Dibutuhkan upaya serius untuk mengubah pola konsumsi energi agar negara tak terus merugi. Pada kurun waktu 2015-2019, rata-rata defisit sektor migas mencapai 8,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 116 triliun per tahun.
Oleh
Budiawan Sidik Arifianto
·6 menit baca
Pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia kontraproduktif dengan kemajuan ekonomi nasional. Impor minyak dan gas yang setiap hari rata-rata lebih dari 500.000 barel menyebabkan neraca perdagangan internasional sektor migas selalu defisit. Impor minyak dominan dibandingkan dengan ekspor sehingga menghasilkan notasi negatif dalam neraca migas. Negara selalu mengeluarkan uang daripada memperoleh keuntungan devisa dari perdagangan migas. Perlu upaya serius mengubah pola konsumsi energi agar negara tak terus merugi.
Pada kurun waktu 2015-2019, rata-rata defisit sektor migas mencapai 8,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 116 triliun per tahun. Nominal ini sangat mengganggu pertumbuhan ekonomi karena bersifat mengurangi keuntungan yang dicapai oleh sektor nonmigas. Kemajuan sektor itu menjadi terkesan sia-sia karena selalu tergerus untuk menutup kerugian sektor migas. Kondisi demikian sangat berisiko menghambat laju pertumbuhan nasional karena sumber devisa utama hanya mengandalkan surplus perdagangan sektor nonmigas.
Sayangnya, surplus yang diperoleh sektor nonmigas selalu fluktuatif mengikuti perkembangan ekonomi global. Suatu saat surplus bisa relatif tinggi hingga rata-rata lebih dari Rp 200 triliun, seperti pada 2015-2017. Namun, surplus bisa juga menyurut hingga di bawah Rp 100 triliun, seperti tahun 2018 dan 2019.
Ironisnya, pada saat surut itu, defisit neraca migas membesar hingga lebih dari Rp 100 triliun. Akibatnya, neraca perdagangan internasional secara keseluruhan bernotasi negatif. Defisit neraca perdagangan pada 2018 menjadi yang pertama dalam sejarah Indonesia mengalami kerugian dalam operasi pasar terbukanya. Kejadian ini berulang pada 2019. Bukan tidak mungkin, kondisi demikian terjadi lagi pada tahun ini dan tahun-tahun yang akan datang.
Defisit itu harus diatasi sesegera mungkin agar tidak menjadi beban bagi kemajuan Indonesia di masa depan. Perlu langkah-langkah konkret agar struktur neraca migas membaik dan tidak kontraproduktif bagi sektor lainnya. Salah satu caranya, ketergantungan pada impor migas dikurangi. Hanya saja, hal itu tidak mudah dilakukan. Kebutuhan energi, terutama bahan bakar minyak (BBM), di Indonesia saat ini sudah sekitar 1,5 juta barel sehari, sedangkan kemampuan produksi nasional 700.000-800.000 barel per hari. Mau tidak mau Indonesia harus impor.
Untuk terlepas dari impor dalam waktu singkat, tentu saja mustahil. Namun, dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin Indonesia dapat secara bertahap mengurangi ketergantungan pada impor. Salah satu hal yang sangat mungkin ditempuh ialah diversifikasi energi dengan mengoptimalkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
Transportasi konsumen terbesar
Berdasarkan Outlook Energi Indonesia 2019, dari total energi final pada 2018, sekitar 40 persen di antaranya dikonsumsi sektor transportasi. Konsumsi sektor industri 36 persen, rumah tangga 16 persen, serta sisanya 8 persen dikonsumsi sektor komersial dan lainnya. Deskripsi ini menunjukkan sektor transportasi menjadi pengguna energi terbesar di Indonesia. Kelompok pengguna inilah yang memiliki andil besar terhadap tingginya ketergantungan impor migas di Indonesia.
Maka, untuk mereduksi ketergantungan itu, sangat tepat jika sektor ini dioptimalkan dalam menerapkan diversifikasi energi di Indonesia. Ada sejumlah rencana strategis yang diusulkan beberapa kementerian. Pertama, Kementerian Perhubungan merencanakan penggunaan bahan bakar nabati (BBN), seperti biodiesel untuk moda transportasi darat, kendaraan BBG, dan bus listrik. Rencana ini diproyeksikan untuk angkutan berat seperti truk dan angkutan umum seperti bus. Ada juga angkutan massal berbasis rel dan listrik seperti MRT dan LRT yang sedang dikembangkan di Jakarta serta Palembang.
Kedua, Kementerian Perindustrian merencanakan pembangunan industri moda transportasi listrik dan hibrida dari hulu sampai hilir. Langkah ini tergolong luar biasa jika mampu untuk direalisasikan, mengingat membangun industri tidaklah mudah. Diperlukan sumber daya manusia yang mengusai teknologi mutakhir, bahan baku berkualitas, investasi yang besar, serta kebijakan pemerintah yang mendukung.
