Belajar Menghadapi Krisis dari Yogyakarta
Warga di kawasan Yogyakarta menginisiasi aksi berbagi dengan menggantungkan bahan pokok atau sayur di tempat tertentu. Bahan makanan ini dapat diambil oleh warga yang membutuhkannya.
Upaya menekan angka penularan Covid-19 terus dilakukan di tengah penambahan kasus harian yang masih tinggi. Salah satunya bisa dilihat pada cara masyarakat Yogyakarta bertahan dari krisis ke krisis.
Sebulan berada di perdesaan Yogyakarta, pandemi Covid-19 terasa sebatas angka-angka. Covid-19 mewujud dalam bentuk data penambahan kasus, berita perkembangan penemuan vaksin, atau kampanye untuk menekan penularan. Covid-19 tidak hadir dalam kegiatan sehari-hari petani yang tetap menanam padi dan anak-anak yang bebas bermain layangan.
Keadaan ini bukan berarti risiko penularan diabaikan. Masyarakat desa tetap mewaspadai penularan Covid-19 dan menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama. Hanya saja, penerapan protokol kesehatan muncul dalam pengoperasian yang khas. Dosen Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada, Pujo Semedi, menyebut warga desa sudah tanggap terhadap wabah, bahkan sebelum ada perintah pembatasan sosial dari pemerintah.
Kekhawatiran diartikulasikan dengan pembatasan ketat mobilitas orang yang masuk desa. Warga desa merepresentasikan wabah dalam wujud ”orang asing”. Dengan pandangan ini, wabah dapat dihindari dengan menutup akses bagi orang luar.
Masyarakat desa tetap mewaspadai penularan Covid-19 dan menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama.
Pengamatan tersebut merupakan hasil penelitian etnografi swadiri di Dusun Tlogo Indro, Lengger, dan Sarjonoharjo, di Yogyakarta. Pengetatan keamanan di desa dari masuknya orang asing juga dilakukan lewat isu ancaman pencuri sehingga ronda diadakan siang dan malam. Telaah ini disampaikan Pujo dalam Webinar V ”Etnografi dan Pandemi: Covid-19” yang dilaksanakan Bappenas, 17 Mei 2020.
Gerak cepat penanganan wabah terpotret pula di Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, bahkan sebelum ada instruksi dari pemerintah pusat. Tiga belas hari sejak kasus positif pertama diumumkan di Indonesia, pemerintah desa di wilayah ini membentuk gugus tugas untuk menangani dampak penyebaran penyakit Covid-19. Mereka membuat aplikasi daring untuk pelaporan kondisi kesehatan warga dan menyediakan formulir bagi warga yang ingin memberikan dukungan uang atau barang. Desa juga membuat situs pasardesa.id, yakni pasar daring yang menjual barang-barang dari sejumlah toko dan warung yang mengalami penurunan penghasilan selama pandemi (Kompas, 12/7/2020).
Pandemi Covid-19 yang berdampak pada kondisi ekonomi warga direspons dengan mekanisme penguatan gotong royong. Kompas mencatat, sejak April, warga di perdesaan Yogyakarta menginisiasi aksi berbagi dengan menggantungkan bahan pokok atau sayur di tempat tertentu. Bahan makanan ini dapat diambil warga yang membutuhkannya. Gotong royong tersebut disebut canthelan. Solidaritas canthelan dilakukan, antara lain, di Dusun Rejodani, Rajek Lor, dan Ngepringan di Kabupaten Sleman.
Citra Kurnia (27), warga Dusun Ngepringan, Desa Sendangrejo, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, menceritakan, canthelan muncul sejak April. Warga sukarela meletakkan bahan pokok di tempat yang disediakan. Hal ini efektif membantu pemenuhan kebutuhan makan harian warga yang kehilangan pekerjaan atau pendapatannya berkurang. ”Hidup di desa tak sebergantung itu, ya, sama uang. Kalau untuk makan pun bisa dicukupi dengan memanfaatkan hasil pekarangan. Dengan canthelan, kebutuhan lauk bisa dicukupi,” ujarnya saat ditemui Kompas pada Sabtu (26/9/2020).
Baca juga : ”Canthelan” Bahan Pokok yang Menguatkan dan Merekatkan
Penguatan gerakan gotong royong terlihat pula melalui aksi Sambatan Jogja (Sanjo). Aksi ini bentuk gotong royong berbasis daring yang diinisiasi Rimawan Pradiptyo. Sanjo memanfaatkan grup Whatsapp sebagai media untuk menciptakan pasar pangan virtual dalam rangka mengatasi problem jual-beli pangan yang tersendat akibat kebijakan bekerja di rumah. Anggotanya meliputi warga dan pengusaha UMKM. Per Mei 2020, ada 726 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), 37 swalayan dan toko daring, serta 216 pasar dan taman kuliner yang bergabung (Kompas, 20/9/2020).
