Buruh di Tengah Pusaran Politik Bangsa
Gerakan buruh belum menemukan format yang ideal sehingga mampu menjadi kekuatan pengaruh yang kuat. Fragmentasi kekuatan buruh menjadi pekerjaan rumah untuk merumuskan konsolidasi dari kekuatan buruh itu sendiri.
Aksi demonstrasi buruh yang menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi rentetan rekam jejak dan bukti bahwa kaum buruh sejatinya tidak takut untuk bersuara. Sayangnya, gerakan politik buruh ini memang tidak mudah dan kerap kali mengalami ”kegagalan” karena tuntutannya tak kunjung terpenuhi.
Meskipun demikian, gerakan buruh tidak mengenal putus asa dan lelah meskipun pemerintah dan DPR tetap kukuh mengegolkan Undang-Undang Cipta Kerja. Di satu sisi, hal ini dapat dimaknai bahwa kaum buruh dengan jumlah yang sesungguhnya besar ini tak memiliki kekuatan politik yang kuat. Padahal, golongan inilah yang dulu berjasa besar membawa Indonesia menuju kemerdekaan.
Di dalam politik internasional, suara buruh menjadi salah satu yang paling diperhitungkan. Di berbagai belahan dunia, buruh yang bersatu dan membentuk wadah politik berhasil memengaruhi jalannya pemerintahan. Tidak berhenti di situ, di beberapa negara, perdana menteri atau presiden bahkan berasal dari partai berbasis buruh.
Hal ini dapat kita lihat di Selandia Baru, Inggris, Brasil, dan Australia. Di negara-negara tersebut, partai buruh memiliki sejarah panjang dalam memberikan pengaruh terhadap jalannya pemerintahan.
Kader-kader dari partai buruh pernah memimpin negara tersebut, seperti Kevin Rudd saat menjadi Perdana Menteri di Australia dan Lula da Silva di Brasil. Tidak hanya itu, di Selandia Baru, partai buruh menjadi salah satu partai yang bergabung dalam koalisi pemerintahan.
Di dalam politik internasional, suara buruh menjadi salah satu yang paling diperhitungkan.
Dalam lingkup yang lebih luas, buruh pun memiliki wadah dalam bentuk organisasi internasional. Beberapa organisasi internasional yang memayungi serta memperjuangkan hak buruh ialah Organisasi Buruh Internasional (ILO), International Trade Union Confederation, Fair Labor Association (FLA), dan Industrial Workers for the World (IWW). Bahkan, ILO merupakan salah satu organisasi di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kehadiran organisasi internasional yang fokus kepada kesejahteraan buruh itu penting. Meski tidak ada organisasi internasional yang dapat memaksa sebuah negara untuk mengadopsi kebijakan tertentu, adanya organisasi buruh internasional dapat memberi tekanan kepada negara dan para pemilik modal dalam bentuk standar kesejahteraan internasional yang musti diikuti.
Selain itu, di ILO, negara anggota tidak hanya harus mengirimkan delegasi pemerintahnya, tetapi juga harus mengirimkan delegasi dari pengusaha serta serikat buruh. Para delegasi tersebut berhak untuk datang dan bersuara di Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference/ILC) yang diadakan setiap tahun.
Meskipun begitu, dalam beberapa dekade terakhir, telah terjadi tren penurunan anggota serikat buruh di negara-negara di seluruh dunia. Hanya beberapa negara, seperti Spanyol, Irlandia, dan Meksiko, yang tidak ikut mengalami tren negatif ini. Negara-negara tersebut bisa mempertahankan, bahkan meningkatkan, jumlah anggota serikat buruh mereka selama beberapa tahun terakhir.
Tren ini tentu menjadi alarm bagi buruh. Umumnya, tren ini didorong oleh adanya relokasi industri atau kebijakan yang membatasi serikat buruh dari pemerintah. Sayangnya, semakin sedikitnya anggota serikat buruh berdampak langsung kepada kekuatan gerakan buruh di negara tersebut.
Hal ini tentu akan menyebabkan semakin rentannya posisi buruh di hadapan para pemilik modal. Kondisi ini berujung pada persoalan ekonomi yang lebih serius, seperti semakin lebarnya jurang ketimpangan ekonomi.
