Mengungkit Daya Beli
Deflasi berturutan, kemiskinan yang meningkat, dan terbatasnya peredaran uang menjadi kombinasi yang menunjukkan lemahnya daya beli masyarakat.
Konsumsi akan sulit bergerak naik jika tidak ada dana segar, terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan. Mempercepat realisasi atau pencairan dana anggaran program penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional bisa menjadi solusi pengungkit konsumsi.
Badan Pusat Statistik baru saja melansir angka inflasi pada September 2020 yang kembali deflasi sebesar 0,05 persen. Dengan demikian, selama tiga bulan berturut-turut, Juli hingga September, deflasi mencetak hat-trick. Dalam satu dekade terakhir, ini merupakan yang pertama terjadi dalam perekonomian kita.
Deflasi menggambarkan harga-harga barang yang menurun pada saat kondisi suplai mencukupi. Penurunan harga terutama ditunjukkan oleh indeks beberapa kelompok pengeluaran, yang terbesar adalah pengeluaran untuk kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,37 persen dan kelompok transportasi sebesar 0,33 persen.
Hal ini bisa dikaitkan dengan dampak pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di mana masyarakat mengurangi aktivitasnya bepergian dan menahan kebiasaannya makan di tempat makan di pusat-pusat berbelanjaan. PSBB mengatur operasional restoran atau tempat makan dengan hanya membolehkan makanan dipesan antar atau pesan dibawa pulang, tidak dimakan di tempat.
Namun, ada pula kelompok pengeluaran yang mengalami kenaikan indeks alias inflasi, terbesar adalah kelompok pendidikan (0,62 persen) dan kelompok kesehatan (0,16 persen). Kondisi ini pun bisa dipahami karena kegiatan belajar ataupun kuliah beralih ke rumah dengan mengandalkan infrastruktur internet. Faktor kesehatan pun menjadi perhatian utama sehingga wajar pengeluaran untuk kesehatan bertambah, seperti menambah asupan vitamin, perlengkapan kesehatan seperti masker dan alat perlindungan diri.
Dengan kondisi kasus jumlah penderita Covid-19 di Indonesia yang terus bertambah, pembatasan sosial yang masih berlanjut, serta pelambatan ekonomi yang masih berlangsung, melemahnya daya beli yang memicu deflasi masih bisa berlanjut di bulan berikutnya.
Baca juga : Deflasi Sepanjang Triwulan III-2020, Daya Beli Belum Terangkat
Kemiskinan meningkat
Melemahnya daya beli bisa dikaitkan dengan bertambahnya penduduk miskin. Laporan Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Juli lalu menyebutkan, angka kemiskinan per Maret (penghitungan angka kemiskinan dilakukan setiap Maret dan September) meningkat 0,56 persen dibandingkan pada September 2019 menjadi 9,78 persen. Secara nominal, jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 1,63 juta orang menjadi 26,42 juta orang pada kurun waktu yang sama.
Pertambahan penduduk miskin ini lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan dibandingkan dengan perdesaan. Di perkotaan, jumlah penduduk miskin bertambah 1,3 juta orang dibandingkan pada September 2019. Sementara di perdesaan, penduduk miskin hanya bertambah 330.000 orang.
Jumlah penduduk miskin ini berpotensi meningkat akibat kondisi perusahaan-perusahaan yang merumahkan karyawan tanpa gaji, separuh gaji, atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Pandemi tidak saja berhasil memperlambat perekonomian, tetapi juga memengaruhi ketenagakerjaan.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada 20 April 2020 menyebutkan, jumlah pekerja yang terdampak Covid-19 tercatat sebanyak 2.084.593 pekerja dari sektor formal dan informal yang berasal dari 116.370 perusahaan. Hingga akhir Juli 2020, Kemnaker mencatat ada 2,14 juta tenaga kerja formal dan informal yang terdampak Covid-19.
Tidak menutup kemungkinan terdapat jumlah yang tidak tercatat oleh Kemnaker. Sebab, pada akhir Mei saja, sudah ada 3.066.567 pekerja yang datanya terverifikasi ataupun belum terverifikasi terdampak Covid-19.
Uang beredar
Melemahnya daya beli juga bisa dilihat dari jumlah uang yang beredar. Meski uang beredar, terutama uang kartal yang dipegang masyarakat (di luar bank umum dan BPR), selama rentang Januari-Agustus 2020 sedikit meningkat dibandingkan pada periode yang sama tahun 2019, penambahannya hanya 7,3 persen. Penambahan ini sedikit lebih rendah dibandingkan pada periode sebelumnya yang mencapai 7,5 persen.
