Pilkada Makassar Mulai Mencair
Dukungan kepada empat calon wali kota dan wakil wali kota pada Pilkada Makassar relatif seimbang satu sama lain, yakni di kisaran 20-32 persen. Hal ini membuat pertarungan akan berlangsung ketat.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Pemilihan Kepala Daerah Kota Makassar diramaikan oleh empat kandidat. Hal ini tentu patut dirayakan karena masyarakat tidak lagi dihadapkan pada kotak kosong seperti saat Pilkada 2018.
Meskipun masih diikuti pasangan calon petahana dan pasangan calon dari gabungan partai politik yang berbau politik kekerabatan, dukungan elektoral yang dimiliki tiap calon cenderung merata. Alhasil, tampaknya Pilkada Makassar kali ini tak akan dapat dimenangi secara mudah oleh siapa pun.
Pilkada 2018 di Makassar, Sulawesi Selatan, tentu tidak mudah untuk dienyahkan dari ingatan. Saat itu, satu-satunya kandidat yang diusung oleh 10 partai harus bertekuk lutut di hadapan kotak kosong. Pada pemilihan itu, Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi hanya meraup 46,77 persen suara, berselisih sekitar 5 persen dari kotak kosong yang secara mengejutkan mendapat 52,32 persen.
Hal itu tentu menjadi alarm yang keras bagi para elite politik di Makassar, kota terbesar di Indonesia bagian timur. Dukungan politik yang tersentralisasi nyatanya tak dapat diartikan menjadi dukungan yang nyata pada tingkat akar rumput. Ujungnya, masyarakat justru kehilangan simpati kepada para elite politik di kota itu.
Di sisi lain, fenomena Pilkada 2018 tersebut dapat dilihat sebagai anomali dalam perpolitikan Kota Makassar. Sebelumnya, pemilihan wali kota Makassar selalu ditandai dengan pasangan calon dalam jumlah yang relatif banyak. Tiap pasangan pun memiliki latar belakang yang sangat beragam dan tidak hanya diusung oleh partai-partai besar yang berkuasa di lembaga legislatif daerah.
Pada Pilkada Makassar 2008 terdapat tujuh pasangan calon yang bertarung untuk meraih kursi wali kota dan wakil wali kota Makassar. Empat di antaranya diusung oleh partai, sedangkan tiga pasangan lainnya merupakan calon independen. Saat itu, pasangan petahana Ilham Arief Sirajuddin-Supomo Guntur yang diusung Partai Golkar dan PDI-P menang dengan perolehan 67,06 persen suara.
Hal serupa terjadi pada Pilkada Makassar 2013. Tak kurang dari 10 pasangan calon bertarung. Meski akhirnya dimenangi pasangan dari partai mapan Demokrat dan PBB, pilkada ini juga diikuti pasangan calon partai politik di luar parlemen. Selain itu, ketika itu ada penambahan jumlah calon independen menjadi empat pasangan calon.
Fenomena itu merefleksikan cairnya peta politik di Kota Makassar sebelum Pilkada 2018. Tingginya jumlah partisipasi dari sosok-sosok di luar lingkaran elite politik menunjukkan masyarakat tidak terpaku pada pasangan dari partai-partai besar, yang tentu disokong modal politik dan finansial tidak sedikit.
Bahkan, calon-calon independen, seperti Muhyina Muin-Syaiful Saleh, pada Pilkada 2013, dengan perolehan sekitar 10 persen suara, jauh meninggalkan Adil Patu-Isradi Zainal yang diusung PDK dan Gerindra dengan perolehan hanya 2 persen.
Dengan melihat sejarah kontestasi itu, Pilkada 2020 tentu bisa dijadikan momentum positif bagi laku politik di Makassar. Meski tak lagi dihiasi kehadiran partai-partai kecil dan calon independen, ”kekakuan politik” di kota metropolitan ini mulai terurai.
Wajah lama kekerabatan
Namun, di sisi lain, nuansa politik kekerabatan terasa cukup kental. Dominasi trah Yasin Limpo, yang diwakili Irman Yasin Limpo, hadir dalam kontestasi Pilkada 2020.
