Pilkada dan Kesejahteraan Rakyat
Hajatan pemilihan kepala daerah tidak selalu berjalan seiring dengan kesejahteraan rakyat. Hal ini merupakan masalah penting yang perlu menjadi perhatian bagi siapa saja yang nanti memenangi pilkada.
Dalam demokrasi, terkadang langkah politik yang ditapaki tidak selalu bermuara pada perwujudan cita-cita kesejahteraan yang diharapkan.
Suatu waktu pada dekade 1960-an, Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia, menggunakan sosok Mephistopheles sebagai perumpamaan untuk mengkritik Soekarno. Mephistopheles adalah sosok dalam hikayat Jerman yang berjanji memenuhi kesejahteraan Faust, sosok protagonis dalam cerita, dengan syarat mengorbankan jiwa yang dimiliki.
Jika Mephistopheles menganggap dirinya sebagai sosok yang selalu menghendaki keburukan untuk menghasilkan sesuatu yang baik, maka Hatta menilai Soekarno sebagai sosok kebalikannya.
Menurut Hatta, Soekarno merupakan sosok yang selalu memiliki tujuan baik, tetapi dengan langkah yang kerap menjauhkannya dari tujuan yang hendak dicapai. Kritik ini berkaitan dengan penerapan demokrasi terpimpin yang dinilai Hatta bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Pandangan Hatta tak pupus disapu zaman jika dikaitkan dengan demokrasi saat ini. Praktik demokrasi yang semula diharapkan bermuara pada kesejahteraan rakyat hingga kini belum seutuhnya terwujud.
Kondisi itu salah satunya terekam dalam jejak penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Selama 15 tahun terakhir, setiap penyelenggaraan pilkada selalu diiringi oleh asa terkait kesejahteraan. Dalam jangka pendek, pilkada diharapkan mampu mengerek ekonomi daerah. Dalam jangka panjang, pilkada diyakini dapat melahirkan pemimpin yang memahami persoalan daerah dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Walakin, harapan itu tidak selalu dicapai dengan praktik dan hasil yang sesuai. Dalam jangka pendek, tahap pemilihan kepala daerah dalam kondisi normal tidak selalu bermuara pada geliat perekonomian di daerah.
Indikasi itu terekam dalam pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit rumah tangga (LNPRT) seperti partai politik, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan selama periode pilkada. Dalam penyelenggaraan pilkada, LNPRT berkontribusi minim dalam pertumbuhan ekonomi daerah.
Praktik demokrasi yang semula diharapkan bermuara pada kesejahteraan rakyat hingga kini belum seutuhnya terwujud.
Kondisi ini salah satunya terlihat dalam pemilihan gubernur pada 2015. Pada satu sisi, pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit rumah tangga secara tahunan di triwulan yang sama dengan penyelenggaraan pilkada memang tumbuh cukup signifikan. Kenaikan ini disebabkan adanya aktivitas kampanye sehingga belanja partai politik dan organisasi massa meningkat signifikan.
Beberapa provinsi mencatat, laju pertumbuhan tahunan pengeluaran konsumsi LNPRT yang cukup tinggi pada triwulan IV-2015. Provinsi Kepulauan Riau, misalnya, mencetak pertumbuhan hingga 37,46 persen atau jauh meningkat dibandingkan tahun sebelumnya (3,85 persen). Pertumbuhan hingga di atas 10 persen juga dicatatkan oleh daerah penyelenggara pemilihan gubernur lainnya, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Pengaruh kecil
Kendati demikian, pertumbuhan ini tidak serta-merta dapat dipahami sebagai geliat ekonomi dengan daya papar yang luas. Penyebabnya, dampak ekonomi penyelenggaraan pilkada tidak dirasakan secara merata oleh setiap lapisan masyarakat. Hal ini terlihat dari kecilnya kontribusi yang dihasilkan terhadap perekonomian daerah.
Pada Provinsi Kalimantan Tengah, misalnya, pengeluaran konsumsi LNPRT hanya menyumbang 1,34 persen terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) secara kumulatif. Kontribusi itu jauh lebih rendah dibandingkan ekspor (42,90 persen) dan pengeluaran konsumsi pemerintah (15,74 persen).
