Memaksimalkan kampanye daring di pilkada tahun 2020 ini bisa menjadi awal yang baik untuk menuju digitalisasi proses pemungutan suara di pemilu.
Oleh
Susanti Agustina S
·5 menit baca
Di tengah masih tingginya kasus Covid-19 hingga September 2020, pemerintah tetap menjalankan agenda pilkada yang hari-H pada 9 Desember 2020. Penolakan sejumlah kalangan terhadap pilkada di tengah pandemi Covid-19 tak membuat pemerintah untuk menunda keputusannya terkait pilkada. Isu penundaan pilkada pun tak luput dari kicauan warganet.
Percakapan menggunakan tagar penolakan yang diikuti pro dan antisipasi pelaksanaan pilkada meramaikan media sosial seperti Twitter. Bahkan, Google Trends mencatat penelusuran terkait pilkada meningkat drastis. Kemampuan menyelenggarakan tahapan pilkada secara daring dipertanyakan karena Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13/2020 yang baru tetap memperbolehkan kampanye dengan pertemuan tatap muka.
Pemerintah, DPR, dan lembaga penyelenggara pemilu telah menyepakati Pilkada Serentak 2020 tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Kesepakatan itu muncul dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sementara Komite I DPD RI menolak Pilkada Serentak Desember 2020 yang dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Ada beberapa alasan penolakan ini, di antaranya kasus positif Covid-19 cenderung meningkat. Penolakan juga datang dari PBNU dan PP Muhammadiyah. Kedua ormas ini mengimbau KPU untuk segera membahas secara khusus dengan kementerian dalam negeri, DPR, dan instansi terkait agar pelaksanaan Pilkada 2020 dapat ditinjau kembali jadwal pelaksanaannya maupun aturan kampanye yang melibatkan kerumunan massa.
Namun, Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, KPU, Bawaslu, dan DKPP sepakat Pilkada Serentak 2020 tetap berlangsung pada 9 Desember 2020. Pilkada Serentak 2020 dijanjikan akan dilakukan dengan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan virus korona baru atau Covid-19.
KPU kemudian membuat PKPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19 pada 23 September 2020 dan otomatis mengubah PKPU 6/2020 jo PKPU 10/2020. Meski mencantumkan sejumlah larangan, PKPU tersebut belum tegas dalam menindak pelanggaran, terutama untuk protokol kesehatan. PKPU No.13/2020 juga belum mengatur tentang perubahan cara mencoblos. PKPU hanya mendorong calon untuk berkampanye secara daring.
Media sosial
Perhatian publik terhadap penyelenggaraan pilkada ini sangat tinggi. Hal ini terekam dari ramainya jagat sosial media terkait isu pilkada ini. Sejak 16-23 September 2020, Google Trends mencatat penelusuran informasi dengan kata kunci ”cek dps pilkada 2020”, ”pilkada serentak 2020 ditunda”, ”pengumuman dps pilkada 2020”, ”pilkada ditunda desember 2020”, ”penundaan pilkada desember 2020”, ”lindungihakpilihmu kpu go id”, ”pilkada 2020 ditunda”, ”pilkada ditunda”, dan ”penundaan pilkada 2020”. Dari sejumlah isu ini terlihat topik pilkada mengalami peningkatan sangat tinggi.
Drone Emprit menghitung, sejak 21 September terdapat total 112.000 percakapan terkait pilkada ini, terbanyak di Twitter (101.000), berita online (10.000), dan Instagram (354). Puncak percakapan terjadi ketika DPR dan Presiden Joko Widodo setuju melanjutkan pilkada serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19.
Trending topic di Twitter bahkan ramai dengan berbagai tagar penolakan terhadap pilkada. Tagar #PilkadaBencanaSerentak, #PilkadaAtauPembunuhan, #TundaPilkadaSerentak, #PilkadaRasaCovid, #TundaPilkada, #TundaAtauTurun meramaikan trending topic sejak 13 September hingga 24 September.
Kemampuan penyelenggara pilkada menerapkan protokol kesehatan dipertanyakan terutama karena kampanye ternyata masih diperbolehkan dengan batasan jumlah orang. Selain kampanye, pencoblosan yang juga tatap muka juga dinilai sangat berpotensi menghadirkan klaster baru Covid-19. Warganet menilai, selama masih belum mampu menerapkan pilkada secara daring di masa pandemi sehingga akan lebih baik jika pilkada ditunda.