Selamat dari krisis
Dalam wacana krisis ekonomi, masyarakat perdesaan terbukti berhasil melampaui masa-masa sulit. Ben White dalam ”Pengalaman Tiga Resesi: Yogyakarta Masa 1930-an, 1960-an, dan 1990-an” (Dari Krisis ke Krisis Masyarakat Indonesia Menghadapi Resesi Ekonomi Selama Abad 20, 2016) dengan baik menceritakan keadaan penduduk yang selalu bisa bertahan di masa sulit.
Kala Great Depression pada 1930-an, petani dan buruh di Yogyakarta bertahan meski terpukul beban ganda. Di bawah kerajaan, petani pemilik dan buruh dipungut pajak kepala 10 persen dari panen rata-rata tahunan di luar pajak tanah. Kewajiban itu semakin berat karena hilangnya kesempatan untuk bekerja.
Sebagai gambaran, wilayah tebu merosot dari 17.000 hektar menjadi 11.000 hektar yang berdampak pada penurunan upah dan pengurangan lapangan kerja. Bagi rumah tangga yang bergantung pada tanaman pekarangan, penghasilan juga berkurang karena merosotnya permintaan kelapa, ubi, dan jagung. Meski begitu, kelas ini bisa bertahan. Gubernur Yogyakarta Johannes Bijleveld menyebut bertahannya masyarakat Yogyakarta dari krisis sebagai daya adaptasi yang luar biasa.
Kala Great Depression pada 1930-an, petani dan buruh di Yogyakarta bertahan meski terpukul beban ganda.
Dekade 1960-an, selama tujuh tahun berturut-turut, inflasi mencapai 100 persen hingga puncaknya pada 1966 menyentuh 900 persen. Penghasil pangan menghadapi masalah berat akibat kemarau panjang yang disebabkan oleh El Nino dan serangan hama. Busung lapar terjadi di mana-mana. Orang desa datang ke kota untuk menjadi pengemis atau buruh kasar agar bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Desa menjadi garda depan yang dapat diperkuat melalui krisis. Upaya menguatkan solidaritas di masa krisis menjadi penting, mengingat ekonomi Yogyakarta sebetulnya berada dalam resesi. Di level makro, perekonomian Yogyakarta tumbuh negatif sejak triwulan I dan II. Pada triwulan III, pertumbuhan berpotensi kembali berkontraksi jika mengacu proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang minus 1 hingga minus 2,9 persen.
Perekonomian Yogyakarta yang diukur dari produk domestik regional bruto (PDRB) tumbuh negatif sejak triwulan I-2020. Pada triwulan I-2020, tercatat PDRB Rp 25,42 triliun atas dasar harga konstan mengalami kontraksi dari tahun sebelumnya (year on year) sebesar 0,17 persen.
Sementara PDRB pada triwulan II-2020 sebesar Rp 23,73 triliun atas dasar harga konstan, mengalami kontraksi 6,74 persen (year on year). Dengan kontraksi sedalam itu, DIY menempati urutan keempat sebagai provinsi dengan kontraksi ekonomi terdalam. Lebih dalam dari kontraksi nasional 5,32 persen.
Badan Pusat Statistik mencatat, tiga kategori lapangan usaha yang tumbuh paling negatif pada triwulan I-2020 (year on year) adalah sektor konstruksi (minus 9,75 persen); pertanian, kehutanan, dan perikanan (minus 8,92 persen); serta jasa perusahaan (minus 7,48 persen). Penurunan dipicu curah hujan yang tak menentu dan mundurnya musim tanam padi sehingga panen raya belum terjadi. Sebagian besar kegiatan konstruksi yang bersumber dari APBN atau APBD juga masih dalam proses perencanaan.
Pada triwulan II-2020 (year on year), tiga kategori lapangan usaha yang paling tumbuh negatif adalah sektor jasa lainnya (minus 42,75 persen), akomodasi dan makan minum (minus 39,34 persen), serta transportasi (minus 34,30 persen).
Tiga sektor yang mengalami kontraksi paling dalam merupakan sektor yang ikut ditopang kegiatan pariwisata. Setidaknya Yogyakarta kehilangan 8.000-12.000 kunjungan per bulan dari wisatawan mancanegara (wisman). Jumlah kunjungan nyaris nol pada triwulan II. Hanya tujuh wisman yang berkunjung pada Juni 2020. Secara kumulatif, ada penurunan 69,87 persen kunjungan di semester I-2020 dibandingkan dengan semester I-2019.
Baca juga: Lorong Sayur Penyejuk Jantung Kota
Yogyakarta juga kehilangan potensi ekonomi dari kunjungan wisatawan Nusantara. Berdasarkan data Statistik Wisatawan Nusantara 2018, Yogyakarta menerima 1 juta hingga 1,3 juta wisatawan Nusantara (wisnus) per bulan dengan hampir 70 persen di antaranya hendak berlibur. Perlambatan bisnis wisata yang berdampak pada banyak sektor akhirnya menghambat roda perekonomian di Yogyakarta.
Krisis kali ini berbeda dengan sebelumnya. Tidak hanya terjadi di lingkup nasional ataupun Asia, tetapi juga seluruh dunia. Terus mencoba mencari jalan untuk bertahan merupakan keniscayaan.
(Litbang Kompas)