Pilkada Kepulauan Riau masih diramaikan dengan sosok lama. Daerah yang relatif lembam secara politik ini akan membuktikan strategi manakah dari para paslon yang paling efektif meraup suara pemilih.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Kepulauan Riau pada 9 Desember mendatang mencerminkan dinamika politik yang relatif lembam. Baik dari sisi sirkulasi elit politik yang bertarung maupun penguasaan partai politik, menunjukkan dominasi para pemain lama.
Setelah dominasi PDI-P dan Golkar sepanjang dekade pertama tahun 2000-an, kecenderungan partai nasionalis semakin mengental. Hal ini tecermin dari hasil pilkada tahun 2005 hingga 2010 yang didominasi oleh partai berhaluan sekuler/nasionalis, seperti PDI-P, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura.
Tidak hanya itu, komposisi DPRD Provinsi pun juga menunjukkan hal yang serupa, di mana 87 persen kursi parlemen daerah diduduki oleh partai sekuler/nasionalis.
Hal ini tak lepas dari komposisi penduduk di Kepri yang relatif heterogen di Pulau Batam, tetapi homogen di Pulau Bintan. Dua wilayah itu menjadi daerah dengan pemilih yang relatif padat. Wilayah Kota Batam merupakan daerah perkotaan yang merupakan melting pot berbagai suku bangsa di Indonesia. Pengaruh partai nasionalis seperti PDI-P cukup dominan bagi pemilih di daerah ini.
Sementara Pulau Bintan dan beberapa pulau kecil lainnya memiliki karakteristik penduduk yang lebih homogen, penduduk lokal kepulauan dengan karakteristik melayu kental. Di masa lalu, wilayah-wilayah ini merupakan daerah penguasaan Golkar.
Sebelumnya, posisi Golkar sempat sangat kuat dengan memenangkan pasangan calon yang diusung pada Pilkada 2005. Namun, pengaruh Golkar terus menurun, di mana pada Pilkada 2010, Golkar gagal memenangkan paslon Aida-Eddy yang mereka usung.
Keadaan bertambah parah pada Pilkada 2015, di mana perseteruan di antara elite Golkar di tingkat pusat membuat partai itu tidak dapat mencapai suara bulat untuk mengusung pasangan calon pada Pilkada 2015. Masuknya nama Ansar Ahmad sebagai kandidat dalam pilkada tahun ini memberi harapan bagi Partai Golkar kembali menguasai Kepri.
Dari segi kekuatan dukungan partai politik, tiga calon kepala daerah yang kini bertarung di Pilkada Kepri cenderung seimbang. Dalam hal ini, pasangan calon Ansar Ahmad-Marlin Agustina memiliki total dukungan 17 kursi atau 38 persen, relatif terbesar.
Dukungan bagi dua paslon lainnya tak terpaut jauh, yakni 15 kursi DPRD bagi Soerya Respationo-Iman Sutiawan dan 13 kursi DPRD bagi paslon Isdianto-Suryani. Beberapa nama, seperti Ansar Ahmad, Soerya Respationo, Isdianto, maupun Suryani, merupakan nama-nama yang sudah dikenal lama oleh pemilih Kepri.
Sosok lama
Memiliki keunggulan sebagai penjabat gubernur, pasangan calon Isdianto-Suryani sebenarnya bukan merupakan tokoh senior dalam politik daerah di Provinsi Kepri. Figur Isdianto lebih lama berkarier sebagai pegawai di beberapa dinas di provinsi tersebut.
Tentu, hal ini bisa menjadi salah satu kelemahan jika dibandingkan dengan rekam jejak politik para penantangnya yang telah berhasil menjadi wakil gubernur dan pemimpin daerah.
Tantangan bagi petahana pun bertambah ketika Isdianto mendapat musibah positif Covid-19. Pada awal April lalu, Isdianto beserta lima anggota stafnya terkena virus Covid-19.
Namun, berdasarkan dapil di tingkat kabupaten/kota, pasangan calon Isdianto-Suryani cenderung lebih diuntungkan. Isdianto memiliki modal dukungan yang cukup kuat di beberapa kabupaten/kota dengan suara besar karena masuk ke lingkaran Pemerintahan Provinsi bersama dengan mantan Gubernur Kepri Nurdin Basirun.
Sebelumnya, Isdianto pernah menjabat sebagai wakil gubernur mendampingi Nurdin Basirun dan akhirnya diangkat menjadi gubernur pada 2019. Sementara, Suryani merupakan salah satu anggota DPRD Provinsi Kepri yang terpilih pada Pileg 2019.
Posisi Isdanto juga diperkuat oleh hubungannya dengan Lembaga Adat Melayu (LAM). Hal ini terlihat dari pemberian gelar ”Datuk” yang diberikan oleh lembaga tersebut kepada Isdianto pada 2018. Di masa lalu, pemberian gelar ini memengaruhi arah pemilih Melayu di sejumlah pilkada.
Sementara itu, pasangan calon Ansar Ahmad-Marlin Agustina dan Soerya Respationo-Iman Sutiawan perlu berebut pengaruh di wilayah-wilayah basis dukungan mereka. Hal ini karena sebelumnya, Ansar dan Soerya merupakan pasangan calon pada Pilkada 2015.
Meski gagal menang dalam pilkada, pasangan calon tersebut sempat memenangi beberapa dapil, seperti Bintan dan Kepulauan Anambas. Wilayah-wilayah itulah yang nantinya menjadi medan sengit antara paslon Ansar-Marlin dan Soerya-Iman.
Latar belakang
Soerya Respationo bukan sosok yang asing bagi masyarakat Kepri. Sebagai kader PDI-P senior, namanya tak pernah absen dari surat suara di setiap pilkada yang pernah diadakan semenjak Kepri mekar menjadi provinsi pada 2002. Meski tak selalu menang, Soerya pernah sukses menjabat sebagai Wakil Gubernur periode 2010-2015, mendampingi Gubernur Kepri Muhammad Sani.
Faktor ketokohan Ansar Ahmad-Marlin Agustina juga tak dapat dianggap remeh. Selama ini, Ansar merupakan salah satu politisi senior di wilayah Kepri. Kiprahnya di dunia politik telah dimulai hampir semejak 20 tahun yang lalu di mana ia menjabat sebagai Wakil Bupati Kepri.
Karier politiknya terus melejit hingga ia menjadi Bupati Bintan selama dua periode. Selama menjabat, ia pun dianggap berhasil oleh masyarakat dalam membangun Bintan. Tak ayal, saat mencalonkan diri pada Pimilihan Legislatif 2019, ia pun menjadi calon dengan suara terbanyak.
Sementara, sosok Marlin juga cukup dikenal sebagai istri dari Wali Kota Batam yang cukup aktif mengikuti kegiatan sosial. Maka, figur ketokohan mereka berdua tentu tak bisa dianggap sebelah mata. Di antara para pemain lama itulah, pilkada gubernur Kepri akan berlangsung. Daerah yang relatif lembam secara politik ini akan membuktikan strategi manakah dari para paslon yang paling efektif meraup suara pemilih. (LITBANG KOMPAS)