Tagar penolakan terlihat mendapatkan perlawanan. Tagar-tagar #PilkadaPatuhProkes, #PerketatProkesPilkada, #TaatProkesSaatPilkada, #TindakKerumunanPilkada, #TindakPawaiPilkada, #PilkadaTaatProkes, #PilkadaLanjutProtokolKetat, #MaklumatKapolriTaatProkes, #SukseskanPilkadaAmanCovid muncul, baik didorong oleh aparat Kepolisian, influencer dan buzzer pro penyelenggaraan pilkada, maupun publik.
Optimisme penyelenggaraan Pilkada 2020 dibangun. Aparat Kepolisian juga mengingatkan adanya kerawanan baru selama pilkada sehingga mengajak masyarakat untuk melapor jika ada pelanggaran terkait aturan penyelanggaraan pilkada di masa pandemi.
Kampanye daring
Pada akhirnya, pandemi memaksa penyelenggaraan pilkada mengoptimalkan penggunaan media daring terlebih di masa kampanye. Sejak Maret, aksi kampanye daring lewat media sosial dari bakal calon yang akan bertanding di Pilkada 2020 sebenarnya sudah mulai dilakukan. Peningkatan kasus Covid-19 kian memaksa para calon pemimpin daerah yang akan berlaga di Pilkada 2020 meraih hati konstituen lewat kampanye daring.
Kampanye daring membutuhkan setidaknya ketersediaan jaringan internet, serta kemampuan untuk tampil secara virtual di media massa ataupun hadir dalam bentuk teks, foto maupun siaran langsung dan rekaman di berbagai platform media sosial. Mekanisme kampanye daring dimaksudkan untuk mencegah pertemuan banyak orang yang biasanya terjadi setiap kampanye pilkada.
Sejak Maret 2020, kampanye daring sudah dimulai oleh para bakal calon yang akan berkompetisi di pilkada. Di tengah-tengah mewabahnya Covid-19, kampanye bakal calon kepala daerah yang akan berlaga di Pilkada 2020 sudah bertebaran di jagat twitter. Masing-masing berupaya mengenalkan dirinya serta merebut suara dengan melakukan komunikasi lewat media sosial.
Kampanye secara daring mengubah strategi pemenangan pilkada. Pola peningkatan elektabilitas kandidat dipaksa berubah. Selama ini, strategi kampanye konvensional dilakukan dengan pendekatan dunia nyata dan dunia maya, lapangan dan media, juru kampanye dan buzzer. Optimalisasi kampanye secara daring kian memaksa para kandidat bertatap muka secara daring dengan aplikasi tatap muka daring dan berbagai platform siaran langsung maupun rekaman yang dimiliki media sosial.
Meski PKPU Nomor 13 Tahun 2020 telah mendorong calon untuk kampanye daring, ternyata masih dimungkinkan pertemuan terbatas dengan jumlah peserta 50 orang. Membuka peluang pertemuan tatap muka meski mengurangi maksimal jumlah peserta di saat pandemi menunjukkan ketidaksiapan mengupayakan pilkada yang aman dan sehat bagi warga. Seharusnya penyelenggaraan pilkada menghapus peluang lahirnya kerumunan jika menghendaki tidak ada korban akibat penularan Covid-19. Ketika keputusan kampanye virtual diberlakukan, maka semua harus beralih berkampanye lewat model daring tanpa membedakan lagi kondisi geografis dan sosiologis konstituen.
Keputusan tetap melaksanakan pilkada di tengah pandemi memaksa penyelenggara memberikan jaminan, bukan saja aman dari paksaan siapapun, namun juga aman dari ancaman Covid-19. Dilema antara pentingnya berpartisipasi di pilkada dan pentingnya menghindari potensi penularan Covid-19 pada akhirnya membuka wacana soal perlunya pemilihan secara daring di pemilu ataupun pilkada. Boleh jadi, untuk saat ini masih jauh wacana tersebut terealisasi. Namun, memaksimalkan kampanye daring di pilkada tahun ini bisa menjadi awal yang baik untuk menuju digitalisasi proses pemungutan suara di pemilu. Semoga!