Uji Ketahanan Struktur Ekonomi
Produk sektor primer mendasari sektor sekunder yang melakukan pengolahan. Saat sektor sekunder mampu mengolahnya, sektor tersier bergerak dengan memasarkan produk yang dihasilkan di dalam negeri. Inilah kondisi idealnya,
Sepanjang dua dekade terakhir, porsi sektor tersier dalam struktur perekonomian nasional kian besar, menggerus sektor primer dan sekunder. Pandemi Covid-19 menguji daya tahan struktur ekonomi itu.
Struktur perekonomian Indonesia mengalami perubahan dari waktu ke waktu, ditandai dengan pergeseran sektor dominan perekonomian. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat, pada 1960-1980, perekonomian nasional didominasi sektor primer, yakni pertanian dan pertambangan.
Saat itu, sektor primer berkontribusi 50-60 persen pada produk domestik bruto (PDB) nasional. Sektor dominan kedua ialah sektor tersier yang berkontribusi 30-40 persen. Sektor ini merupakan lapangan usaha yang bergerak dalam bidang jasa.
Berikutnya ialah sektor sekunder, yang melakukan pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi, dengan kontribusi 10-20 persen pada PDB. Menurut definisi Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ini terdiri dari industri manufaktur; pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah, dan daur ulang; pengadaan listrik dan gas; serta konstruksi.
Peran teknologi
Satu dekade berikutnya, pergeseran struktur terjadi dalam perekonomian Indonesia. Tahun 1993, kontribusi sektor sekunder berkisar 30-40 persen terhadap PDB, menggeser sektor primer ke urutan terbawah, 25-30 persen. Adapun sektor tersier terus naik ke posisi teratas dengan sumbangan 40 persen.
Peningkatan itu tidak terlepas dari peran program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang memprioritaskan pertanian dan pengembangan industri. Sektor tersier yang di dalamnya terdapat lapangan usaha perdagangan turut meningkat, salah satunya perdagangan luar negeri.
Struktur itu kian berlanjut hingga saat ini. Sektor tersier kian melambung hingga mampu menyumbang 44 persen pada PDB nasional tahun 2019. Hal tersebut sejalan dengan kemajuan teknologi yang dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) sektor itu.
Di tengah disrupsi teknologi, bidang usaha di bawah naungan sektor tersier dengan cepat mengadopsi kemajuan itu. Usaha jasa atau layanan seperti keuangan memanfaatkan teknologi untuk membentuk teknologi finansial.
Di sisi lain, usaha perdagangan dalam jaringan (daring) kian marak dewasa ini. Situs-situs belanja daring kian diminati masyarakat. Jasa penyedia akomodasi dan makan-minum juga dengan cepat beradaptasi dengan digitalisasi.
Struktur tenaga kerja
Data BPS menunjukkan, setelah 2010, rentang antara sektor tersier dan primer kian melebar. Saat hampir separuh PDB nasional disumbang oleh sektor tersier, sektor primer sebagai tulang punggung ekonomi di masa lampau merosot hingga 20 persen pada tahun lalu. Sektor sekunder yang sempat berjaya pada masa Repelita turut menyusut.
Perubahan itu juga terjadi pada struktur tenaga kerja. Jika dilihat menurut lapangan usaha, pertanian merupakan lapangan usaha dengan jumlah tenaga kerja terbanyak. Pada 2011, lebih dari sepertiga total tenaga kerja Indonesia berada di sektor pertanian (37,89 persen).
Namun, komposisi itu menyusut hingga 29,04 persen pada Februari tahun lalu. Bahkan, jika dilihat secara keseluruhan pada sektor primer, jumlahnya jauh lebih rendah daripada lapangan usaha pertanian tahun 2011.
Tenaga kerja sektor primer dan sekunder terus berkurang dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Pada saat yang sama, sektor tersier semakin mampu menyerap tenaga kerja seiring dengan peningkatan kontribusinya terhadap ekonomi nasional.
Daya tahan
Kendati terus tumbuh pesat seiring dengan kemajuan teknologi, sektor tersier menghadapi tantangan daya tahan akibat pandemi Covid-19. Kondisi perekonomian triwulan I hingga triwulan III tahun 2020 membuktikan bahwa sektor tersier rentan terimbas gejolak. Sebaliknya, sektor primer menunjukkan kecenderungan kembali meningkat.
