Antara Persaingan dan Konflik di Pilkada Kota Makassar
Di tengah polemik penundaan karena pandemi Covid-19, tahapan Pilkada Makassar diikuti empat calon pasangan wali kota dan wakil wali kota yang siap bersaing ketat karena memiliki peta dukungan parpol yang berimbang.
Pemilihan wali kota Makassar pada 2018 silam sarat dengan konflik dengan hasil kemenangan bagi kotak suara kosong. Kali ini kontestasi akan panas dengan empat pasangan calon yang bersaing.
Persaingan sengit akan terjadi di antara keempat pasangan calon di pemilihan kepala daerah atau wali kota Makasar. Masing-masing calon mendapat dukungan dari partai besar yang berkoalisi. Belum lagi, kesempatan kali ini mempertemukan persaingan duel ulang di antara dua calon wali kota yang pernah bersaing di pemilihan wali kota sebelumnya.
Dimulai dari pasangan calon Munafri Arifuddin (Appi) dan Abdul Rahman Bando (Rahman) yang didukung oleh Partai Demokrat, PPP, PSI, dan Perindo. Perjalanan Appi untuk menjadi wali kota Makassar kali ini tidaklah semudah ketika Pilkada 2018 lalu.
Kala itu, ia hanya bersaing dengan pasangan calon Mohammad Ramdhan Pomanto (petahana) dan Indira Mulyasari Paramastuti Ilham yang akhirnya tidak ikut karena didiskualifikasi. Appi yang kala itu berpasangan dengan Andi Rahmatika Dewi tetap melenggang sebagai pasangan pemenang Pilkada 2018 meski kalah dalam jumlah perolehan suara melawan kotak suara kosong.
Di ajang kali ini, paslon Appi-Rahman harus bekerja keras karena barisan partai politik yang mendukung tidak sebanyak ketika di Pilkada 2018 lalu. Selain itu, isu mengenai perseteruan dengan CEO PolMark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, terkait hasil survei tentu dapat terdengar publik dan memengaruhi elektabilitas mereka. Meski demikian, popularitas dari Appi yang masih ada kekerabatan dengan mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla dapat menjadi modal sosial yang patut diperhitungkan.
Bisa jadi, penantang terberat Appi ialah pasangan calon Mohammad Ramdhan Pomanto (Danny) dan Fatmawati Rusdi (Fatma) yang didukung oleh Partai Nasdem, PBB, Partai Gerindra, dan Partai Gelora. Bagi masyarakat Kota Makassar, sosok Pomanto tidak asing karena pernah menjabat sebagai Wali Kota Makassar periode 2014-2019. Dalam kurun lima tahun itu, pencapaian Pomanto terbilang gemilang karena berhasil membawa 178 penghargaan bagi Kota Makassar.
Kegagalan Pomanto untuk turut berkompetisi di Pilkada 2018 yang sarat kontroversi tersebut tentu menjadi motivasi tersendiri untuk memenangi pemilihan wali kota kali ini. Mirip dengan Pilkada 2018, pencalonan Pomanto kali ini juga didampingi oleh satu-satunya calon kepala daerah perempuan. Jika dulu calon wali kota diisi Andi Rahmatika Dewi, kini giliran Fatma yang juga pernah menjabat sebagai anggota DPR-RI 2014-2019 dari PPP.
Di belakang Pomanto, kehadiran Partai Nasdem menjadi modal kuat dalam meraih dukungan masyarakat. Dalam Pileg DPRD Kota Makassar 2019 lalu, Partai Nasdem menjadi perolehan suara terbanyak dengan 92.649 suara dan meninggalkan selisih 20.000-an suara dari Partai Demokrat di peringkat kedua. Hasil ini membawa partai yang dipimpin Surya Paloh ini berhasil meraup jatah 6 kursi.
Dari penantang lainnya, pasangan calon Syamsu Rizal (Deng Ical) dan Fadli Ananda (Fadli) menjadi kubu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Deng Ical yang pernah menjabat sebagai Wakil Wali Kota Makasar (2014-2019) tentu tidak asing bagi warga Makassar. Paslon ini mengenalkan diri dengan akronim ”Dilan” yang familiar di telinga kaum muda dan sasaran mereka tertuju pada para pemilih milenial.
Pencalonan pasangan calon ”Dilan” mendapat dukungan dari PDI-P, Partai Hanura, dan PKB. Dari ketiganya, PDI-P menjadi partai kuat yang berhasil meraih posisi kelima dalam perolehan suara dalam Pileg DPRD Kota Makassar 2019. Dengan 63.864 suara, PDI-P menjadi partai yang berhasil memperoleh 6 kursi selain Partai Nasdem dan Partai Demokrat.
Terakhir, ada pasangan calon Irman Yasin Limpo (Irman) dan Andi Zunnun Armin Nurdin Halid (Zunnun) yang dapat mencuri perhatian pada pemilihan wali kota kali ini. Pasalnya, Irman sebelumnya menjabat Staf Ahli Gubernur Sulsel dan mundur demi kontestasi ini. Modal sosial yang Irman miliki terbilang kuat karena masih bersaudara dengan Menteri Pertanian Indonesia di Kabinet Maju 2019-2024, Syahrul Yasin Limpo.
Selain itu, barikade dukungan paslon Irman-Zunnun berisi Partai Golkar, PAN, PKS, dan Partai Berkarya. Barangkali, hanya paslon ini yang didukung oleh kekuatan partai yang hampir merata.
Maksudnya, baik Partai Golkar, PAN, dan PKS, masing-masing berhasil mendapat jatah 5 kursi dari Pileg 2019 kemarin. Artinya, paslon ini dapat mengandalkan mobilisasi dukungan pemilih dengan mengandalkan tim sukses dari partai pendukungnya.
