Indonesia di Saat Krisis dan Resesi
Lebih dari dua dekade terakhir, Indonesia mengalami dua kali krisis. Pandemi Covid-19 membawa Indonesia ke situasi yang lebih jauh, yakni resesi.
Ketahanan bangsa menghadapi ujian melalui berbagai kebijakan dalam mengelola krisis dan resesi terhadap berbagai aspek kehidupan. Tahun ini, Indonesia dipastikan mengalami resesi karena pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua triwulan berturut-turut.
Pemerintah, minggu lalu, menyampaikan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 menjadi kisaran negatif 1 persen hingga negatif 2,9 persen. Perkiraan Bank Pembangunan Asia (ADB), September lalu, menyebutkan, pada tahun 2020 ini Indonesia bertumbuh sebesar negatif 1 persen.
Problem fiskal niscaya terjadi lagi tatkala penerimaan negara mengalami tekanan dan belanja negara membengkak karena kebutuhan pemulihan ekonomi dan sosial dari dampak pandemi.
Bagaimana pengalaman mengajarkan Indonesia melewati setiap masa-masa sulit ekonomi?
Baca juga : Berpacu dengan Resesi
Krisis 1998
Indonesia pada 1998 jatuh ke dalam krisis keuangan dan perbankan yang menjalar menjadi krisis ekonomi, politik, dan sosial. Krisis tersebut membuat Indonesia masuk ke dalam program Dana Moneter Internasional (IMF) untuk pemulihan ekonomi.
Penyebab krisis dimulai dengan krisis nilai tukar di Thailand yang kemudian menular ke Indonesia. Sistem nilai tukar rupiah yang berubah dari rezim fixed rate (dipatok) menjadi floating rate (mengambang) menyebabkan rupiah mengalami kemerosotan yang cukup dalam terhadap dollar Amerika Serikat (AS).
Rupiah bergerak dari Rp 2.376 per dollar AS pada Januari 1997 hingga merosot menjadi Rp 16.700 per dollar AS pada 17 Juni 1998. Akibatnya, harga-harga barang melonjak naik. Inflasi menjadi tinggi. Rupiah baru stabil di kisaran Rp 9.000-an pada 2002-2003.
Untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah pada periode krisis ini, pemerintah menjalankan kebijakan uang ketat. Hal ini berdampak pada meningkatnya suku bunga bank yang mencapai puncaknya sekitar 62 persen di bulan September 1998. Namun, suku bunga berangsur-angsur turun ke tingkat 6 persen dan stabil di akhir 2003.
Merosotnya rupiah serta meningkatnya inflasi dan suku bunga bank menyebabkan sektor perbankan mengalami pukulan berat. Terjadi lonjakan kredit bermasalah. Perbankan Indonesia pada saat itu mengalami krisis yang sangat berat sehingga terjadi penutupan bank-bank bermasalah. Tidak adanya program penjaminan simpanan menyebabkan masyarakat panik sehingga terjadi penarikan dan pemindahan dana secara besar-besaran.
Baca juga : 20 Tahun Memori Kelam Krisis Moneter (1)
Upaya penyelamatan perbankan nasional menelan biaya yang sangat besar. Pemerintah terpaksa mengambil langkah menerbitkan surat utang atau obligasi untuk rekapitalisasi bank. Total surat utang yang dikeluarkan pemerintah untuk penyelamatan sektor perbankan mencapai Rp 656,7 triliun.
Nilai tukar rupiah yang merosot tajam berakibat pada melonjaknya rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga mencapai hampir 90 persen di tahun 2000. Kondisi yang serba buruk ini berimbas pada perekonomian secara keseluruhan.
Pertumbuhan ekonomi otomatis juga menurun. Jika selama periode 1985-1996 pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 7-9 persen per tahun, pada 1997 angkanya turun menjadi 4,7 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1998 bahkan terperosok ke angka minus 13,13 persen dan baru mulai bangkit dan stabil sejak 2003.
Tantangan terbesar selama masa krisis ini ialah melakukan pemulihan ekonomi dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Indonesia bersama sejumlah negara di Asia lainnya, seperti Thailand dan Korea Selatan, masuk dalam program penanganan krisis oleh IMF dengan melakukan restrukturisasi dan penjadwalan utang dalam berbagai forum kreditor.
Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang mengalami krisis paling dalam dengan pemulihan yang paling lambat. Namun, gerakan masyarakat yang menuntut dilakukannya reformasi, terutama di bidang tata kelola pemerintahan, ekonomi dan keuangan, serta reformasi demokrasi, secara perlahan membuat kondisi Indonesia membaik. Berbagai produk legislasi dan regulasi dihasilkan untuk memulihkan perekonomian dan terutama citra pemerintah di mata internasional.
Baca juga : 20 Tahun Memori Kelam Krisis Moneter (2)
Krisis 2008
Pada tahun 2008, krisis kembali menghampiri Indonesia. Kali ini sumbernya adalah krisis subprime mortgage di AS yang merebak menjadi krisis keuangan global. Pertumbuhan ekonomi dunia turun menjadi 1,82 persen pada tahun tersebut dan turun lagi menjadi minus 1,7 persen pada tahun berikutnya. Dunia mengalami kepanikan akan terjadinya situasi depresi ekonomi seperti pada tahun 1930.
