Koalisi Gemuk dan Dominasi Petahana di Pilkada Medan
Di tengah ketatnya persaingan, minimnya antusiasme masyarakat Medan pada penyelenggaraan pilkada dapat menjadi batu sandungan untuk memperoleh raihan suara bagi setiap pasangan calon.
Untuk pertama kali dalam penyelenggaraan pilkada di Medan, Sumatera Utara, petahana dan koalisi gemuk berada pada dua kutub yang berbeda. Kondisi ini menambah sengit kontestasi di tengah bayang-bayang partisipasi pemilih yang rendah.
Pemilihan kepala daerah di Medan tahun ini akan berlangsung ketat karena dua faktor utama, yakni kehadiran dua figur Nasution yang jamak dikenal publik serta pergeseran peta politik yang cukup masif. Kondisi ini menjadikan Medan sebagai arena persaingan terbuka bagi setiap pasangan calon.
Dari sisi figur, kehadiran Muhammad Bobby Afif Nasution dalam pemilihan kepala daerah di Medan telah menjadi perbincangan hangat sejak 2019. Menantu Presiden Joko Widodo ini mulai memperkenalkan diri di tengah-tengah masyarakat jauh sebelum penyelenggaraan pilkada dimulai.
Sebagai sosok baru dalam percaturan politik di Kota Medan, Bobby didampingi Aulia Rachman yang sejak 2019 menjabat Ketua Komisi II DPRD Medan. Aulia adalah kader Partai Gerindra yang memiliki latar belakang pengusaha.
Terpilihnya Aulia sebagai calon wakil wali kota Medan cukup mengejutkan. Sebelumnya, Ketua DPC Gerindra Kota Medan Ihwan Ritonga disebut-sebut sebagai sosok terkuat pendamping Bobby. Pasalnya, Ihwan dinilai punya basis massa karena berhasil melenggang sebagai anggota DPRD dengan raihan suara terbanyak dibandingkan dengan caleg lain pada 2019.
Namun, Gerindra memutuskan pilihan untuk mengusung Aulia Rachman sebagai pendamping Bobby. Aulia adalah peraih suara terbanyak ketiga dalam pemilihan legislatif DPRD Medan 2019.
Bobby-Aulia akan bersaing dengan pasangan petahana Akhyar Nasution-Salman Alfarisi. Akhyar adalah petahana Penjabat Wakil Wali Kota Medan sejak 2016.
Pada 2019, ia menduduki posisi Pelaksana Tugas Wali Kota Medan setelah Dzulmi Eldin tersandung kasus korupsi. Jejak langkah politik ini memberi modal popularitas bagi Akhyar dalam mengarungi persaingan dalam pilkada tahun ini.
Sementara Salman Alfarisi tak lain Wakil Ketua DPRD Sumut. Dalam Pemilu 2019, ia menjadi peraih suara terbanyak kelima dari 100 anggota DPRD Sumut terpilih. Sebelumnya, kader PKS ini pernah menjabat anggota DPRD Medan dua periode.
Peta persaingan
Dengan latar belakang dan popularitas kedua pasangan calon, Pilkada Medan praktis menjadi panggung pertarungan yang begitu terbuka. Apalagi, pada tahun ini terjadi perubahan peta dukungan politik jika dibandingkan dengan pilkada sebelumnya yang menambah sengit persaingan.
Jika melihat jejak penyelenggaraan pilkada di Kota Medan sejak 2005, terjadi kristalisasi dukungan politik kepada calon petahana. Selain kekuatan dari modal popularitas, petahana juga memperoleh dukungan dari banyak partai politik. Kondisi ini menyebabkan besarnya raihan suara yang selalu diperoleh petahana.
Pada Pilkada 2005, misalnya, pasangan Abdillah-Ramli didukung oleh delapan partai politik. Abdillah adalah Wali Kota Medan yang sebelumnya menjabat sejak tahun 2000. Sementara pasangan lain, Maulana Pohan-Sigit Pramono Asri, hanya didukung oleh PKS.
Kondisi ini berdampak pada besarnya raihan suara yang diperoleh Abdillah-Ramli. Dengan raihan 62,55 persen suara, Abdillah melenggang dengan cukup mudah sebagai wali kota.
Kondisi yang sama terjadi tahun 2015. Dzulmi Eldin yang sebelumnya menjabat Wakil Wali Kota Medan 2010-2013 dan Wali Kota Medan 2014-2015 kembali didukung oleh koalisi gemuk tujuh partai politik. Bermodalkan status petahana dan dukungan besar partai politik, Dzulmi Eldin yang berduet dengan Akhyar merebut 71,68 persen suara.