Latar belakang keluarga dari Irman tentu tak dapat dipandang sebelah mata. Beberapa kerabat sedarahnya yang pernah menjadi pejabat publik meliputi ibunya, Nurhayati Yasin Limpo (anggota DPR RI 2004-2009); saudaranya, Ichsan Yasin Limpo (Bupati Gowa); dan Syahrul Yasin Limpo, yang pernah menjabat Gubernur Sulawesi Selatan dan kini menjadi Menteri Pertanian.
Pasangannya, Andi M Zunnun Armin Nurdin Halid, juga bukan nama baru pada lanskap politik Makassar. Andi M Zunnun merupakan putra dari politisi kawakan Golkar, Nurdin Halid. Meski pada pemilu tahun lalu Andi gagal saat mencalonkan diri sebagai caleg DPRD provinsi, pengaruh Nurdin sebagai putra daerah dan mantan anggota DPR serta Ketua PSSI tentu tak dapat diremehkan. Walhasil, dengan dukungan Golkar, PAN, PKS, dan Berkarya, Irman-Andi tidak bisa dipandang sebelah mata.
Baca juga: Penolakan Terbuka Warga di Sulsel
Pilkada 2020 di Makassar juga menampilkan kekuatan politik petahana. Ramdhan Pomanto dan Syamsu Rizal, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar 2014-2019, kini sudah pecah kongsi. Kini Pomanto menggaet Fatmawati Rusdi, sedangkan Syamsu Rizal meminang Fadli Ananda sebagai calon wakil wali kota yang mendampinginya.
Pilkada 2020 juga menjadi kesempatan bagi Pomanto untuk menebus kegagalannya pada Pilkada 2018. Saat itu, pencalonan Pomanto yang berpasangan dengan Indira Mulyasari dari Nasdem dibatalkan akibat dugaan praktik politik uang yang dilakukan olehnya.
Dukungan elektoral
Secara elektoral, dukungan yang diberikan kepada empat calon wali kota dan wakil wali kota pada Pilkada Makassar relatif seimbang di kisaran 20-32 persen. Hal ini menunjukkan, meski tiap kandidat memiliki modal sosial, ekonomi, serta kekerabatan yang berbeda, kesempatan bagi tiap kandidat untuk menang tidak memiliki perbedaan yang timpang. Artinya, petahana dan calon dari politik dinasti masih mungkin untuk dikalahkan oleh calon lainnya.
Pasangan dengan dukungan politik parlemen paling besar ialah pasangan Irman dan Andi. Diusung oleh Golkar, PAN, PKS, dan Partai Berkarya, mereka mengantongi dukungan setara 16 kursi, atau sama dengan 32 persen dari total anggota parlemen daerah. Tak berselisih jauh di bawahnya terdapat Munafri Arifuddin-Rahman Bando yang diusung PPP, Demokrat, dan Perindo. Jika dijumlahkan, dukungan kursi DPRD untuk mereka ialah 13 kursi, atau 26 persen total kursi di DPRD Kota Makassar.
Baca juga: Perluasan Bandara Sultan Hasanuddin Hampir Rampung
Pasangan dengan jumlah dukungan elektoral terbesar ketiga ialah Ramdhan Pomanto dan Fatmawati Rusdi. Diusung Gerindra dan Nasdem, pasangan ini mengantongi dukungan dari 11 anggota parlemen, atau 22 persen dari total kursi di parlemen kota.
Terakhir duet Syamsu Rizal-Fadli Ananda menjadi pasangan dengan dukungan elektoral paling sedikit. Diusung PDI-P, PKB, dan Hanura, mereka mendapat dukungan dari 10 anggota DPRD Kota Makassar, setara dengan 20 persen dari total kursi legislatif.
Kita tunggu, apakah pilihan politik publik Makassar akan memilih aras ketokohan, pilihan partai, atau aspek idealisme politik lainnya.
(Litbang Kompas)