Baca juga : Membenahi Perekrutan Kepala Daerah
Kondisi serupa dicatatkan Provinsi Kepulauan Riau. Meskipun laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi LNPRT mencapai 37,46 persen, sumbangan terhadap PDRB secara kumulatif hanya 0,24 persen. Kontribusi yang diberikan juga lebih rendah dari konsumsi rumah tangga (36,50 persen) dan konsumsi pemerintah (6,09 persen).
Dengan perhitungan ini, asumsi bahwa Pilkada 2020 yang diselenggarakan di tengah pandemi akan mendongkrak geliat ekonomi sulit diwujudkan.
Sementara dalam jangka panjang, pemilihan kepala daerah juga selalu bermuara pada harapan kesejahteraan rakyat. Namun, kondisi itu juga belum sepenuhnya terekam dalam indeks pembangunan manusia (IPM) yang turut memotret daya jangkau penduduk terhadap hasil pembangunan, seperti pada bidang pendidikan dan kesehatan.
Catatan khusus perlu diberikan kepada Provinsi Kepulauan Riau yang tahun ini kembali melakukan pemilihan gubernur. Pada satu sisi, Kepulauan Riau memiliki IPM tertinggi keempat di Indonesia pada 2019. Namun, laju kenaikan IPM Kepulauan Riau terendah bersama Provinsi Riau dalam kurun 10 tahun terakhir.
Baca juga : Kartelisasi Oligarkis
Catatan lainnya perlu diarahkan pada Provinsi Sulawesi Tengah yang tahun ini juga menyelenggarakan pemilihan gubernur. Sulawesi Tengah menjadi provinsi ketiga di Indonesia dengan laju kenaikan IPM tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Sayangnya, dalam kurun waktu itu pula, IPM di wilayah ini selalu berada di level angka 60 atau berada di bawah rata-rata IPM nasional pada 2019 (71,92).
Lambannya peningkatan kesejahteraan masyarakat ini menjadi perhatian Kementerian Dalam Negeri. Bahkan, wacana pilkada asimetris sempat mencuat, khususnya bagi wilayah-wilayah dengan capaian IPM rendah. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi setiap kepala daerah untuk meyakinkan bahwa demokrasi seharusnya bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Kebebasan sipil
Tantangan kesejahteraan rakyat pada daerah yang menyelenggarakan pilkada tahun ini senada dengan tantangan perbaikan pada aspek kebebasan sipil. Jika pilkada merupakan tahap demokrasi yang bermuara pada terjaminnya hak kebebasan masyarakat sipil, beberapa daerah masih berhadapan dengan realitas sebaliknya.
Kebebasan sipil menjadi bagian untuk melihat kesejahteraan sosial di satu wilayah. Dalam indeks demokrasi yang dirilis Badan Pusat Statistik setiap tahun, aspek kebebasan sipil mencakup beberapa hal, seperti kebebasan berkeyakinan, berpendapat, berserikat, dan bebas dari diskriminasi.
Kebebasan sipil menjadi bagian untuk melihat kesejahteraan sosial di suatu wilayah.
Dalam satu dekade terakhir, beberapa wilayah di Indonesia justru mengalami penurunan indeks demokrasi dari aspek kebebasan sipil. Di Sumatera Barat, misalnya, indeks kebebasan sipil pada 2019 hanya 56,58 atau turun dibandingkan satu dekade lalu (58,34). Kondisi yang sama terjadi di Jambi, Bengkulu, dan Kalimantan Tengah.
Catatan kondisi di setiap daerah selama satu dekade terakhir menjadi lampu kuning bagi setiap calon kepala daerah terpilih. Demokrasi tentu tak dapat berjalan ibarat kisah Mephistopheles dalam hikayat Goethe’s Faust ataupun sebaliknya. Lebih dari itu, tujuan yang baik tentang kesejahteraan rakyat perlu dicapai dengan cara yang tepat sesuai karakteristik setiap wilayah. Itulah hakikat paling mendasar dari penyelenggaraan pilkada. (LITBANG KOMPAS)