Bertahan Hidup di Zona Rawan Bencana Pulau Jawa
Sistem peringatan dini disertai implementasi mitigasi bencana menjadi penting karena di selatan Jawa telah tumbuh banyak pusat perekonomian baru. Terdapat 22 kabupaten dengan total populasi mencapai 29,98 juta jiwa.
Risiko kebencanaan Indonesia sangat tinggi. Selama satu dekade terakhir, total bencana alam yang terjadi mencapai 18.433 kejadian. Oleh karena itu, kesadaran dan mitigasi bencana harus terus dipelihara serta ditingkatkan.
Indonesia menjadi negara dengan jumlah korban jiwa akibat bencana alam tertinggi sepanjang 2018 di seluruh dunia. Dari total korban jiwa di seluruh dunia, 41,5 persen di antaranya meninggal karena bencana gempa dan tsunami di Indonesia. Hingga tahun 2019, Indonesia masih tercatat sebagai sepuluh negara dengan jumlah bencana terbanyak.
Data tersebut disampaikan melalui laporan oleh Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) didukung The US Agency for International Development’s Office of Foreign Disaster Assistance (USAID/OFIDA).
Tingkat risiko bencana Indonesia memang tinggi, mengingat posisinya yang berada di jalur cincin api.
Implikasinya, bagian selatan hingga ke wilayah Nusa Tenggara Timur terbentuk zona subduksi besar antara lempeng Indo-Australia dengan Eurasia.
Zona subduksi menjadi salah satu sumber gempa paling besar di Indonesia. BMKG mencatat ada delapan zona bahaya kegempaan yang perlu mendapat perhatian khusus, yaitu Mentawai-Siberut, Selat Sunda, Kendeng, Selatan Sumba, Laut Banda, Sulawesi, Barat Toba, dan NTT-Flores. Selain delapan itu, area pesisir selatan Jawa turut mendapat perhatian.
Di sisi lain, gempa yang terjadi di wilayah perairan mampu menimbulkan gelombang besar atau dikenal dengan tsunami. Simpanan energi akibat pergerakan menunjam lempeng bumi berpengaruh terhadap potensi besarnya magnitudo gempa dan skala tsunami.
Area selatan Jawa dikhawatirkan menyimpan potensi gempa besar yang bisa memicu tsunami. Apalagi, beberapa segmen gempa di selatan Jawa merupakan daerah seismic gap atau zona sepi gempa besar. Seismic gap yang diperkirakan menyimpan energi besar adalah segmen Pangandaran hingga Pacitan dan Banyuwangi.
Baca Juga: Potensi Tsunami di Selatan Jawa Bisa 20 Meter
Tercatat hanya dua kali terjadi gempa besar di selatan Jawa. Pertama, gempa skala M 7 diikuti tsunami pernah terjadi di Pangandaran tahun 2006. Kedua, gempa skala M 7,8 tahun 1994 di segmen Pacitan-Banyuwangi. Ratusan tahun tanpa gempa besar, artinya akumulasi energi yang tersimpan sangat besar.
Kajian terbaru yang dilakukan Widiyantoro, dkk (2020) menunjukkan potensi tsunami di selatan Jawa mencapai ketingian 20 meter atau rata-rata 4,5 meter di sepanjang pantai, tepatnya di area seismic gap.
Padahal, pergerakan lempeng yang mampu menimbulkan gempa terus bergerak 6,6 sentimeter per tahun. Dengan menghitung pergerakan tersebut, dalam 100 tahun, regangan batuan yang terkunci mencapai 6,6 meter.
Seismic Gap yang memanjang bisa pecah secara terpisah atau bersamaan saat terjadi gempa. Apabila segmen di selatan Jawa Barat yang lepas, maka gempa bumi yang dihasilkan mencapai kekuatan skala M 8,9 untuk periode ulang 400 tahun.
Sementara untuk periode ulang yang sama, segmen Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa memicu gempa skala M 8,8. Terakhir, jika kedua segmen pecah dalam satu kali gempa, kekuatannya bisa mencapai skala M 9,1 atau setara dengan gempa Aceh tahun 2004. Potensi tsunami akan jauh lebih besar apabila gempa memicu longsor bawah laut, seperti yang terjadi dalam gempa bumi skala M 7,5 di Palu tahun 2018.
