Mempertimbangkan Sistem Pemilu Campuran
Salah satu dampak dari kelemahan sistem proporsional ialah sulitnya pemerintahan hasil pemilu untuk melakukan konsolidasi. Hal ini terjadi karena tidak ada partai politik yang menang secara mayoritas.
Sistem pemilu paralel atau campuran bisa menjadi jalan untuk mengurangi kelemahan proporsional sekaligus mendapatkan insentif dari model distrik atau mayoritarian. Sayangnya, upaya revisi terhadap undang-undang pemilihan umum belum menyentuh soal sistem pemilu.
Sampai dengan Pemilu 2019, Indonesia masih menerapkan sistem proporsional. Sistem ini digunakan sejak 1955, pemilu era Orde Baru, sampai era reformasi, dengan berbagai perluasan dan perbaikan.
Proporsional tertutup diberlakukan sejak Orde Baru, sedangkan proporsional dengan daftar terbuka diterapkan sejak Pemilu 2009. Di daftar terbuka ini, pemilih, yang sebelumnya hanya mencoblos gambar partai politik peserta pemilu, dimungkinkan untuk memilih nama calon anggota legislatif yang diinginkannya.
Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, pengaruh sistem pemilu proporsional yang begitu kuat membuatnya seakan-akan sebagai ”satu-satunya” sistem pemilu yang paling cocok di Indonesia. Akibatnya, upaya untuk mencari sistem selain proporsional kurang berkembang, bahkan nyaris tak menjadi pertimbangan dalam reformasi pemilu.
Hal ini terbukti dari setiap pembahasan rancangan undang-undang terkait pemilu. Isu perubahan sistem hampir tak pernah ada, termasuk dalam draf RUU Pemilu per 6 Mei 2020. Isu yang ramai diperbincangkan justru terkait besaran daerah pemilihan (district magnitude) dan ambang batas sebagai ”perluasan” dari sistem proporsional.
Padahal, dalam konstitusi UUD 1945, terutama Pasal 19 Ayat 1, disebutkan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. Artinya, tidak disebutkan secara spesifik soal sistem pemilu yang harus diterapkan.
”Sistem pemilu merupakan pilihan politik, bukan pilihan konstitusional, karena UUD 1945 tak khusus menyebutkan soal sistem pemilu apa yang harus dipilih,” ujar Moch Nurhasim, peneliti LIPI, dalam diskusi bedah buku Adaptasi Sistem Pemilu Paralel bagi Indonesia, Rabu (30/9/2020).
Kelemahan
Salah satu dampak dari kelemahan sistem proporsional ialah sulitnya pemerintahan hasil pemilu untuk melakukan konsolidasi. Hal ini terjadi karena tidak ada partai politik yang menang secara mayoritas. Hasil pemilu proporsional yang dikombinasikan dengan sistem multipartai menghasilkan ketimpangan karena cenderung menciptakan kekuatan politik yang menyebar.
Menurut ilmuwan politik Arend Lijphart dan Giovanni Sartory, sebuah pemilu memiliki pemenang mayoritas jika ada partai yang menguasai minimal 25 persen dari total kursi di parlemen. Merujuk pada hasil pemilu pascareformasi, setelah Pemilu 1999 tak ada partai yang memenuhi syarat ambang batas ini. Akibatnya, tak ada dominasi partai politik. Kekuasaan pun menyebar. Hal ini menyebabkan sulitnya membangun pemerintahan yang solid dan efektif yang didukung oleh mayoritas kekuatan di parlemen.
Pengalaman terbentuknya pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2014 menjadi potret bagaimana sulitnya konsolidasi politik dibangun. Hal yang sama dialami pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada Pemilu 2004 ketika pasangan ini justru diusung oleh partai-partai menengah.
Selain sulit membangun koalisi akibat ketiadaan partai mayoritas, pemberlakuan sistem proporsional mengandung ironi. Di satu sisi, sistem ini bertujuan memperbesar representasi, tetapi dalam perjalanannya, penerapannya dibarengi kebijakan ”jalan pintas” berupa penyederhanaan partai di parlemen dengan ambang batas. Penerapan ambang batas menyebabkan suara pemilih terbuang, yang justru mengurangi derajat representasi yang menjadi tujuan utama sistem proporsional.
Suara terbuang
Pada Pemilu 1999, yang hanya menerapkan ambang batas pemilihan (electoral threshold), ada 4,6 juta suara yang tak terwakili di parlemen atau 4,4 persen dari total pemilih yang menggunakan hak mereka dalam pemilu. Hal yang sama terjadi di Pemilu 2004. Ada 6,7 juta suara terbuang atau 5,9 persen dari total pemilih yang menggunakan hak.
