Revisi Regulasi untuk Ketahanan Energi
Produksi batubara Indonesia selalu berlebihan. Untuk mengatasinya, telah dikeluarkan undang-undang yang mencabut kewenangan daerah untuk memberikan izin usaha pertambangan.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada Mei 2020 berimplikasi penting bagi ketahanan energi masa depan. Salah satu poin krusial dalam UU baru ini adalah mencabut kewenangan daerah untuk memberikan izin usaha pertambangan. Selanjutnya, usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Dengan demikian, kendali perizinan kini beralih ke pemerintah pusat, bukan di daerah lagi. Pemerintah pusat berperan sebagai pemilik utama kekayaan alam, sedangkan pemerintah daerah bertugas sebagai pengawas di lapangan.
Selama ini, tumpang tindih aturan perizinan antara kewenangan pusat dan daerah menyebabkan penyelenggaraan operasional kegiatan pertambangan batubara tidak berjalan efektif di lapangan. Nilai tambah yang diberikan kepada negara dari kegiatan ekstraktif ini relatif belum optimal dari nilai seharusnya.
Ada indikasi jaminan reklamasi yang dibayarkan kepada pemerintah daerah saat pengajuan izin pertambangan tidak sesuai dengan realisasi operasional sesungguhnya. Pengerukan sumber daya alam dilakukan secara maksimal melebihi ukuran yang diajukan sehingga biaya yang diagunkan untuk reklamasi tidak sebanding dengan biaya rehabilitasi yang nilainya jauh lebih besar.
Ada pula indikasi lain, uang jaminan reklamasi itu justru dimasukkan sebagai pos penerimaan pendapatan daerah sehingga tidak diperuntukkan kembali bagi pemulihan tambang. Dengan kata lain, lingkungan pertambangan yang sudah dikeruk menjadi terbengkalai. Pengusaha tidak memiliki beban untuk pemulihan, sedangkan pemerintah setempat tidak mengalokasikan dana rehabilitasi yang sepadan karena sebagian besar disetorkan untuk pendapatan daerah.
Kondisi tersebut sangat merugikan bagi lingkungan dan masyarakat di wilayah bersangkutan. Berdasarkan data BPS, luas areal terbuka di Indonesia pada 2015-2019 rata-rata menyusut sekitar 100.000 hektar per tahun sehingga luasannya pada 2019 sekitar 3,16 juta hektar. Di sisi lain, luas areal pertambangan di Indonesia meningkat sekitar 40.000 hektar per tahun sehingga luasannya pada 2019 mencapai 743.000 hektar.
Berdasarkan laporan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2019, ada sejumlah tempat di Indonesia yang mengalami degradasi lingkungan sangat signifikan. Dari semula berupa tutupan hutan, lokasi itu beralih menjadi lahan terbuka. Daerah tersebut meliputi Kalimantan Timur dengan luasan lahan hutan yang berubah 15.370 hektar, Papua seluas 10.193 hektar, dan Kalimantan Barat 9.913 hektar.
Peralihan lahan yang sangat signifikan ini salah satunya dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan. Sayangnya, tidak semuanya melakukan pemulihan lahan bekas tambang.
Salah kelola
Kesalahan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara juga terindikasi kuat telah terjadi. Salah satunya tecermin dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta dana bagi hasil.
Pada kurun waktu 2015-2019, terlihat sejumlah ketidaksesuaian penerimaan nilai tambah bagi negara. Di satu sisi, produksi sejumlah komoditas mineral dan batubara meningkat, tetapi dari sisi penerimaan pendapatan negara justru menurun.
Peralihan lahan yang sangat signifikan ini salah satunya dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan.
Produk domestik bruto (PDB) sektor pertambangan dan penggalian di luar minyak dan gas bumi rata-rata naik sekitar 10 persen atau Rp 53 triliun per tahun. Ironisnya, pada periode yang sama, PNBP dan dana bagi hasil sektor minerba justru turun sekitar 2 persen atau Rp 1 triliun per tahun.
