Bahu-membahu Mendukung Penyintas Covid-19
Adanya stigma kepada penyintas Covid-19 membuat penanganan pandemi menjadi terhambat. Orang mengurungkan niat untuk melakukan pemeriksaan tes virus korona karena khawatir adanya diskriminasi dari masyarakat.
Memberi apresiasi dan dukungan kepada penyintas Covid-19 merupakan energi dalam melawan stigma yang diberikan kepada mereka. Cara yang paling sederhana untuk memberikan dukungan adalah dengan menerapkan protokol kesehatan terhadap diri sendiri.
Sepuluh bulan lebih pandemi Covid-19 melanda dunia. Bukan hanya membawa dampak dari aspek kesehatan, pandemi juga mengakibatkan munculnya persoalan sosial mulai dari rasa takut kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan, hingga perasaan tidak aman akan adanya penularan penyakit.
Akibatnya, kondisi psikologis masyarakat dapat terganggu karena wabah. Menurut Kementerian Kesehatan, gejala awal masalah kesehatan psikologis terhadap kejadian Covid-19 antara lain terlihat dari munculnya rasa takut, khawatir, gelisah, dan panik.
Gejala tersebut dapat menyebabkan konsekuensi panjang. Salah satunya sering kali menimbulkan stigma terhadap penyintas Covid-19 sebagai bentuk mekanisme perlindungan diri. Seseorang yang bersosiasi dengan Covid-19 akan dilabeli dan diperlakukan berbeda.
Bagi orang yang terpapar Covid-19, stigmatisasi dapat memperburuk status kesehatan. Adanya gangguan psikologis akan menurunkan imunitas yang berpengaruh pada proses kesembuhan.
Salah satu contoh stigma terjadi pada tenaga medis yang menangani Covid-19. Menurut survei Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia, sebanyak 140 perawat pernah merasa dipermalukan karena statusnya sebagai perawat Covid-19 atau bertugas di rumah sakit Penanganan Covid-19.
Adanya stigma juga membuat penanganan pandemi menjadi terhambat. Satgas Penanganan Covid-19 menegaskan stigma mengganggu upaya menghentikan wabah. Banyak orang mengurungkan niat untuk melakukan pemeriksaan karena khawatir adanya diskriminasi dari masyarakat. Kondisi ini dapat membuat masalah kesehatan menjadi lebih berat. Penyebaran virus akan terjadi secara berkelanjutan dan sulit dikendalikan.
Dampak ini terlihat dari angka kasus dan kematian Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan data Johns Hopskins per 12 Oktober 2020, jumlah kasus di Indonesia merupakan yang kedua tertinggi di ASEAN setelah Filipina, sedangkan tingkat kematiannya menempati posisi pertama di ASEAN.
Tingginya angka kasus Covid-19 di Indonesia tersebut harus disikapi dengan bijak oleh berbagai kalangan masyarakat. Kontribusi sosial berperan penting dalam mencegah dan menghentikan stigma. Kontribusi ini bukan hanya dari pemerintah, melainkan juga dari komunitas, media, dan lembaga lainnya.
Adanya semangat dan aksi solidaritas tanpa stigma dan diskriminasi dapat menjadi bagian solusi dalam mengatasi berbagai masalah pandemi. Apresiasi dan dukungan ini bukan hanya diberikan kepada penyintas Covid-19, melainkan juga bagi tenaga kesehatan dan non-kesehatan, kelompok rentan, dan orang sehat untuk mencegah penularan.
Bahu-membahu
Aksi solidaritas sosial untuk Covid-19 berdatangan dari berbagai elemen masyarakat. Adanya rasa solidaritas membuat masyarakat rela untuk menaati imbauan pemerintah dan menyumbangkan sebagian kemampuannya untuk menolong sesama.
Bentuk solidaritas di masyarakat beragam sesuai dengan kearifan lokal masing-masing, mulai dari pemberian bantuan makanan hingga dukungan moril kepada penyintas dan keluarga Covid-19, serta tenaga kesehatan.
Salah satu pasien Covid-19 di Kota Tegal, Jawa Tengah, berinisial KH (56) mendapat bantuan makanan tiga kali sehari dari warga. Bahkan, anggota pelindung masyarakat juga berjaga di sekitar rumah KH yang sedang melakukan isolasi mandiri.
Bantuan juga datang dari komunitas Punk di Kota Salatiga, Jateng. Komunitas yang sering mendapat stigma negatif itu memberikan bantuan bahan kebutuhan pokok, makanan, dan pakaian layak pakai kepada korban terdampak Covid-19. Pada kalangan pengusaha, perancang busana Anne Avantie memproduksi dan membagikan alat pelindung diri (APD) secara gratis kepada tenaga medis.
Beberapa contoh tersebut menunjukkan bahwa selain untuk membantu penyintas Covid-19, inisiasi solidaritas pada level komunitas dilakukan untuk perlindungan diri. Masyarakat melakukan penyemprotan disinfektan di lingkungannya, membagikan masker dan hand sanitizer, serta mengampanyekan protokol kesehatan.