Peringatan dini
Kajian terbaru tentang potensi tsunami hingga ketinggian 20 meter memberikan pesan penting penguatan mitigasi bencana di selatan Jawa, mulai dari penyiapan sistem peringatan dini tsunami, penataan ruang, hingga level komunitas terkecil.
Sistem peringatan dini disertai implementasi mitigasi bencana menjadi sangat penting karena di selatan Jawa telah tumbuh banyak pusat perekonomian baru. Terdapat 22 kabupaten di sepanjang pantai selatan Jawa dengan total populasi mencapai 29,98 juta jiwa.
Terdapat 22 kabupaten di sepanjang pantai selatan Jawa dengan total populasi mencapai 29,98 juta jiwa.
Detail lokasi dengan potensi tsunami terbesar berada di sisi barat dan timur. Bagian tengah pulau Jawa sisi selatan relatif aman, karena secara geologi aktif bergerak, tidak seperti bagian lainnya yang cenderung tenang atau berstatus seismic gap.
Berdasarkan interpretasi model ketinggian tsunami di pesisir selatan, area paling terdampak berada di delapan kabupaten, yaitu Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Cianjur, Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul, dan Pacitan, dengan total penduduk hampir 10 juta jiwa. Tingginya korban jiwa akan sulit dihindari apabila tidak dilakukan perubahan besar dalam sistem mitigasi, termasuk kerusakan infrastruktur.
Salah satu metode mitigasi yang dapat mulai diterapkan adalah memasukkan mitigasi bencana sebagai muatan lokal pembelajaran di sekolah-sekolah. Metode tersebut menjadi penting sebab mitigasi bencana bertujuan memberikan siswa kesadaran dan kecakapan untuk mencegah terjadinya bencana dengan mengubah perilaku hidup dan mengetahui tindakan yang harus dilakukan saat keadaan darurat.
Di sisi lain, mitigasi struktural berupa pengadaan sistem peringatan dini turut menjadi prioritas. Dalam konteks bencana tsunami, maka alat yang dibutuhkan adalah buoy tsunami, yaitu alat deteksi dini tsunami yang bekerja mendeteksi anomali tinggi muka air laut menggunakan sensor yang mengapung di perairan.
Ada pula stasiun pasang surut air laut atau tide gauge yang dapat mendeteksi anomali tinggi muka air laut. Alat ini dikelola oleh Badan Informasi Geospasial. Alat peringatan dini lainnya adalah Inexpensive Device for Sea Level Measurement (IDSL) yang dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dua sistem peringatan dini tsunami lainnya adalah radar berbasis sistem penginderaan jauh yang dikelola oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, serta kabel laut atau cable based tsunameter (CBT) yang dikembangkan oleh BPPT.
Mitigasi kewilayahan
Dari seluruh lokasi, pulau Jawa menjadi area yang memiliki kerawanan dan kerentanan tinggi dibandingkan wilayah lain. Setidaknya ada tiga alasan, yaitu sekitar 60 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa, banyak infrastruktur vital nasional, dan terdapat struktur geologi berpa zona subduksi di selatan.
Pertimbangan ancaman bencana besar di selatan Jawa, maka memerlukan prioritas mitigasi di wilayah tersebut. Basis analisis keruangan sudah tidak dapat ditawar, mengingat banyaknya wilayah yang berkembang pesat, termasuk keberadaan Bandara Internasional di pesisir Kulon Progo, Yogyakarta.
Baca Juga: Mitigasi Risiko Tsunami Selatan Jawa
Tidak kalah penting, melakukan mitigasi kewilayahan. Setidaknya ada lima poin mitigasi, yaitu pemahaman risiko bencana masyarakat, penataan penggunaan lahan, mengontrol pembangunan, sabuk hijau penahan bencana, dan pembangunan kembali perkotaan berbasis mitigasi bencana.
Berbagai upaya yang dilakukan termasuk mitigasi kewilayahan dapat melengkapi kesadaran masyarakat akan tingginya potensi bencana alam di Indonesia. Kesadaran bencana ini perlu terus ditingkatkan, seiring penyiapan-penyiapan teknis yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat. (LITBANG KOMPAS)