Hal ini mengindikasikan pengelolaan keuangan dari nilai tambah produksi minerba yang kurang tepat. Salah satu pihak yang mengelola aspek ini ialah pemerintah daerah, baik itu pemerintah kabupaten/kota maupun provinsi.
Dari sejumlah komoditas minerba tersebut, batubara paling tampak anomalinya. Komoditas ini paling mendominasi sektor pertambangan dan penggalian.
Sekitar 50 persen PDB sektor pertambangan di luar migas disumbang oleh batubara. Artinya, tren produksi batubara akan sangat berpengaruh terhadap fluktuasi pendapatan negara.
Produksi berlebihan
Salah satu hal yang turut terdampak dengan revisi UU No 4/2009 itu ialah produksi pertambangan batubara nasional yang produksinya selalu melebihi target yang ditentukan. Pada 2015-2019, kelebihan produksi batubara rata-rata melampaui 22 juta ton per tahun. Bahkan, pada 2019, kelebihan produksi mencapai 127 juta ton sehingga jumlah totalnya 616 juta ton. Padahal, pemerintah hanya menargetkan produksi pada tahun lalu sekitar 489 juta ton.
Baca juga: Transisi Kesadaran
Berdasarkan data IEA, ekspor batubara Indonesia pada 2019 menduduki peringkat pertama dunia dengan pangsa pasar sekitar 31 persen secara global. Di sisi lain, Indonesia merupakan negara dengan cadangan batubara 37 miliar ton dan berada pada urutan keenam dunia.
Volume ekspor batubara Indonesia pada 2019 yang mencapai 455 juta ton itu mengalahkan kuantitas ekspor Amerika Serikat yang hanya sekitar 84 juta ton. Padahal, menurut BP Statistical Review, negara adikuasa ini memiliki cadangan batubara 250 miliar ton atau sekitar delapan kali cadangan Indonesia.
Salah satu penyebab hal itu terjadi ialah kendali pertambangan yang tak sepenuhnya dipegang oleh pemerintah. Dari empat kategori usaha pertambangan batubara di Indonesia, ada satu kategori yang usahanya berdasarkan IUP daerah. IUP lokal ini tahun lalu memberikan kontribusi sekitar 223 juta ton atau 36 persen dari total produksi batubara nasional sebanyak 616 juta ton.
Tiga jenis IUP lainnya, yakni PKP2B (kontrak kerja sama), IUP BUMN, dan IUP PMA, berada di bawah kendali pemerintah pusat. Ketiganya menghasilkan produksi batubara pada 2019 sebanyak 392 juta ton. Dari deskripsi ini, terlihat pemerintah hanya berwenang mengontrol ketiga jenis IUP, di luar IUP daerah.
Muara keseimbangan
Salah satu hal penting dengan terbitnya UU No 3/2020 ialah pengaturan keseimbangan produksi batubara. Potensi cadangan batubara Indonesia yang diperkirakan 37 miliar ton diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan energi domestik hingga lebih dari 50 tahun mendatang.
Baca juga: Korporasi dan UU Minerba
Untuk itu, potensi cadangan batubara Indonesia yang relatif besar perlu diperluas lagi pemanfaatannya agar lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pemanfaatan batubara idealnya tidak hanya terfokus untuk industrialisasi.
Ada sejumlah cara untuk mengembangkan batubara agar lebih fungsional dan mendukung daya tahan lingkungan. Salah satunya dengan coal bed methane (CBM) yang produk akhirnya berupa gas alam.
Sumber energi CBM termasuk dalam jenis energi baru yang menggunakan teknologi penambangan nonkonvensional dalam proses eksploitasinya. Gas alam yang memanfaatkan batubara CBM dapat dimafaatkan untuk berbagai keperluan, seperti memasak di tingkat rumah tangga.
Selain itu, ada gasifikasi batubara yang dapat mengonversi batubara muda menjadi syngas. Berikutnya, hasil ini diproses lebih lanjut menjadi dimethyl ether (DME) yang berguna sebagai bahan baku elpiji. Produk ini dapat meningkatkan ketahanan energi nasional karena mengurangi beban negara terhadap impor elpiji yang terus meningkat. (LITBANG KOMPAS)