Indonesia juga terkena imbasnya melalui jalur perdagangan (ekspor-impor) dan keuangan. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 hanya mengalami sedikit penurunan dibandingkan pada tahun sebelumnya menjadi 6,01 persen dan turun lagi pada tahun 2009 menjadi 4,63 persen. Krisis ekonomi global periode ini lebih memengaruhi negara-negara maju ketimbang negara di Asia Tenggara dan Asia lainnya.
Indonesia lebih siap menghadapi krisis masa ini. Dengan mengadopsi rezim nilai tukar rupiah mengambang, pelaku bisnis telah terbiasa dengan fluktuasi kurs rupiah sehingga mengedepankan sikap kehati-hatian. Pun Indonesia terbantu oleh lonjakan harga komoditas.
Pemerintah juga mengambil kebijakan stimulus fiskal yang terukur untuk mempertahankan daya beli masyarakat dan daya tahan dunia usaha. Dari sisi pendapatan, ada sejumlah kebijakan untuk meringankan tarif pajak dan sebagainya. Sementara dari sisi belanja, ada penurunan harga bahan bakar minyak, kenaikan gaji aparatus sipil negara (ASN) dan TNI, juga sejumlah bantuan sosial, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Kebijakan ini terbukti dapat menjaga perekonomian tidak terlalu terpukul dan tidak pula mengakibatkan defisit anggaran yang melebihi ketentuan perundang-undangan.
Sektor perbankan relatif sehat dengan indikator yang terjaga. Meski demikian, pemerintah merasa cukup perlu mengeluarkan kebijakan menaikkan limit simpanan dana masyarakat yang dijamin pemerintah dari sebesar Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar sehingga kepercayaan terhadap perbankan tetap terjaga.
Situasi politik pun saat itu sudah lebih baik dengan berjalannya reformasi ekonomi dan politik. Demokrasi berjalan dengan lebih transparan dan berimbang. Kebijakan penyelamatan perekonomian diambil melalui proses di parlemen yang terbuka.
Pada periode 2010-2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin membaik dengan pencapaian di atas 6 persen per tahun. Nilai tukar rupiah menguat dan cadangan devisa meningkat.
Baca juga : Sinyal Waspada Anomali Pertumbuhan
Masih bergejolak
Setelah krisis keuangan global 2008, pada 2014 dunia kembali mengalami gejolak yang disebabkan oleh beberapa faktor yang juga berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Pertama, AS pada 2014 mulai mengurangi stimulus secara bertahap program quantitative easing-nya, yaitu program pembelian aset atau obligasi oleh bank sentral untuk menyuntik dana ke pasar keuangan. Langkah tersebut diambil karena kondisi ekonomi di AS sudah membaik. Namun, hal itu menyebabkan terjadinya pelarian dana (capital outflow) dari emerging market, termasuk Indonesia.
Kedua, China mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi ke level 7 persen setelah beberapa dekade sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi dua digit. Kondisi ini memengaruhi perekonomian global, termasuk Indonesia yang merupakan salah satu mitra dagang utama China.
Selain itu, di kawasan Timur Tengah juga terjadi ketegangan. Kombinasi semua faktor inilah yang memengaruhi gejolak ekonomi global dan Indonesia. Pada masa ini, harga minyak mentah dunia mengalami tren menurun. Pada saat yang bersamaan, kurs rupiah kembali melemah dari kisaran kurang dari Rp 9.000 per dollar AS pada 2011 menjadi Rp 13.300-an per dollar AS pada 2015.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2015 tersebut turun menjadi 4,79 persen. Dengan melemahnya nilai tular rupiah dan turunnya harga minyak mentah dunia, Indonesia dihadapkan pada masalah fiskal. Penerimaan negara mengalami tekanan, sementara beban belanja meningkat, salah satunya karena meningkatnya subsidi.
Dalam periode 2015-2016, ada dua kebijakan yang signifikan diambil pemerintah, yaitu reformasi subsidi dan pengampunan pajak (tax amnesty). Pada awal 2015, hampir seluruh subsidi BBM dihapus, dengan hanya menyisakan subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk BBM jenis diesel. Angka subsidi energi turun drastis sehingga pemerintah memiliki ruang fiskal yang luas dalam memanfaatkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur.
Program pengampunan pajak dijalankan pemerintah setelah penerimaan pajak mengalami tekanan. Tujuannya untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap perpajakan dan meningkatkan kepatuhan pajak. Hampir satu juta wajib pajak ikut dalam program amnesti pajak ini dengan total nilai deklarasi harta mencapai sekitar 35 persen dari PDB.
Tahun 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai meningkat dan stabil di kisaran 5 persen hingga sekarang. Namun, sulit mengungkit pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi mencapai 6-7 persen. Di saat dunia tengah bergerak memasuki era industri 4.0, pandemi Covid-19 datang menyeret perekonomian ke jurang resesi, termasuk Indonesia.
Ketepatan dan kehati-hatian dalam mengambil kebijakan mengatasi krisis menjadi kunci keberhasilan melewati badai krisis. Pengalaman bangsa ini membuktikan setiap krisis pasti berlalu. Namun, seberapa lama kita mampu keluar dari deraan krisis kali ini.
(LITBANG KOMPAS)