Hal itu tecermin dari laju pertumbuhan dan kontribusinya terhadap PDB nasional pada triwulan II tahun ini. Secara umum, laju pertumbuhan sektor tersier mengalami kontraksi dibandingkan dengan tahun lalu (year on year).
Salah satu komponen sektor itu dengan kontraksi terdalam adalah transportasi hingga minus 30,84 persen. Sektor itu diikuti penyedia akomodasi dan makan minum (minus 22,02), jasa perusahaan (minus 12,09), dan perdagangan (minus 7,57). Lapangan usaha informasi dan komunikasi, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan masih mampu tumbuh positif.
Sementara pertanian sebagai pembentuk utama sektor primer menjadi salah satu lapangan usaha yang tetap tumbuh positif, yakni 2,19 persen. Bahkan, dibandingkan dengan triwulan I-2020 (q-to-q), laju pertumbuhan pertanian paling tinggi dibandingkan dengan lapangan usaha lain, yakni 16,24 persen. Dua lapangan usaha lain yang juga tumbuh positif (q-to-q) ialah informasi dan komunikasi serta pengadaan air dan pengelolaan sampah (sektor sekunder).
Berdasarkan kontribusinya pada PDB, sektor primer justru mengalami peningkatan di tengah bencana non-alam yang tengah melanda dibandingkan dengan tahun lalu. Hal ini berbanding terbalik dengan sektor tersier yang justru menyusut, seperti halnya sektor sekunder.
Hal serupa terjadi saat krisis finansial 2008. Tren data yang dihimpun BPS menunjukkan peran sektor tersier pada ekonomi nasional mengalami penyusutan saat krisis terjadi. Setelah mampu berkontribusi hingga 40 persen pada perekonomian, pada 2008 sektor itu menyusut hingga 37,5 persen. Angka itu semakin berkurang hingga 37,1 persen pada tahun berikutnya.
Baca juga: Memulihkan Konsumsi dan Investasi
Bahkan, angka itu beririsan dengan sektor sekunder yang terus melaju sejak 2000. Namun, sektor itu kembali turun ketika ekonomi mulai pulih.
Sebaliknya, peran sektor primer terus merangkak naik ketika gejolak ekonomi menyusutkan kontribusi sektor lainnya. Sektor primer mampu berkontribusi 26,4 persen pada 2010 setelah menyusut hingga 23,3 persen pada 2003.
Kendala SDM
Sektor primer menunjukkan kemampuan bertahan di tengah gejolak global. Memprioritaskan kembali sektor itu menjadi layak dipertimbangkan, mengingat kondisi global yang kian tidak menentu.
Namun, kemajuan teknologi tetap penting diadopsi. Sejauh ini, sektor primer Tanah Air masih minim sentuhan digitalisasi. Salah satu faktor penyebabnya ialah keahlian SDM yang rendah. Hal itu tergambar dari tingkat pendidikan SDM sebagai pengelolanya.
BPS mencatat, pendidikan tertinggi empat dari 10 tenaga kerja Indonesia adalah sekolah dasar. Dengan kata lain, ada juga yang sama sekali tidak memiliki pengalaman bersekolah dan tidak tamat SD.
Baca juga: Meredam Ongkos Resesi
Adapun SDM dengan tingkat pendidikan SMA hingga perguruan tinggi semakin meninggalkan sektor primer. Mereka beralih ke lapangan usaha di sektor sekunder dan tersier dengan besaran pendapatan yang lebih pasti.
Padahal, sektor primer merupakan sektor kunci bagi keberlangsungan sektor sekunder dan tersier. Produk yang dihasilkan sektor primer menjadi dasar keberlangsungan sektor sekunder yang melakukan pengolahan.
Selanjutnya, ketika sektor sekunder mampu mengolah hasil produksi sektor primer, sektor tersier akan terus bergerak dengan memasarkan produk yang dihasilkan dalam negeri. Kondisi inilah yang idealnya terjadi.
(LITBANG KOMPAS)