Ujian Petahana dan Kekuatan Banteng di Dharmasraya
Anomali politik terjadi di Kabupaten Dharmasraya. Di tengah heterogenitas, penguasaan PDI-P membuka ruang persaingan sengit menuju kursi bupati dan wakil bupati di pilkada tahun ini.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Dalam ranah pemilihan kepala daerah di Sumatera Barat, anomali politik terjadi di Kabupaten Dharmasraya. Penguasaan PDI-P yang diiringi langkah berat petahana sepanjang sejarah penyelenggaraan pilkada, membuka ruang persaingan sengit menuju kursi bupati dan wakil bupati.
Pilkada di Kabupaten Dharmasraya tahun ini menarik untuk dicermati karena tiga hal, yakni anomali penguasaan partai, jejak petahana yang selalu gagal, hingga heterogenitas wilayah. Ketiga hal ini menjadi indikator untuk melihat kemungkinan ketatnya ruang persaingan untuk memperebutkan suara. Tak ada jaminan bagi petahana ataupun tokoh sentral lainnya untuk menang di tengah lanskap politik di wilayah ini.
Pertama, dari sisi penguasaan partai, Dharmasraya atau yang dikenal dengan sebutan ”Ranah Cati Nan Tigo” adalah wilayah yang memiliki keunikan dibandingkan daerah lainnya di Sumbar. Jika PDI-P sulit untuk mendominasi raihan suara di Ranah Minang, tidak demikian di Dharmasraya.
Pada tahun 2019, PDI-P adalah partai yang berhasil meraih kursi terbanyak pada DPRD tingkat II. Dari total 30 kursi yang diperebutkan, partai berlambang banteng ini berhasil meraih 7 kursi atau lebih banyak dari partai lainnya, seperti Golkar (5 kursi), PAN, (4 kursi), dan Gerindra (3 kursi).
Kondisi ini sangat berbeda dengan hasil pemilu di tingkat provinsi. Pada DPRD tingkat I, PDI-P hanya berhasil meraih tiga dari 65 kursi yang diperebutkan. Raihan kursi ini jauh lebih rendah dibandingkan Gerindra (14 kursi) ataupun PKS, Demokrat, dan PAN yang masing-masing meraih 10 kursi.
Jika menilik ke belakang, Dharmasraya memang menjadi salah satu lumbung suara PDI-P di Sumbar. Pada Pemilu 2014, PDI-P mampu meraih suara tertinggi di wilayah ini (27,48 persen). Kemenangan juga berhasil diraih untuk Pileg DPRD Provinsi dengan raihan 20,77 persen suara. Sementara untuk DPRD tingkat II, PDI-P meraih 16,35 persen suara dan berada pada urutan kedua setelah Golkar yang mendominasi raihan suara (17,51 persen).
Jejak kemenangan ini semakin dikukuhkan dengan berhasilnya Sutan Riska Tuanku Kerajaan, salah satu kader PDI-P dalam pemilihan bupati 2015. Berpasangan dengan Amrizal Datuk Rajo Medan sebagai calon wakil bupati, Sutan Riska berhasil meraup hingga 63,75 persen suara. Kemenangan itu cukup mengejutkan mengingat usianya yang baru menginjak 26 tahun saat terpilih sebagai bupati.
Kondisi ini menggambarkan bahwa PDI-P merupakan partai yang diperhitungkan dalam kancah politik di Dharmasraya. Meski gagal memenangkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang hanya meraup 34,37 persen suara dalam pemilihan presiden 2014 di wilayah ini, PDI-P tetap berhasil meraup suara dominan dalam kontestasi lokal, baik legislatif maupun eksekutif.
Tahun ini, persaingan memperebutkan kursi Bupati dan Wakil Bupati Dharmasraya juga kembali diikuti oleh Sutan Riska Tuanku Kerajaan. Ia berpasangan dengan Dasril Panin Datuk Labuan yang merupakan tokoh pemekaran wilayah Dharmasraya di parlemen sebelum disahkan sebagai kabupaten baru pada 2003.
Sutan Riska kembali diusung oleh PDI-P dan partai di DPRD lainnya, yakni PKB, Golkar, Hanura, dan Demokrat. Dengan komposisi ini, pasangan Sutan Riska-Dasril Panin memperoleh dukungan mayoritas partai di DPRD Dharmasraya (53,3 persen).
Persis seperti lima tahun sebelumnya, Pilkada Dharmasraya tahun ini kembali diikuti oleh dua pasangan calon. Dari 13 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada serentak di Sumatera Barat, Dharmasraya menjadi satu-satunya daerah dengan persaingan yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Kontestasi pada mayoritas daerah lainnya diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon kepala daerah, seperti Sijunjung (5 paslon), Tanah Datar (4 paslon), dan Bukittinggi (3 paslon).
Dalam jagat kontestasi di Dharmasraya, petahana memang selalu mencalonkan diri sejak pilkada pertama 2005. Namun, hingga 2015, tidak ada satu pun petahana yang berhasil melenggang kembali sebagai bupati untuk kedua kalinya.
Bahkan, pada 2015, pasangan Adi Gunawan-Jonson Putra hanya meraih 36,25 persen suara. Adi Gunawan merupakan Bupati Dharmasraya periode 2010-2015. Kekalahan Adi Gunawan semakin mengukuhkan bahwa tidak ada jaminan bagi petahana untuk kembali terpilih. Kondisi ini menjadikan Dharmasraya sebagai wilayah pertarungan terbuka dalam pilkada 9 Desember mendatang.
Kemenangan PDI-P di tengah minoritas suara di Sumbar serta kegagalan petahana dalam setiap pilkada membuktikan bahwa Dharmasraya adalah wilayah yang memiliki karakteristik khusus. Jika melihat dari sisi demografi politik, salah satu penyebab utama timbulnya karakteristik ini boleh jadi adalah heterogenitas yang sudah lama terbentuk.
Dharmasraya adalah daerah yang terletak di perbatasan antara Sumbar dan Jambi. Dahulu, wilayah ini merupakan lokasi tujuan transmigrasi bedol desa pada era pemerintahan Presiden Soeharto pada dekade 1970-an. Ketika itu, wilayah ini masih bergabung dengan Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Sekitar 3.200 keluarga yang terdampak pembangunan waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Jawa Tengah, dipindahkan ke wilayah ini.
Kebijakan ini turut membawa Dharmasraya sebagai wilayah yang plural. Pluralitas ini juga didukung oleh kondisi Dharmasraya sebagai wilayah transit, baik dari sisi perdagangan maupun transportasi.
Dampaknya, Dharmasraya tidak hanya dihuni oleh masyarakat yang homogen. Selain penduduk setempat dan transmigran bedol desa, turut pula hadir transmigran swakarsa, baik dari Sumbar maupun luar daerah Sumbar.
Kondisi inilah yang turut mendorong Dharmasraya memiliki dinamika politik yang berbeda dibandingkan wilayah lainnya di Sumbar. Setiap orang dengan dukungan setiap kelompok masyarakat dapat berpotensi untuk maju dan memenangkan persaingan. Hal ini telah dibuktikan oleh Tugimin, salah seorang transmigran kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, yang berhasil menduduki kursi Wakil Bupati Dharmasraya periode 2005-2010.
Dengan segala kondisi dan heterogenitas wilayah di Dharmasraya, maka akan sulit memperkirakan dinamika yang akan terjadi selama kontestasi. Artinya, pilkada menjadi ruang persaingan terbuka bagi setiap calon yang sama-sama berpotensi untuk memenangkan persaingan perolehan suara di wilayah ini. (LITBANG KOMPAS)