Kota Palu memiliki tingkat risiko tinggi terhadap bencana alam. Sejauh ini, mitigasi bencana belum menjadi perhatian pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·5 menit baca
Menjadi pemimpin di wilayah dengan risiko bencana memiliki tantangan tersendiri. Indeks Risiko Bencana 2015-2018 yang disusun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, Kota Palu termasuk wilayah yang memiliki tingkat risiko tinggi terhadap bencana alam.
Salah satu risiko bencana itu berupa keberadaan sesar aktif Palu-Koro yang membentang dari Laut Sulawesi kemudian membujur membelah Kota Palu dan berakhir di Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Ini menggambarkan jejak gempa dan tsunami di wilayah Palu seperti yang terjadi pada 28 September 2018.
Saat itu, gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,4 yang diikuti tsunami serta likuefaksi melanda Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Likuefaksi yang termasuk paling parah terjadi di dunia itu menyebabkan 2.113 orang meninggal dan 1.309 orang hilang ditelan tsunami maupun tanah ambles. Sebanyak 235.911 warga Palu mengungsi karena kehilangan tempat tinggal. Di beberapa lokasi yang terdampak likuefaksi, tanahnya tidak dapat dibangun kembali.
Genap dua tahun pascabencana belum semua warga Palu bisa mendapat hunian tetap. Berdasar data Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII), dari target 3.171 unit hunian tetap di Palu, baru 1.130 unit yang selesai didirikan. Sejumlah 1.248 unit masih dalam pengerjaan dan 793 unit belum mulai dikerjakan.
Mengentaskan korban gempa bukan satu-satunya pekerjaan yang harus secepatnya diselesaikan. Dampak gempa juga mengguncang perekonomian warga dan pertumbuhan ekonomi kota. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 8,89 persen pada 2014 turun menjadi 4,58 persen pada 2019. Tak ayal, masyarakat Kota Palu sulit mencari pekerjaan.
Belum usai bencana gempa tertangani, muncul batu sandungan lain yang harus dihadapi, pandemi Covid-19. Kota Palu menjadi wilayah dengan kasus positif korona kumulatif tertinggi di Sulteng.
Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng per 14 Oktober 2020 menunjukkan, ada total 246 kasus. Korban yang meninggal 15 orang, lebih banyak dibandingkan gabungan korban jiwa di 12 kabupaten lain di Sulteng, yakni 10 korban meninggal.
Peluang petahana
Persoalan kota dengan tingkat risiko bencana merupakan tantangan yang harus dijawab oleh empat pasangan calon (paslon) yang bertarung memperebutkan kursi nakhoda Kota Palu. Dengan minimal empat paslon, hasil pilkada-pilkada sebelumnya menunjukkan ketatnya perolehan suara. Untuk memenangi pilkada, petahana harus berjuang keras. Dalam Pilkada 2015, Hidayat menang dengan hanya meraup 36 persen suara. Sebelumnya, di Pilkada 2010, Rusdi Mastura memenangi pilkada dengan 31 persen suara.
Tiga penantang petahana saat ini memiliki modal dari sisi parpol, jaringan massa, serta pengalaman kepemimpinan birokrat dan partai. Pasangan nomor urut 1 Aristan–Muhammad Wahyudin yang dicalonkan oleh PKS dan Nasdem. Aristan merupakan Wakil Ketua DPD Partai Nasdem Sulteng.
Sebelum bergabung dengan parpol, dia dikenal sebagai aktivis lingkungan hidup yang pernah menjadi Direktur Eksekutif Walhi Sulteng serta Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Sulteng. Pasangan Aristan, Wahyudin, merupakan Ketua DPW PKS Sulteng.
Pasangan berikutnya ialah Hadianto Rasyid-Reny A Lamadjido dari Partai Hanura dan PKB yang memiliki tujuh kursi legislatif. Hadianto merupakan Ketua DPD Partai Hanura Sulteng, sedangkan Reny Lamadjido merupakan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng. Ia dikenal sebagai Wakil Sekretaris Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Sulteng.
Paslon nomor urut tiga merupakan petahana Wali Kota Palu Hidayat yang berpasangan dengan Habsa Yanti Ponulele. Pasangan Hidayat-Habsa diusung PDI-P, Partai Demokrat, dan PAN dengan 8 kursi di DPRD.
Latar belakang Hidayat ialah birokrat. Sebelum terpilih sebagai wali kota pada 2015, Hidayat menjadi Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sulteng dan Pejabat Bupati Kabupaten Sigi. Sementara Habsa Yanti merupakan anggota DPRD Sulteng dari Fraksi Nasdem.
Terakhir, Partai Golkar dan Partai Gerindra mengusung pasangan Imelda Liliana Muhidin-Arena JR Parampasi. Dari sisi dukungan politik, pasangan ini berpeluang kuat bersaing sengit dengan petahana. Imelda Liliana merupakan kader Golkar yang menjabat Bendahara Partai Golkar Sulteng.
Ia merupakan anak dari tokoh Golkar Sulteng yang juga anggota DPR, Muhidin M Said. Liliana akan didampingi politisi senior Arena Parampasi yang merupakan Ketua DPC Gerindra Kota Palu yang pernah menjadi anggota DPRD Sulteng.
Harapan baru
Paslon Artisan-Wahyudin mengusung tujuh program unggulan. Mereka menawarkan bantuan dana segar untuk setiap kelurahan serta tunjangan bagi tenaga honorer daerah. Nilai yang dijanjikan Rp 1 miliar untuk setiap kelurahan dan tunjangan bagi honorer Rp 1 juta setiap bulan.
Pasangan Hadianto-Reny menawarkan program dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Palu 2005-2025. Penyediaan kawasan pusat industri, perdagangan, pariwisata, dan pelayanan publik yang selaras dengan terjaganya kelestarian lingkungan hidup menjadi target pasangan ini.
Calon petahana Hidayat-Habsa memiliki enam butir program yang disusun dalam paparannya. Program berjajar penguatan peran lembaga adat, memperkuat infrastruktur, terutama penunjang pariwisata, membenahi birokrasi, pengembangan UMKM dan investasi, pendidikan gratis serta pelayanan kesehatan yang murah, dan pengembangan sistem informasi pemerintahan.
Adapun pasangan Imelda-Parampasi menawarkan program unggulan, yakni meningkatkan pelayanan dasar masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan. Di bidang ekonomi, Imelda-Parampasi berjanji akan menciptakan lapangan kerja serta mendorong pengembangan UMKM dan sektor pariwisata.
Terdapat keragaman program para paslon untuk merebut hati 213.957 pemilih di Kota Palu. Mulai dari yang pragmatis, yakni menjanjikan bantuan dana segar, hingga gagasan idealis untuk menumbuhkan sumber daya manusia Kota Palu yang kompetitif di masyarakat global.
Namun, dari berbagai program yang ditawarkan, strategi dan mitigasi bencana belum menjadi perhatian utama bagi para calon pemimpin daerah. Padahal, KPU Kota Palu mewajibkan penyusunan visi dan misi mengacu pada RPJP 2005-2025. Dalam Bab II rancangan tersebut jelas memuat tentang konsep wilayah rawan bencana.
Mitigasi di kota bencana merupakan isu mendasar untuk menekan dampak risiko dan memberikan harapan baru bagi warga Palu. Namun, para paslon tampaknya sudah ”melupakan” ancaman yang masih mengintai Palu tersebut. Perlu penyegaran ingatan para paslon akan rawannya kondisi Palu di tengah berbagai persoalan ekonomi dan kesejahteraan saat ini.