Dari laporan Bank Indonesia, jika pada Januari 2020 uang kartal yang dipegang masyarakat tercatat sebanyak Rp 616,1 triliun, pada Agustus 2020 menjadi Rp 661,2 triliun. Posisi uang yang dipegang masyarakat di bulan Agustus ini hanya tumbuh sebesar 6,2 persen (secara tahunan), lebih rendah dibandingkan pada bulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 7,8 persen. Menurut analisis BI, perlambatan peredaran uang kartal ini seiring dengan terjadinya deflasi pada Agustus 2020, yang mengindikasikan melemahnya permintaan domestik akibat pandemi Covid-19.
Sementara uang kuasi yang mencakup tabungan, simpanan berjangka dalam rupiah dan valuta asing, serta giro dalam valuta asing, penambahannya selama periode Januari Agustus 2020 meningkat dua kali lipat menjadi 9,1 persen. Periode yang sama tahun sebelumnya hanya 4,4 persen. Perbedaan pertumbuhan ini menggambarkan uang yang beredar terbatas karena masyarakat lebih memilih uangnya disimpan atau diinvestasikan.
Masyarakat menahan konsumsinya di tengah pandemi yang menimbulkan ketidakpastian. Posisi uang kuasi pada Januari 2020 dicatat BI berada pada angka Rp 4.535,5 triliun dan menjadi Rp 4.947,0 triliun pada Agustus 2020. Terbesar dalam bentuk simpanan berjangka, yaitu Rp 2.594,0 triliun (52,4 persen), disusul tabungan yang besarnya Rp 1.980,7 triliun (40 persen). Selebihnya dalam bentuk simpanan giro valuta asing.
Percepat realisasi
Pemerintah dalam merespons dampak pandemi Covid-19 ini sebenarnya telah mengalokasikan dana untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar total Rp 695,2 triliun. Anggaran tersebut terbagi untuk bidang kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan Rp 607,65 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional.
Alokasi dana ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat miskin, juga yang rentan miskin, serta mendukung dunia usaha agar tidak terpuruk akibat pandemi. Dalam skenario pemerintah, kemiskinan akan bertambah sebanyak 1,89 juta orang, terburuk adalah sebanyak 4,86 juta orang. Sementara pengangguran akan meningkat sebanyak 2,92 juta orang dengan skenario terburuk bertambah sebanyak 5,23 juta orang.
Agar kondisi terburuk tidak terjadi, salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah saat ini adalah meningkatkan penyerapan anggaran dana penanganan Covid-19 dan PEN secepatnya dalam sisa tiga bulan terakhir anggaran tahun ini. Penyaluran yang tepat sasaran dan tepat waktu akan menjadi pendorong membaiknya indikator daya beli masyarakat.
Sejauh ini, realisasi program penanganan Covid-19 dan PEN hingga 30 September 2020 belum mencapai separuh dari pagu anggaran. Dari total Rp 695,2 triliun, pencairan anggaran PEN yang meliputi enam bidang atau kluster program baru mencapai Rp 318,48 triliun atau 45,81 persen.
Realisasi bidang kesehatan baru mencapai Rp 21,92 triliun (25,04 persen) dari pagu anggaran Rp 87,55 triliun. Realisasi bidang perlindungan sosial baru terwujud Rp 157,03 triliun (77,01 persen) dari target anggaran Rp 203,91 triliun. Realisasi untuk kementerian/lembaga dan pemerintah daerah baru tercapai Rp 26,61 triliun (25,09 persen) dari anggaran sebesar Rp 106,05 triliun.
Adapun realisasi untuk bidang insentif usaha baru mencapai Rp 28,07 triliun (23,27 persen) dari total anggaran Rp 120,61 triliun. Realisasi bidang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tercapai sebesar Rp 84,85 triliun (68,72 persen) dari anggaran Rp 123,47 triliun. Sementara realisasi untuk program korporasi sebesar Rp 53,57 triliun masih menunggu waktu pencairannya.
Pemerintah perlu mempercepat pencarian dana anggaran penanganan Covid-19 dan PEN ini agar konsumsi masyarakat bisa bergerak naik. Jika realisasi pencairan anggaran terus bertambah, jumlah uang yang dipegang masyarakat pun akan meningkat dan bisa digunakan untuk menggeliatkan ekonomi.
Hal ini bisa menumbuhkan harapan pada triwulan terakhir di 2020 akan menjadi titik balik bangkitnya ekonomi Indonesia dari jurang resesi.
(LITBANG KOMPAS)