Pertaruhan Dominasi Banteng di Surabaya
Pilkada Surabaya yang baru pertama kali ini berlangsung tanpa diikuti petahana memberikan indikasi ketiadaan sosok yang begitu kuat serta dominan di mata pemilih. Selain itu, PDI-P akan benar-benar diuji sekarang.
Pemilihan wali kota dan wakil wali kota Surabaya tahun ini terbilang lebih seru dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Ketiadaan petahana dan terjadinya kristalisasi dukungan kepada pasangan calon menjadi sinyal menariknya kontestasi di Surabaya. Pilkada ini juga menjadi pertaruhan bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menjadi juara bertahan dalam setiap pilkada di kota itu.
Pilkada Surabaya yang baru pertama kali ini berlangsung tanpa diikuti petahana memberikan indikasi ketiadaan sosok yang begitu kuat serta dominan di mata pemilih. Padahal, dalam tiga pilkada sebelumnya, sosok petahana begitu kuat dan mengakar. Sosok yang kuat ini didukung mesin politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menjadi satu-satunya partai pengusung petahana dan terbukti sukses memenangi ketiga pilkada.
Pada pilkada langsung pertama 2005, sosok Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono begitu kuat. Diusung PDI-P tanpa berkoalisi dengan partai politik lain, ia sukses memenangi pilkada dengan menyisihkan tiga pasangan calon lain.
Padahal, saat itu, salah satu calon wali kota, Alisjahbana, mantan Sekretaris Kota Surabaya, juga cukup populer di kalangan masyarakat Surabaya. Namun, sosok Bambang begitu kuat dengan dukungan mesin politik PDI-P. Bambang, yang didampingi Arif Afandi, mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos, memenangi pilkada dengan 51,3 persen suara.
Lima tahun kemudian, dalam Pilkada 2010, Bambang tidak bisa maju lagi karena Mahkamah Konstitusi memutuskan masa jabatan kepala daerah dihitung satu periode jika sudah dijalani setengah atau lebih (17 November 2009). Sebelum maju dalam Pilkada 2005, Bambang sudah menjabat sebagai Wali Kota Surabaya selama 2,5 tahun lebih, meneruskan masa jabatan Wali Kota Sunarto Sumoprawiro yang meninggal. Atas putusan MK ini, Bambang tak bisa maju lagi karena dinilai sudah menjabat dua periode sebagai wali kota.
Ketiadaan aturan yang menghalangi seorang kepala daerah dua periode maju kembali menjadi calon wakil kepala daerah di daerah yang sama membuka peluang bagi Bambang. Dalam Pilkada 2010, Bambang maju sebagai calon wakil wali kota mendampingi Tri Rismaharini yang dipilih PDI-P sebagai calon wali kota.
Sekali lagi, seperti pada Pilkada 2005, kali ini PDI-P mengusung pasangan Risma-Bambang tanpa berkoalisi dengan partai politik lain. Praktis, sosok petahana Bambang mampu memberikan insentif elektoral bagi Risma yang sebelumnya juga sudah dikenal publik Surabaya sebagai mantan kepala dinas pertamanan. Hijaunya Surabaya dengan taman-taman yang rimbun tak lepas dari keringat Risma dalam bekerja.
Bambang pun mengantarkan kemenangan Risma dengan 38,53 persen suara, menang tipis atas Arif Afandi-Adies Kadir yang diusung Demokrat, Golkar, dan PAN. Sebelumnya, Arif adalah Wakil Wali Kota Surabaya pada era Bambang.
Kemenangan dalam Pilkada 2010 ini menjadi bukti, kekuatan dukungan PDI-P mengakar kuat di Surabaya. Namun, posisi sebagai wakil wali kota tak sampai selesai dijalani Bambang.
Sosok petahana Bambang mampu memberikan insentif elektoral bagi Risma.
Dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 2013, Bambang maju sebagai calon gubernur berpasangan dengan Said Abdullah, anggota DPR dari PDI-P. Namun, langkah Bambang tak mulus. Pasangan Bambang-Said, yang sama-sama kader PDI-P ini, kalah.
Fenomena Risma
Setelah Bambang mundur, Risma menjadi kekuatan sentral baru bagi Kota Surabaya. Sebagai ganti posisi wakil wali kota yang ditinggalkan Bambang, Wisnu Sakti Buana, yang saat itu menjabat Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, ditunjuk PDI-P menggantikan Bambang sebagai Wakil Wali Kota Surabaya mendampingi Risma. Penunjukan Wisnu membuat relasi Risma dan Wisnu kembali diperbincangkan publik.
Penyebabnya, saat di DPRD, hubungan Wisnu dan Risma bergejolak. Saat Wisnu menjadi Wakil Ketua DPRD Surabaya, ada upaya pemakzulan yang dilakukan DPRD kepada Risma. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Risma yang menerbitkan Peraturan Wali Kota Surabaya terkait reklame yang tak mendapat lampu hijau dari DPRD, tetapi Risma tetap ngotot.
Dinamika hubungan Risma-Wisnu sedikit mereda ketika dalam Pilkada 2015 pasangan ini kembali diusung PDI-P. Dalam pilkada ini, Risma membuktikan diri sebagai wali kota petahana yang sukses mengantarkan perubahan Surabaya menjadi lebih baik, setidaknya dari sisi estetika kota dan perencanaan tata kota.