Sementara itu, dukungan dari pemerintah pusat berupa pembebasan biaya pengobatan dan perawatan pasien Covid-19 dan santunan bagi korban yang meninggal. Sementara bagi masyarakat terdampak, pemerintah memberikan bantuan berupa bahan kebutuhan pokok, dana tunai, program Prakerja, subsidi gaji, dan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh).
Mengingat adanya risiko gangguan kejiwaan akibat Covid-19, Kementerian Kesehatan membuat pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial atau DKJP. Pedoman ini membahas bagaimana cara memberikan dukungan kesehatan kepada penyintas Covid-19, tenaga kesehatan dan non-kesehatan, kelompok rentan, serta orang yang sehat.
Bagi keluarga pasien yang terkonfirmasi dukungan Covid-19, dukungan sosial dapat diberikan dengan beberapa cara. Dukungan sosial tersebut antara lain keluarga tidak dijauhkan dari hubungan sosial, tidak memberi pandangan negatif, memberi hotline layanan psikologi secara daring, membagikan fakta terbaru, dan mengangkat cerita positif pengalaman orang yang pernah terinfeksi.
Satgas Penanganan Covid-19 menegaskan stigma mengganggu upaya menghentikan wabah.
Berbagai bentuk dukungan ini apabila dimaksimalkan dapat menjadi kekuatan dalam mengatasi pandemi. Thailand merupakan salah satu negara yang berhasil mencegah kematian dan kasus Covid-19 melalui kombinasi tindakan dari pemerintah dan solidaritas masyarakat. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hingga akhir Juli 2020, belum ada kasus penularan domestik yang tercatat selama hampir dua bulan.
Modal sosial menjadi perekat yang menyatukan masyarakat Thailand dalam menghadapi pandemi Covid-19. Hasil jajak pendapat yang dilakukan PBB juga menunjukkan bahwa sepertiga masyarakat Thailand menyumbangkan uang tunai dan makanan selama pandemi. Sebagian besar sumbangannya sekitar 160 dollar AS.
Adopsi pendekatan tindakan dari berbagai lapisan masyarakat ini dilakukan Thailand sebagai strategi untuk mengurangi stigma dan diskriminasi. Melalui pendekatan ini, pemahaman dan tanggapan disesuaikan dengan kebutuhan populasi yang rentan.
Empati
Melihat dampak negatif stigma dalam upaya penanganan penularan wabah Covid-19, keberadaan stigma membutuhkan kerja bersama untuk menghapusnya. Partisipasi publik menjadi kunci utama pengendalian penyakit.
Satgas Penanganan Covid-19 merumuskan cara mencegah stigma. Salah satunya dengan menunjukkan empati dan kasih sayang kepada orang yang diketahui terkena virus korona. Bentuk empati dapat ditunjukkan dengan memberikan pesan atau menghubunginya melalui video call. Empati juga dapat diberikan kepada keluarga pasien Covid-19.
Dalam konteks pencegahan penularan, upaya menghapus stigma juga dapat dilakukan dengan cara menerapkan protokol kesehatan dalam setiap aktivitas kegiatan. Harapannya, kedisiplinan tersebut dapat menekan angka penularan Covid-19.
Penerapan protokol kesehatan tersebut sekaligus menjadi upaya masyarakat untuk mengenal lebih dalam tentang Covid-19. Dengan mempelajari penyakit ini, masyarakat dapat menangkal diri dari hoaks atau informasi keliru seputar penularan virus korona. Mengetahui fakta akan mengurangi ketakutan dan kecemasan.
Hasil survei perilaku masyarakat di masa pandemi Covid-19 dari BPS yang dirilis pada 28 September 2020 menunjukkan, sebanyak 17 persen responden menyangka bahwa mereka tidak mungkin tertular. Angka ini cukup besar jika dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia. Terlebih, media pengantar virus yang berasal dari manusia menjadi ancaman cepatnya risiko penularan.
Karena itu, edukasi kesehatan dan kesadaran kepedulian masyarakat menjadi pelajaran penting ke depan yang perlu dikembangkan untuk saling menjaga. Hal itu karena karakter bencana Covid-19 berbeda dengan bencana lainnya.
Pandemi menuntut masyarakat bergotong royong dengan cara-cara yang cerdas. Masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan lengkap harus diedukasi untuk meminimalisasi tindakan negatif, seperti pemberian stigma.
Menggandeng pemimpin masyarakat, media, dan influencer menjadi salah satu langkah dalam mempromosikan praktik pencegahan penularan dan menyebarkan informasi yang akurat. Selain itu, mereka berperan penting untuk memperkuat pesan yang mengurangi stigma dan mengajak masyarakat untuk berempati.
Karena itu, saling menjaga dengan memberi apresiasi dan dukungan merupakan energi dalam lawan Covid-19. Justru pandangan yang keliru jika masyarakat memberi stigma kepada para penyintas sebagai bentuk perlindungan diri. Masyarakat boleh waspada, tetapi jangan panik. Karena kepanikan hanya akan menimbulkan gangguan kesehatan jiwa yang akan menurunkan imunitas. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Covid-19 Mematikan, Stigma Picu Derita Berkepanjangan