Tuntutan Perubahan Wajah Kota akibat Pandemi
Perencanaan kota kini harus mempertimbangkan aspek kota sehat dan tangguh yang berkelanjutan. Desain kota juga perlu memperhitungkan perubahan perilaku masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 akan mengubah perencanaan serta wajah ruang kota. Kota harus sehat dan tangguh menghadapi krisis. Wajah ruang kota pun akan berubah menjadi lebih kompak, multifungsi, serta mendukung peningkatan aktivitas di ruang terbuka.
Upaya mempersiapkan kota supaya bisa beradaptasi dengan pandemi yang tak jelas kapan akan berakhir merupakan pekerjaan rumah yang besar. Selama ini, kota belum menyiapkan diri dari bencana akibat pandemi.
Ruang kota harus berubah mengikuti pergeseran perilaku masyarakat kota di tengah pandemi. Dengan berkurangnya mobilitas, muncul tuntutan ruang yang lebih kompak dan multifungsi. Selain itu, masyarakat membutuhkan lebih banyak ruang terbuka serta ruang publik.
Kota sehat
Kota sehat yang tangguh terhadap krisis, menurut paparan ”Post Covid-19: Tinjauan Keruangan Kawasan Perkotaan” (Pangarso, 2020), menjadi salah satu adaptasi perubahan kawasan saat pandemi. Sejumlah intervensi diperlukan, antara lain penanganan kawasan kumuh perkotaan, pelayanan kesehatan yang efektif, penerapan protokol kesehatan, serta strategi adaptasi bencana akibat pandemi.
Isu pembangunan kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, serta berkelanjutan menjadi salah satu target dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sasarannya, kota harus bisa menyediakan tempat tinggal yang layak, aman, dan terjangkau, dan mengurangi jumlah orang yang terkena dampak bencana.
Merujuk pada hal itu, kota sehat yang tangguh terhadap krisis, menurut UN Habitat (2020), adalah sistem perkotaan yang mampu mempertahankan perlindungan yang memadai bagi penduduk, ekonomi, dan lingkungannya.
Di Indonesia, sebutan kota sehat dan kota tangguh dipisahkan. Kota sehat, menurut Kementerian Kesehatan, merupakan kondisi kota yang bersih, nyaman, aman, dan sehat untuk dihuni. Hal tersebut dicapai melalui penerapan permukiman dan sarana prasarana sehat, pelayanan transportasi sehat, industri dan perkantoran sehat, kehidupan masyarakat sehat dan mandiri, ketahanan pangan dan gizi, serta kehidupan sosial yang sehat.
Namun, selama ini perencanaan kota masih menitikberatkan aspek fisik dan spasial. Padahal, masalah perkotaan, seperti kondisi perumahan dan sanitasi yang buruk, kemiskinan, polusi, banjir, serta kurangnya akses terhadap pekerjaan berdampak pada kesehatan lingkungan.
Dalam SNI Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan (BSN, 2004) sudah diatur persyaratan fisik rumah layak dan sehat. Kenyataannya, hal itu cenderung diabaikan.
Kota tangguh
Sebuah kota juga diharapkan menjadi kota tangguh (resilient city). Badan Nasional Penanggulangan Bencana mendefinisikan kota tangguh sebagai kota yang mampu menahan, menyerap, beradaptasi dengan, dan memulihkan diri dari dampak bencana secara tepat waktu serta efisien sambil mempertahankan struktur dan fungsi dasarnya. Kota yang tangguh mampu menahan guncangan dan tekanan ancaman bencana alam serta ancaman terkait dengan iklim.
Ketangguhan yang dimaksud bukan hanya berkaitan dengan bencana alam, melainkan juga terkait dengan Ketangguhan Sistem Kesehatan. International Health Regulation (2005) mengatur peningkatan kapasitas untuk pencegahan, pendeteksian, tindakan, serta pintu masuk dan bahaya lain, seperti bahan kimia berbahaya serta radiasi.
Poin penting dalam merencanakan ketangguhan kota saat pandemi adalah menyiapkan tempat yang efektif dan efisien untuk pemeriksaan serta tempat yang memenuhi standar sebagai fasilitas ruang isolasi penderita. Ketika krisis, kota juga harus disiapkan dengan rencana sistem karantina (lockdown) yang tepat. Jalur keluar/masuk kendaraan umum serta pribadi, terutama dari simpul-simpul pergerakan besar, dapat diidentifikasi.
Kota yang tangguh mampu menahan guncangan dan tekanan ancaman bencana alam serta ancaman terkait dengan iklim.
UN Habitat dalam paparan ”Healthy Pandemic Resilient City: Shelter Covid-19 Support-2020” menyebutkan tiga strategi perencanaan kota untuk bertahan dari pandemi. Pertama, pencegahan pandemi. UN Habitat merekomendasikan untuk memperhatikan peraturan zonasi, penanganan kawasan kumuh kota, dan perencanaan inklusif.