Kesuksesan ini diganjar dengan kemenangan kembali Risma dalam Pilkada Kota Surabaya 2015 dengan perolehan suara mutlak, mencapai 86,34 persen. Sebuah angka kemenangan yang menjadi salah satu rekor persentase suara tertinggi dalam perhelatan pilkada langsung di Indonesia.
Pasangan Risma-Wisnu berhasil memupus harapan pasangan lawan, Rasiyo-Lucy Kurniasari, yang meraih 13,66 persen suara. Kemenangan ini memperkuat tesis bahwa sosok wali kota petahana di Surabaya memiliki pamor yang begitu besar sehingga berdampak pada tingkat elektoralnya dalam pilkada.
Tiga tantangan
Kini, dalam Pilkada 2020, PDI-P kembali mengajukan pasangan calon tanpa berkoalisi dengan partai politik lain. Ini pilkada keempat yang diikuti PDI-P dengan mengajukan pasangan calon tanpa berkoalisi.
Realitas politik tahun ini tentu agak berbeda dengan tiga pilkada sebelumnya. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi PDI-P sebagai ”juara bertahan” pada tiga pilkada sebelumnya.
Pertama, dalam pilkada kali ini tidak ada pamor petahana yang selama ini identik dengan PDI-P. Mulai dari Pilkada Surabaya 2005 dan 2010, ada faktor Bambang DH dan Risma yang kemudian diteruskan dengan kemenangan dalam Pilkada 2015.
Baca juga: Tes Usap bagi Warga Surabaya Beperjalanan Digratiskan
Dalam pilkada kali ini, PDI-P nyaris hanya akan bertumpu pada loyalitas pemilihnya di akar rumput. Dengan mengusung pasangan calon yang belum populer, tentu tak mudah bagi partai ini menang seperti pada tiga pilkada sebelumnya.
Kedua, soliditas PDI-P menjadi pertaruhan karena sosok yang diajukan sebagai calon wali kota bukan kader tulen dari partai ini. Sementara Armudji yang notabene kader PDI-P justru menjadi calon wakil wali kota.
Ketiga, komposisi partai pendukung pasangan calon relatif tidak berimbang. PDI-P memiliki 15 kursi DPRD, sedangkan koalisi delapan partai yang mengusung Machfud Arifin-Mujiaman bermodalkan 31 kursi DPRD.
Pengamat politik Universitas Airlangga, Ali Sahab, menilai, kesuksesan pasangan Machmud–Mujiaman mendapatkan dukungan delapan partai menjadi modal penting bagi mereka.
Dengan mengusung pasangan calon yang belum populer, tentu tak mudah bagi partai ini menang seperti pada tiga pilkada sebelumnya.
Selain dukungan partai, Ali juga melihat ada semangat yang tinggi dari koalisi ini untuk melawan dominasi PDI-P selama ini. ”Saya melihat beberapa parpol pengusung Machfud-Mujiaman mempunyai militansi yang tinggi, khususnya untuk kerja-kerja lapangan,” ujarnya.
Ali juga mengatakan, pilkada kali ini cukup berat bagi PDI-P karena kemunculan pasangan calon yang diusungnya relatif terlambat akibat proses penentuan yang alot di DPP. Sementara Machfud Arifin sudah jauh lebih gencar menyosialisasikan diri dibandingkan calon yang diusung PDI-P.
Semua pada akhirnya bergantung pada pemilih Surabaya. Apakah akan memilih Eri-Armudji yang notabene pasangan calon yang didukung petahana ataukah pasangan Machfud–Mujiaman yang sejauh ini didukung lebih banyak partai politik.
Di luar tantangan di atas, ada satu catatan menarik yang masih perlu diuji, yakni tiga kali kemenangan PDI-P dalam pilkada sebelumnya selalu dibarengi tingkat partisipasi pemilih yang relatif rendah.
Baca juga: Surabaya Meradang, Hadang Korona
Dalam Pilkada 2005, tingkat partisipasi hanya 51,7 persen. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi dalam Pilkada 2010, bahkan jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara cenderung menurun, berada di angka 45,2 persen.
Kondisi serupa tercatat pada pilkada lima tahun lalu (2015) dengan angka partisipasi cenderung masih di angka yang sama, yakni 52,2 persen. Kondisi ini membangun satu benang merah bahwa kemenangan PDI-P dalam Pilkada Surabaya selalu terjadi dalam pilkada dengan tingkat partisipasi rendah atau rata-rata hanya separuh pemilih yang menggunakan hak suara. PDI-P belum teruji memenangi Pilkada Kota Surabaya dengan tingkat partisipasi yang tinggi atau di atas 75 persen.
Boleh jadi kemenangan yang sama akan diraih partai ini. Namun, bukan tidak mungkin pola ini akan berubah jika tingkat partisipasi meningkat drastis dalam pilkada 9 Desember nanti. Inilah yang akan menjadi pertaruhan bagi dominasi PDI-P di Kota Surabaya.
(LITBANG KOMPAS)