Satu syarat saja tidak terpenuhi, niscaya rencana itu sulit diwujudkan. Meski demikian, rencana tersebut patut didukung karena Indonesia berpeluang menjadi negara produsen mobil bertenaga listrik itu karena memiliki potensi mineral logam tanah jarang (LTJ). Apabila Indonesia berhasil menambang dan memurnikan LTJ, peluang memiliki industri berteknologi tinggi, seperti mobil listrik, terbuka sangat lebar. Bukan tak mungkin akan banyak investor asing yang tertarik menanamkan modal untuk pengembangan industri tersebut di Indonesia.
Biodiesel
Dari dua rencana itu, rencana strategis dari Kementerian Perhubungan tampaknya relatif masuk akal untuk segera diwujudkan, terutama terkait dengan BBN biodiesel.
Program itu sudah cukup lama dirintis, yakni sekitar tahun 2005 sehingga kian berkembang saat ini. Pada rentang 2009-2018, produksi biodiesel bertambah berkali-kali lipat.
Pada 2009, jumlah produksi masih sekitar 190.000 kiloliter (kl), sementara pada 2018 jumlahnya mencapai 4,7 juta kl. Bahkan, sebagian produksi mampu diekspor dan menambah devisa negara. Jumlah yang dikirim ke luar negeri cenderung naik dan pada 2018, jumlah ekspor sudah lebih dari 1 juta kl.
Peningkatan produksi biodiesel itu tak lepas dari upaya revolusioner pemerintah mempercepat penggantian secara bertahap BBM solar dengan biodiesel secara mandatori atau wajib. Melalui Peraturan Menteri ESDM No 12/2015, kebijakan mandatori biodiesel dipercepat pada 2014 dengan program B-10, B-15 pada 2015, dan meningkat lagi menjadi B-20 pada 2016. Tahun 2020, mandatori ditargetkan B-30 yang berarti pencampuran biodiesel sebesar 30 persen dalam solar. Kebijakan ini menyasar usaha mikro, usaha pertanian, transportasi dan pelayanan umum yang mendapat subsidi (PSO); transportasi non-PSO; serta sektor industri dan komersial.
Khusus transportasi, apabila semua kendaraan niaga seperti bus dan truk yang jumlahnya mencapai 10 juta unit pada 2019 patuh mengaplikasikan B-30, dampaknya akan sangat signifikan bagi penghematan konsumsi solar. Lambat laun ketergantungan pada impor BBM dapat terus diminimalkan.
Hal itu kian dipercepat jika disertai penyediaan sarana transportasi lain yang menggunakan energi nonfosil atau energi fosil non-BBM yang berlimpah di alam. Misalnya, penyediaan sarana angkutan umum, seperti bus listrik, kereta rel listrik, dan bus bahan bakar gas (BBG), di sejumlah kota besar.
Penyediaan alat transportasi ini tak akan berpengaruh signifikan dalam tempo singkat. Namun, dengan tersedianya alat transportasi yang berkualitas serta mudah diakses, perilaku manusia dalam kegiatan komuter akan terpengaruh.
Masyarakat yang biasanya menggunakan kendaraan pribadi beralih menggunakan transportasi massal. KRL (Commuterline), Transjakarta, dan MRT Jakarta mengubah perilaku orang dalam bertransportasi. Indikasinya terlihat dari tren jumlah penumpang yang meningkat setiap tahun.
Jumlah penumpang KRL naik lebih dari 60 persen dalam beberapa tahun, yakni 208 juta orang pada 2014 menjadi 336 juta orang pada 2018. Demikian juga dengan penumpang Transjakarta yang naik signifikan. Dari 144 juta orang pada 2017, penumpang melonjak menjadi 264 juta orang pada 2019.
MRT Jakarta yang tergolong baru juga demikian. Baru dioperasikan pada Maret 2019, jumlah penumpang hingga akhir 2019 sudah lebih dari 20 juta orang. Hal ini mengindikasikan angkutan umum yang berkualitas menarik konsumen untuk menggunakan moda tersebut.
Fenomena itu dapat menjadi sarana uji coba kendaraan dengan menggunakan bahan bakar nonfosil atau non-BBM. Selain menguji keandalan mesin, pemerintah juga dapat memanfaatkan untuk meningkatkan bauran energi, seperti yang diamanatkan PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Dalam PP itu ditargetkan bauran EBT pada 2025 paling sedikit 23 persen dan tahun 2050 paling sedikit 31 persen. Aturan ini dapat sebagai pijakan setiap daerah untuk berlomba-lomba mengembangkan berbagai bauran energi, antara lain di bidang transportasi massal.
Bauran energi di Indonesia hingga saat ini masih minim. Bauran energi EBT masih sekitar angka 9 persen. Angka ini jauh dari target pemerintah 23 persen yang diharapkan terpenuhi dalam waktu lima tahun mendatang.