Gerakan buruh di Indonesia
Sama dengan negara berkembang lainnya, buruh menjadi salah satu profesi yang digeluti sebagian besar penduduk di Indonesia. Tak ayal, sepanjang sejarah, buruh pun mewarnai jalannya politik serta pemerintahan di negeri ini.
Bahkan, hal ini telah terjadi semenjak sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, posisi buruh kini tampaknya jauh dari posisi strategis yang dulu sempat mereka tempati.
Jika ditilik, geliat buruh di Indonesia telah ada setidaknya semenjak awal abad ke-20-an. Saat itu, berdirilah serikat buruh di Indonesia yang bernama Staatspoorwegen Bond (SS Bond) yang didirikan oleh buruh-buruh yang bekerja di sektor perkeretaapian. Sayangnya, SS Bond saat itu tidak mampu berkembang menjadi organisasi yang kuat karena sifatnya yang eksklusif dan didominasi oleh warga negara Belanda.
Namun, meski dianggap tak mampu menghasilkan gerakan yang konkret, SS Bond menjadi embrio yang akhirnya berkembang menjadi organisasi yang sangat berpengaruh. Organisasi itu ialah Vereeniging van Spooor-en Tramweg Personeelin Nederlandsch Indie (VSTP).
Serikat ini menjadi semakin progresif ketika Henk Sneevliet, seorang politisi berhaluan kiri dari Belanda, datang ke Indonesia dan mendirikan organisasi buruh lain dengan semangat inklusivitas yang sama bernama Indishce Social Democratische Vereeniging (ISDV).
Ketika Semaoen, Ketua VSTP; dan Sneevliet bertemu, perkembangan serikat buruh di Indonesia pun menjadi eksplosif. Beberapa serikat buruh pun kemudian bermunculan, seperti Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB), Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) dan Personeel Fabriks Bond (PFB). Tren ini terus berlanjut bersamaan dengan momentum pergerakan nasional pada tahun 1920-an.
Aktivisme serikat buruh tak lagi berhenti pada isu kesejahteraan saja. Lambat laun pergerakan serikat pekerja mulai bergeser dari isu relasi pemilik modal dengan buruh menuju ke isu resistensi terhadap pemerintahan kolonial serta ide kemerdekaan. Terlebih lagi, sebagian besar yang tergabung dalam serikat buruh tak lagi merupakan warga negara Belanda yang bekerja di Indonesia.
Tak ayal, pemerintah kolonial gerah dengan geliat serikat buruh. Selama berkuasa hingga kedatangan Jepang, pemerintah kolonial pun merepresi gerakan serikat buruh dengan melakukan penangkapan, penculikan, penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap anggota dan tokoh dari serikat. Namun, pada akhirnya, buruh tetap bersatu dan dapat berperan serta dalam perjuangan kemerdekaan republik.
Pada saat inilah mulai tampak benih fragmentasi dalam gerakan buruh di Indonesia. Awalnya, beberapa organisasi buruh besar, seperti Barisan Buruh Indonesia (BBI), Barisan Buruh Wanita (BBW), dan Laskar Buruh Indonesia (LBI), mengadakan kongres pada November 1945 dan mendirikan Partai Buruh Indonesia (PBI).
Buruh menjadi bagian penting dari masyarakat yang suaranya dipertimbangkan oleh pemerintah.
Namun, seiring berjalannya waktu, organisasi serta figur penting dari serikat buruh justru dekat dengan tokoh politik dari partai lain, seperti kedekatan Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI) dengan Sutan Syahrir dari Partai Sosialis Indonesia.
Bahkan, akhirnya beberapa organisasi buruh justru lahir dari serta menjadi underbow dari partai, seperti Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) yang dibentuk oleh elite Masyumi dan Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia yang didirikan oleh tokoh PNI.
Meski tak bergabung dalam satu wadah, gerakan politik buruh pada masa orde lama tak dapat dipandang sebelah mata. Buruh menjadi bagian penting dari masyarakat yang suaranya dipertimbangkan oleh pemerintah. Aktifnya buruh dalam dinamika politik pun memberikan ruang bagi mereka untuk membawa agenda kesejahteraan buruh ke meja para pengambil kebijakan.
