Satu Juta Kematian Covid-19 Jadi Peringatan Keras
Tingginya angka kematian Covid-19 menuntut simpati semua warga dunia untuk terus berpartisipasi mencegah penularan.
Kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 2 juta meski perawatan pasien layak dan vaksin telah ditemukan. Akan tetapi, tingginya angka kematian belum sepenuhnya menggerakkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi menekan penularan Covid-19.
Sembilan bulan berlalu sejak Covid-19 terdeteksi di China pada akhir Desember 2019. Pada 29 September 2020, kematian akibat Covid-19 telah menembus 1 juta jiwa. Mereka adalah bagian dari 33,7 juta jiwa yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Dari 1 juta korban jiwa itu, 20,4 persen berasal dari Amerika Serikat dengan lebih dari 205.000 kematian. Selain AS, dua wilayah dengan jumlah kematian terbanyak ialah Brasil dan India. Jumlah kematian di Brasil mencapai hampir 143.000 jiwa atau 14,2 persen dari total kematian di dunia. Adapun kematian akibat Covid-19 di India mencapai 97.500 jiwa (9,7 persen).
Namun, jika dilihat dari rasio kasus kematian (case fatality rate/CFR), terdapat delapan negara yang memiliki CFR lebih dari rata-rata dunia (3,0). Case fatality rate merupakan rasio jumlah kematian akibat Covid-19 dibandingkan dengan kasus terkonfirmasi Covid-19.
Delapan negara itu ialah Meksiko (10,4 persen), Iran (5,7 persen), Perancis (5,5 persen), Spanyol (4,2 persen), Peru (4 persen), Romania (3,8 persen), Indonesia (3,8 persen), dan Kolombia (3,1 persen).
Tingginya kematian akibat Covid-19 mendorong organisasi dunia, pemerintah negara-negara, dan masyarakat untuk tidak lengah memerangi pandemi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan kondisi ini bisa bertambah buruk. Dua juta jiwa korban tewas sangat mungkin tercapai meski perawatan pasien dilakukan dengan baik dan vaksin yang efektif sudah tersedia.
Hal tersebut bisa kian parah karena Covid-19 terhitung sangat cepat menular. Angka penularan (R Naught/R0) Covid-19 mencapai 2,5 pada April 2020. Artinya, setiap orang yang terinfeksi Covid-19 dapat menularkan virus ini kepada minimal dua orang lainnya.
Dapat dibayangkan jika 10 orang terinfeksi Covid-19, mereka dapat menularkan virus kepada 25 orang lainnya. Demikian seterusnya berlanjut pada 25 orang itu dapat menularkan ke 62,5 orang lainnya.
Tidak mengherankan, dalam tiga bulan saja, virus ini sudah menginfeksi lebih dari 100.000 orang. Virus SARS-CoV-2 termasuk baru. Negara-negara sulit mengontrol penyebarannya.
Penanganan dan perawatan pasien Covid-19 tidak maksimal, pencegahan non-farmatikal, seperti karantina (lockdown), pembatasan wilayah, dan penggunaan masker belum dapat mencegah penyebarannya. Layanan kesehatan kewalahan mengatasinya. Akibatnya, jatuh banyak korban jiwa akibat infeksi virus ini.
Stagnan
Jika dihitung rata-ratanya, sejak Desember 2019 terdapat lebih dari 100.000 orang meninggal setiap bulan akibat Covid-19. Melihat data kasus kematian baru setiap hari, puncak terparah terjadi pada April 2020. Pada bulan itu, hampir setiap hari terjadi lebih dari 10.000 kematian akibat Covid-19.
Akan tetapi, jumlahnya semakin menurun hingga akhir Mei. Setidaknya saat itu rata-rata jumlah kematian baru dalam seminggu mencapai 3.890 jiwa per hari.
Sayangnya, penurunan tersebut tidak berlangsung lama. Angka kematian meningkat kembali mulai Juni dengan puncaknya pada 14 Agustus yang mencapai 6.361 kematian per hari.
Jika dihitung rata-ratanya, sejak Desember 2019 terdapat lebih dari 100.000 orang meninggal setiap bulan akibat Covid-19.
Setelahnya, meski kasus kematian baru menurun, jumlahnya stagnan. Dari akhir Agustus hingga akhir September, rata-rata jumlah kematian baru per hari mencapai 5.355 jiwa atau 3,2 persen dari total kasus Covid-19.
Jika kondisi ini dibiarkan, apa yang diperingatkan WHO akan sangat mungkin terjadi, apalagi melihat jumlah kasus baru yang terus bertambah setiap hari.
Hal ini tampak pada grafik kasus baru Covid-19 dalam sembilan bulan yang menunjukkan kurva naik dan belum melandai. Hingga 28 September, rata-rata penambahan kasus baru dalam seminggu mencapai 291.900 per hari.
Di sisi lain, angka kematian yang tinggi ini belum dapat dipastikan sebagai angka yang valid dari jumlah korban jiwa akibat Covid-19. Data kematian itu hanya didasarkan pada kematian dari pasien yang terkonfirmasi Covid-19.
Diduga, masih banyak korban jiwa akibat Covid-19 yang tak terdeteksi karena terlambat didiagnosis. Di sisi lain, berdasarkan analisis ahli demografi dan epidemiologi, banyak kasus kematian akibat penyakit lain yang dikaitkan dengan Covid-19 sehingga angka kematian Covid-19 sesungguhnya belum pasti.