Melihat secara ringkas peta kekuatan dari empat pasangan calon ini, Pilwakot Makasar menjadi ajang persaingan sengit yang patut disorot. Bisa dikatakan, keempatnya memiliki kekuatan politik yang setara dan perlu memanfaatkan kesempatan kampanye untuk meraih simpati para pemilih. Meski demikian, keempat pasangan calon dan tim pendukungnya perlu juga memperhatikan luka lama konflik dan kerentanan pemilihan wali kota di Kota Makassar.
Kotak suara kosong
Khusus di Kota Makassar, pemilihan wali kota baru saja digelar pada 2018 kemarin atau hanya berselang dua tahun jika pilkada dijalankan tahun ini. Pasalnya, Pilwakot Makassar 2018 dimenangi oleh kotak suara kosong. Dalam sejarah politik di Indonesia, inilah pertama kalinya kotak suara kosong menang dalam pemungutan suara.
Kala itu, konflik juga bermunculan mulai dari pencalonan petahana yang gagal hingga jumlah suara pemilih yang bermasalah dari tingkat kecamatan. Saat itu, pasangan calon Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi melawan kotak suara kosong karena bakal paslon Mohammad Ramdhan Pomanto (petahana) dan Indira Mulyasari Paramastuti Ilham didiskualifikasi oleh Mahkamah Agung.
Sebelumnya, kubu pasangan calon Ramdhan Pomanto dan Rahmatika Dewi sudah menemui hambatan dengan perginya sejumlah partai yang mendukung. Alhasil, paslon ini maju dengan jalur independen dan berhasil menggalang dukungan dari simpatisan loyal mereka. Akan tetapi, setelah adanya laporan dari pihak penantang, Mahkamah Agung memutuskan untuk mendiskualifikasi pasangan calon ini dengan gugatan adanya pelanggaran kampanye.
Pertikaian para pendukung masing-masing pasangan calon pun juga sempat terjadi sebelum dan pada saat waktu pemilihan. Di beberapa kecamatan, ditemukan praktik menghilangkan suara kolom kosong dan kemudian dialihkan ke calon tunggal. Pelakunya ialah pihak panitia pemilihan kecamatan (PPK) di sekitar 40 TPS. Kasus ini kemudian diselesaikan Bawaslu.
Selain itu, sempat pula ada larangan peliputan proses perhitungan suara oleh media massa. Berhadapan dengan ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) turun tangan. Melalui Ketua AJI Makassar, Qodriansyah Agam Sofyan, disampaikan bahwa kejadian ini melanggar bentuk pelanggaran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kendati sempat ada indikasi kecurangan dalam perhitungan suara, kemenangan Pilwakot 2018 tetap berpihak pada kotak suara kosong. Berdasarkan hasil KPU, pasangan calon tunggal mendapat perolehan 264.245 (45,2 persen) suara, sedangkan kotak suara kosong meraih 300.795 (51,5 persen) suara. Sedangkan jumlah suara yang tidak sah sebanyak 19.366 (3,3 persen) suara.
Meski begitu, pasangan calon tunggal tetap berhak melenggang ke kursi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar. Berdasarkan ketentuan Pasal 54D Ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dituliskan bahwa jika kotak suara kosong memperoleh suara lebih banyak dari calon tunggal, maka calon tersebut tetap berhak menerima jabatan kepala daerah.
Implikasi lainnya, pemilihan wali kota akan diselenggarakan lagi di periode berikutnya. Sebenarnya, Pilwakot Makasar dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya, tetapi karena bertepatan dengan perhelatan Pemilu dan Pileg 2019, pemilihan diadakan di Pilkada Serentak 2020.
Rentan
Perlu dicatat, Kota Makassar berada di urutan ketiga dari daftar Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada Serentak 2020 dari Bawaslu. Dalam laporan tersebut, Kota Makassar mendapat 74,94 poin di bawah Kabupaten Manokwari (80,89 poin) dan Kabupaten Mamuju (78,01 poin). Bawaslu memberikan penilaian bagi 216 kota dan kabupaten serta sembilan provinsi dalam laporan ini.
Melihat secara ringkas peta kekuatan dari empat paslon ini, Pilwakot Makassar menjadi ajang persaingan sengit.
Lebih lanjut, bersama kelima belas kota dan kabupaten lainnya, Kota Makassar mendapat status level 6 IKP. Maksudnya, hampir semua indikator kerawanan berpotensi terjadi. Bawaslu menetapkan empat indikator, yakni konteks sosial, penyelenggaraan pemilu jujur dan adil, kontestasi yang sehat, dan partisipasi publik. Dalam tabel urutan, makin tinggi poin yang diraih, potensi kerawanan makin besar di kota dan kabupaten tersebut.
Merujuk pada penilaian di Kota Makassar, skor kerawanan merata di angka tujuh puluhan. Paling tinggi terletak pada kategori penyelenggaraan pemilu. Hasil ini terbilang wajar mengingat pada pilkada sebelumnya di 2018, terdapat kasus pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu, tepatnya dalam perhitungan surat suara di tingkat kecamatan.
Kiranya laporan dari Bawaslu ini mendapat perhatian dari segenap pihak dalam penyelenggaraan pemilihan wali kota yang adil, jujur, dan transparan. Selain itu, keterbukaan informasi kepada media massa juga menjadi unsur yang tidak boleh diabaikan. Maka, di samping kontestasi yang sengit dan sejarah konflik yang sempat terjadi di Kota Makasar, baik peserta, penyelenggara, dan masyarakat patut menjaga ketertiban pemilihan wali kota kali ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Demokrasi Kotak Kosong