Tantangan gerakan buruh
Jika dulu buruh menjadi salah satu kunci kemerdekaan Indonesia dan ikut berdinamika dalam politik di Indonesia, kini mengapa mereka sulit untuk mendapatkan tempat yang serupa? Salah satunya bisa jadi akibat peristiwa G30S dan Orde Baru yang mengikutinya.
Tak dapat dimungkiri, gerakan buruh memang memiliki kedekatan dengan kaum kiri. Dari Syahrir hingga Aidit memiliki koneksi dengan beberapa serikat buruh yang ada di Indonesia. Maka dari itu, peristiwa G30S bak kiamat bagi gerakan buruh Indonesia.
Setelah kejadian naas itu, para aktivis buruh dibunuh dan dipenjarakan. Buruh yang aktif mau tak mau melepas keanggotaan atau bahkan menyangkal pernah terlibat serikat karena semua gerakan buruh dicap komunis.
Hal ini pun terus berlanjut hingga Orde Baru. Posisi gerakan buruh yang dikecilkan oleh pemerintah semakin bertambah parah ketika trauma kolektif masyarakat Indonesia pasca-G30S menghasilkan stigma buruk terhadap gerakan ini. Tak ayal, gerakan buruh bagai menjadi ”musuh”.
Mulai dari situ, buruh pun semakin kental identitasnya sebagai komoditas. Pemerintah yang berusaha menggenjot pertumbuhan ekonomi, menemukan celah untuk menggenjot daya saing negara dengan menekan buruh.
Hasilnya, kebijakan ekonomi ekonomi menjadi tidak pro buruh, kehidupan buruh tidak layak, tidak ada jaminan hukum bagi buruh, kondisi kerja buruh yang mengenaskan, hingga jam kerja yang tak manusiawi.
Dengan organisasi buruh yang diizinkan oleh pemerintah, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dikontrol oleh pemerintah, praktis tidak ada lagi payung yang melindungi mereka.
Pasca-Orde Baru, secara tertulis, tidak ada lagi tekanan terhadap buruh dan gerakannya. Bahkan, pemerintahan setelah Reformasi terus memperbaki peraturan terkait buruh yang memperlonggar gerak mereka untuk berserikat dan menyuarakan pendapat mereka. Namun, ternyata persoalan justru muncul dari gerakan serikat buruh itu sendiri.
Sebetulnya, bukannya tidak ada upaya yang dilakukan oleh gerakan buruh untuk dapat berkontestasi dalam pemilihan umum. Buktinya, setidaknya ada tujuh partai berbasis buruh yang berpartisipasi dalam pemilu selepas Reformasi.
Ketujuh partai tersebut adalah Partai Buruh Nasional (PBN), Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Solidaritas Pekerja Indonesia (PSPI), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Buruh (PB), dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI). Sayangnya, dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009, suara partai-partai berbasis buruh dan pekerja ini tak dapat menyentuh batas minimum (parliamentary threshold), bahkan suara mereka tak pernah melampaui angka 1 persen.
Hal ini tampak dari banyaknya federasi serikat buruh yang terbentuk di Indonesia. Pada lima tahun pertama di awal masa Reformasi saja, ada sekitar 80 federasi serikat buruh yang didirikan. Meskipun tidak semerta-merta buruk, hal tersebut bisa menunjukkan bahwa gerakan buruh memang terfragmentasi.
Hal ini semakin tampak pada masa-masa pemilu. Pada Pemilu 2014, misalnya, suara golongan buruh menjadi rebutan antara kedua kubu calon presiden. Di satu sisi, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) secara terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap Prabowo.
Di sisi lain, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI) mendukung Jokowi. Hanya Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang menunjukkan netralitasnya di tengah kontestasi.
Pada akhirnya, jika persoalan konsolidasi tak dapat diselesaikan, agaknya sulit untuk melihat adanya perubahan dalam gerakan buruh di Indonesia. Suara politik para buruh hanya akan didengar ketika pemilu diadakan, sedangkan elite-elite konfederasi buruh mempertaruhkan nasib perjuangan dengan bergantung pada kandidat partai tradisional. Padahal, kaum buruh sesungguhnya memiliki modal yang tak kurang untuk dapat mewakili diri mereka sendiri. (LITBANG KOMPAS)