Terlepas dari hal itu, untuk memaknai angka kematian sebagai beban atau dampak dari sebuah wabah penyakit, kita dapat menggunakan pendekatan tahun hilang akibat kesakitan atau kecacatan yang menyebabkan kematian dini (Years of Life Lost). Jumlah tahun yang hilang merupakan selisih usia manusia saat mengalami kematian dini dengan rata-rata angka harapan hidup. Kematian dini yang dimaksud mencakup kematian seseorang karena suatu penyakit saat usianya belum mencapai rerata usia akhir hidup manusia pada umumnya.
Riset yang dilakukan Hector Pifarre dari Universitas Pompeu Fabra, Spanyol, bersama tim penelitiannya dari sejumlah negara menghitung jumlah tahun yang hilang dari 300.000 kematian terkait Covid-19 yang tersebar di 42 negara. Hasilnya, 4.364.326 tahun hilang akibat kematian terkait Covid-19.
Setiap orang yang meninggal akibat Covid-19 rata-rata kehilangan 14,5 tahun waktu hidupnya. Perhitungan ini menggunakan asumsi angka harapan hidup manusia 76 tahun.
Korban jiwa akibat Covid-19 tidak hanya menimpa warga lansia, tetapi juga kelompok usia dewasa muda, remaja, bahkan anak-anak. Semakin muda usia korban, semakin banyak waktu yang hilang akibat kematian Covid-19 jika dibandingkan dengan usia akhir hidup manusia secara alamiah.
Setiap orang yang meninggal akibat Covid-19 rata-rata kehilangan 14,5 tahun waktu hidupnya.
Penghitungan ini membantu kita memaknai setiap tahun yang hilang akibat Covid-19. Jika satu tahun saja korban Covid-19 dapat beraktivitas, bekerja, memperoleh pencapaian-pencapaian tertentu, menjalin kebersamaan bersama keluarganya, maka betapa kehilangannya orang-orang serta lingkungan terdekatnya akibat Covid-19.
Kurang peduli
Tingginya angka kematian Covid-19 menuntut simpati semua warga dunia untuk terus berpartisipasi mencegah penularan. Masyarakat harus selalu diingatkan jangan lelah menerapkan protokol kesehatan guna melindungi diri dan orang-orang sekitarnya. Pandemi yang telah berlangsung lebih dari tujuh bulan dapat membuat kepedulian masyarakat berkurang.
Berkurangnya kepedulian ini dapat disebabkan oleh fenomena psychic numbing. Dalam psikologi, fenomena ini ditandai oleh semakin berkurangnya kepedulian kita seiring dengan makin banyaknya orang meninggal dalam sebuah peristiwa. Padahal, secara alamiah, kematian satu individu membawa duka yang mendalam.
Paul Slovic, psikolog University of Oregon, menyebutkan bahwa ada perbedaan persepsi otak kita dalam memandang kematian satu individu dan kematian dalam jumlah besar. Satu kehidupan individu yang hilang dirasa sangat bermakna sehingga kita tertarik untuk membantu atau berpartisipasi mengurangi penderitaan. Namun, semakin banyak jumlah individu yang mengalami musibah, perasaan simpati kita akan semakin berkurang.
Baca juga: Selandia Baru Umumkan Kemenangan Melawan Gelombang Kedua Korona
Selain itu, dari sudut pandang ilmu perilaku manusia, kesadaran kita akan ancaman bahaya akan lebih tinggi jika hal itu terjadi dekat dengan lingkup kita. Melissa Finucane, ilmuwan perilaku dan sosial senior di lembaga Rand Corporation, menjelaskan bahwa manusia berfokus pada ancaman terhadap dirinya sendiri atau kelompok terkecilnya.
Sementara saat pandemi berlangsung, jumlah korban Covid-19 sangat banyak dan tersebar di seluruh dunia. Manusia yang pada dasarnya bukan analis statistik atau epidemiologis tak dapat menentukan penilaian dan tindakan atas situasi yang sangat kompleks serta global seperti pandemi ini.
Ketidakpedulian dan kurangnya simpati yang berakibat pada ketidaktaatan akan bertambah jika seseorang belum pernah mengalami secara langsung kejadian yang sama atau hampir sama. Sekalipun pernah mengalami kejadian yang sama, jika pengalaman tersebut tak digunakan untuk antisipasi, akibat buruk tetap terjadi.
Baca juga: Kepatuhan terhadap Protokol Kesehatan Covid-19
Hal tersebut dijelaskan Jacalyn Duffin, profesor sejarah kesehatan di Queens University, Kanada, tentang perilaku warga Kanada dalam menghadapi pandemi. Ia mengatakan, meski memiliki pengalaman pada wabah SARS 2003 yang memakan korban jiwa 44 orang, pengetahuan akan cara menangani SARS tidak dijadikan kebijakan penanganan pandemi di masa depan. Pengalaman tersebut seakan-akan terlupakan, padahal SARS dan Covid-19 memiliki karakteristik penyakit yang hampir sama.
Tiga hal ini dapat berakibat buruk terhadap bagaimana kita merespons kejadian bencana atau wabah penyakit. Dalam kasus pandemi ini, muncullah ketidakpedulian terhadap kondisi orang lain. Wujudnya berupa pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan, seperti tidak mengenakan masker dan tidak menjaga jarak.
Akan tetapi, biarlah satu juta kematian akibat Covid-19 ini menjadi peringatan bagi kita untuk tidak menyepelekan pandemi ini. Leslie Martin, psikolog kesehatan La Sierra University, California, menyarankan supaya kita melihat pandemi ini sebagai ancaman personal. Hal ini dapat mengubah cara pandang kita dalam mengikuti protokol kesehatan sebagai cara kita melindungi diri dan orang-orang terdekat kita alih-alih memikirkan situasi dunia.
(LITBANG KOMPAS)