembuat disinformasi.
Pada titik ini, literasi media digital dipandang oleh Tom menjadi lemah perannya. Perbaikan harus dilakukan di dalam ekosistem media sosial dan internet. Strateginya dengan memperbanyak konten berkualitas untuk melawan disinformasi dalam berbagai platform.
Baca juga: Infodemik Tidak Kalah Bahaya dari Covid-19
Literasi media digital tetap masih diperlukan. Literasi berkutat pada cara mengonsumsi produk. Apabila produk yang berkualitas kalah saing dengan peredaran disinformasi, literasi media akan sia-sia. (LITBANG KOMPAS)