Ketika ambang batas parlemen diberlakukan, jumlah suara pemilih yang ”terbuang” atau tak terwakili di parlemen melonjak. Pada Pemilu 2009, saat pertama kali ambang batas parlemen diberlakukan 2,5 persen, ada 19,5 juta suara yang tak terwakili di parlemen atau 18,7 persen. Suara ini bersumber dari 29 partai politik yang gagal menembus ambang batas parlemen.
Baca juga : Menjaga Marwah Pemilu
Pada dua pemilu berikutnya, hal serupa kembali terjadi. Pada Pemilu 2014, distribusi suara pemilu relatif lebih menyebar. Dari 12 partai politik peserta pemilu, hanya dua partai yang gagal lolos ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen.
Pada Pemilu 2019, dengan ambang batas parlemen 4 persen, jumlah suara yang terbuang meningkat lagi. Ada 13,5 juta suara yang terbuang atau 9,8 persen dari jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara. Hasilnya, sembilan partai berlaga di DPR. Ambang batas 4 persen hanya mengurangi satu partai petahana, yakni Partai Hanura, dua partai lama (PBB dan PKPI), serta empat partai pendatang baru (Perindo, Garuda, Berkarya, dan PSI).
Di lain pihak, pilihan sistem distrik atau mayoritarian juga mengandung kelemahan. Salah satu kelemahan terbesar sistem ini dan dianggap tak cocok bagi politik Indonesia ialah rendahnya proporsionalitas dan representasi dari kekuatan yang ada di Tanah Air. Pluralitas sosial politik di Indonesia harus menjadi pertimbangan ketika sistem pemilu diberlakukan. Aspek pemenang akan menguasai semua kekuatan (the winner takes all) dianggap kurang cocok diterapkan pada iklim sosial politik Indonesia yang plural.
Kekuatan mayoritas lebih diuntungkan dibandingkan dengan minoritas. Tentu, isu ini akan berlawanan dan mengurangi derajat demokrasi yang menempatkan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua kekuatan. Di sisi lain, sistem mayoritarian memiliki aspek positif, yakni terbangunnya kedekatan antara pemilih dan calon anggota legislatif.
Sistem campuran
Untuk itulah reformasi sistem pemilu dibutuhkan guna menjembatani aspek keterwakilan dan representasi dengan aspek penguatan pemerintahan yang efektif. Sistem pemilu campuran secara sederhana mengambil kebaikan-kebaikan proporsional dengan kelebihan mayoritarian. Menurut hasil riset LIPI berbasis pada hasil Pemilu 2009, disimpulkan, sistem campuran mampu melahirkan pengelompokan dan penyederhanaan partai secara alamiah.
Hasil riset LIPI itu sejalan dengan simulasi yang dilakukan Litbang Kompas dengan menggunakan hasil Pemilu 2019. Hasil simulasi ini menyimpulkan, partai-partai papan atas, seperti PDI-P dan Partai Golkar, mengalami perubahan positif dengan penambahan kursi. Adapun Partai Gerindra dan PKB cenderung bertahan di kelompok partai menengah atas karena jumlah kursi mereka masih lebih sedikit daripada PDI-P dan Partai Golkar. Partai-partai lainnya berada di menengah bawah.
Baca juga : Menguatkan Sistem Presidensial
Kesimpulan lain dari hasil simulasi Litbang Kompas, sistem pemilu campuran lebih membuka peluang kemunculan partai politik dengan kursi mayoritas minimal (lebih dari 25 persen). Hal itu tak terjadi pada penerapan proporsional murni selama ini, setidaknya sejak pemilu era reformasi.
Kemunculan partai dengan jumlah kursi mayoritas akan membuka peluang penyederhanaan partai di parlemen. Kerja-kerja legislatif untuk menciptakan keseimbangan politik cenderung lebih mudah dilakukan jika ada partai dengan kursi mayoritas minimal itu.
Potensi terwujudnya penyederhanaan partai secara alamiah mendukung sistem presidensial karena terbentuk partai mayoritas utama yang memudahkan pengambilan keputusan bagi presiden dan kabinetnya. Pemerintah tak menghadapi kendala berupa koalisi partai yang pragmatis akibat ketiadaan partai mayoritas utama.
Kini, bola berada di tangan DPR dan pemerintah. Apakah mereka mau memasukkan wacana perubahan sistem pemilu dalam RUU Pemilu atau tidak?
(Litbang Kompas)