Tahap selanjutnya adalah melindungi warga, seperti menyediakan transportasi aman dari paparan virus serta menyediakan akses air bersih. Hal terakhir meliputi upaya mempersiapkan dan beradaptasi dengan fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, tempat karantina, dan tempat pemulihan.
Kawasan kumuh
Salah satu hal yang menjadi permasalahan kota sejak sebelum pandemi hingga sekarang adalah keberadaan kawasan kumuh. Permukiman kumuh, menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, memiliki sejumlah indikator. Indikator itu meliputi ketidakteraturan dimensi, orientasi, dan bentuk bangunan gedung; lebar jalan lingkungan yang tak memadai; ketidaktersediaan akses air minum dan drainase lingkungan. Selain itu, ada aspek ketidaktersediaan sistem pengelolaan air limbah, persampahan, pengamanan kebakaran, serta ketiadaan lahan untuk ruang terbuka hijau.
Hingga 2018, menurut Kementerian PUPR, luas permukiman kumuh mencapai 23.407 hektar. Angka ini menurun dibandingkan dengan 2014 yang mencapai 38.431 hektar. Kementerian PUPR menyebutkan, penurunan bisa tercapai melalui Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) yang dimulai tahun 2015.
Program Kotaku menata kawasan permukiman kumuh melalui penyediaan infrastruktur air minum, sanitasi, dan perbaikan wajah kawasan. Penanganan kawasan kumuh harus tetap diperhatikan mengingat kawasan ini berpotensi menjadi daerah endemi penyakit menular.
Hal ini dapat dilihat pada sejumlah kelurahan di Jakarta yang masuk pada zona wilayah pengendalian ketat Covid-19. Di Kelurahan Pademangan Barat, misalnya, jumlah kasus Covid-19 per 20 September tercatat 580 kasus (tertinggi). Kelurahan ini memiliki empat RW kumuh. Selain itu, Kelurahan Penjaringan dengan 348 kasus (peringkat kelima). Di kelurahan ini ada tujuh RW kumuh.
Baca juga : Kota Sehat Bukan Mimpi, asal…
Kota sehat dan tangguh belum cukup. Wajah kota juga harus berubah seiring dengan pergeseran perilaku terkait ruang selama pandemi. Seiring penerapan adaptasi kebiasaan baru awal Juni, banyak warga memilih beraktivitas di ruang terbuka, seperti taman dan obyek wisata alam.
Aktivitas di ruang terbuka dipilih untuk mengurangi potensi penularan Covid-19. Perencana kota, menurut ”Post Covid-19: Tinjauan Keruangan Kawasan Perkotaan”, harus menyiapkan desain baru ruang publik yang memperhitungkan faktor menjaga jarak fisik, mengatur jalur pedestrian, dan menyediakan jalur sepeda.
Sejumlah taman di luar negeri telah menerapkan aturan menjaga jarak. Caranya, dibuat tanda lingkaran-lingkaran putih berdiameter sekitar 2,5 meter untuk satu kelompok masyarakat yang menikmati taman. Jarak antarlingkaran sekitar 2 meter. Tanda ini memberi batasan kepada warga untuk saling menjaga jarak sembari menikmati ruang terbuka hijau.
Ruang kompak
Penerapan fungsi lahan campuran, atau ruang kompak, juga bisa menjadi alternatif perencanaan kota. Tujuannya, mengurangi mobilitas penduduk yang menjadi salah satu penyebab penularan. Kota yang kompak, menurut Burton (2000), menekankan kepadatan, fungsi campuran, serta intensifikasi.
Namun, konsep kota kompak ini tak serta-merta bisa diterapkan di Indonesia. Penelitian ”Konsep Compact City terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan” (Gede, 2016) menyebutkan, ada sisi negatif kota kompak, antara lain persoalan kenaikan kepadatan penduduk yang jika tak dikelola akan memicu terbentuknya permukiman tidak layak.
Baca juga : Kota Sehat
Hal lain terkait dengan pertimbangan besaran dan akses kota yang membuat sentralisasi kota menguat. Penduduk akan cenderung berkumpul di pusat kota. Selanjutnya, dikhawatirkan kemacetan tetap terjadi jika di sekitar kawasan fungsi campuran tersebut tak disediakan akses transportasi umum.
Pandemi telah mengubah wajah kota. Kondisi ruang kota yang terbatas membuat kita harus menyesuaikan dan beradaptasi dengan situasi pandemi. Perencanaannya harus mempertimbangkan aspek kota sehat dan tangguh yang berkelanjutan serta perubahan perilaku keruangan masyarakat.
(LITBANG KOMPAS)