Hal sebaliknya justru dialami pasangan Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma yang hanya didukung tiga partai politik, yakni Demokrat, Gerindra, dan Hanura. Pasangan ini hanya meraih kurang dari sepertiga suara dari total pemilih yang menggunakan hak pilihnya.
Namun, peta politik seperti ini tidak lagi berlaku pada Pilkada 2020. Petahana tidak lagi didukung koalisi gemuk. Sebaliknya, dukungan besar diberikan oleh partai politik kepada pasangan Bobby Nasution-Aulia Rachman.
Baca juga: Kualitas Demokrasi dan Keselamatan Pemilih Harus Dijaga
Delapan parpol telah mendukung pasangan ini. Dengan komposisi 78 persen kursi di DPRD, praktis duo Bobby-Aulia memperoleh modal elektoral yang dominan dari sisi penguasaan partai.
Sebaliknya, pasangan petahana yang biasanya didukung oleh koalisi gemuk kini hanya ditopang oleh kekuatan dua partai politik. Pasangan Akhyar-Salman hanya memperoleh dukungan dari PKS dan Demokrat yang memiliki 22 persen kursi di DPRD Medan.
Kondisi ini tentu mengindikasikan terjadi persaingan ketat dalam kontestasi di Medan tahun ini. Di satu sisi, pasangan Bobby-Aulia memiliki peluang kemenangan setelah didukung banyak partai politik. Namun, duo ini bisa saja memperoleh batu sandungan mengingat jejak petahana yang selalu menang dalam Pilkada Medan sebelumnya.
Di sisi lain, peluang yang sama dimiliki pasangan Akhyar-Salman dengan modal popularitas sebagai petahana. Walakin, pasangan ini juga berpotensi menghadapi batu sandungan dari redupnya kepercayaan masyarakat terhadap petahana. Itu karena tiga wali kota terpilih sebelumnya selalu berujung pada ranah hukum karena tersandung kasus korupsi.
Partisipasi rendah
Di tengah ketatnya persaingan, minimnya antusiasme masyarakat Medan pada penyelenggaraan pilkada dapat menjadi batu sandungan untuk memperoleh raihan suara bagi setiap pasangan calon. Jika melihat jejak pilkada sebelumnya, partisipasi pemilih di Kota Medan tampak begitu rendah pada setiap perhelatan pemilihan kepala daerah.
Dalam pemilihan wali kota dan wakil wali kota sejak 2005 hingga 2015 lalu, tingkat partisipasi pemilih tidak pernah melebihi 55 persen dari daftar pemilih tetap. Puncak partisipasi pemilih tertinggi adalah pada Pilkada 2005. Saat itu, sebanyak 54,70 persen pemilih menggunakan hak pilihnya.
Namun, partisipasi pemilih terus menurun pada pergelaran pilkada berikutnya. Bahkan, pada 2015 lalu, hanya 25,38 persen pemilih di Medan yang menggunakan hak pilih. Artinya, hanya satu dari empat pemilih yang bersedia datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih calon wali kota dan wakil wali kota saat itu.
Baca juga: Mengembalikan Muruah ”Paris van Sumatera” Medan
Kondisi serupa terjadi saat pemilihan gubernur-wakil gubernur pada 2008, 2013, dan 2018. Partisipasi pemilih tertinggi hanya 55,80 persen pada pilgub 2018. Sementara pada dua pilgub sebelumnya, partisipasi pemilih tak pernah melebihi 50 persen.
Kondisi ini tentu cukup menyulitkan bagi setiap calon kepala daerah untuk memetakan strategi kemenangan. Berbekal tingkat partisipasi pemilih yang sangat rendah, kampanye secara masif belum cukup untuk meyakinkan kemenangan bagi setiap pasangan calon. Apalagi, pilkada di tengah pandemi juga berisiko pada penurunan tingkat partisipasi pemilih. Dengan kondisi ini, KPU, parpol, dan setiap pasangan calon memiliki tugas berat untuk meyakinkan warga Medan agar menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada 2020.
Dengan segala indikator, seperti peta persaingan yang berubah dan tingkat partisipasi pemilih yang rendah, tidak ada jaminan bagi setiap calon untuk dapat memenangi persaingan dengan mulus. Di satu sisi, petahana akan berhadapan dengan jalan terjal setelah tidak lagi didukung koalisi gemuk. Di sisi lain, pasangan penantang juga akan berhadapan dengan popularitas petahana yang belum pernah terkalahkan dalam penyelenggaraan pilkada sebelumnya.
(LITBANG KOMPAS)