Imbangi Penambahan Tenaga Medis dengan Perlindungan Maksimal
Kebijakan penambahan tenaga medis yang ikut menangani Covid-19 perlu diikuti dengan perlindungan yang maksimal untuk mencegah kembali jatuh korban jiwa dari tenaga kesehatan.
Penambahan kapasitas layanan rumah sakit karena tingginya laju penularan Covid-19 juga diikuti dengan kebijakan penambahan tenaga kesehatan dan sukarelawan medis. Tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Italia, terpaksa juga melibatkan dokter muda dan mahasiswa kedokteran. Penambahan tenaga kesehatan dalam menangani Covid-19 perlu diikuti perlindungan maksimal terhadap tenaga kesehatan.
Ibarat peperangan, tenaga kesehatan adalah pejuang garis depan pertahanan. Penambahan tenaga kesehatan sama dengan menambah kekuatan pasukan untuk berperang. Namun, perlu diingat bahwa risikonya juga besar apabila tidak dilengkapi persenjataan yang kuat.
Pada Senin (13/9/2020), dalam rapat terbatas Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyebutkan akan menambah tenaga kesehatan untuk menangani Covid-19. Sebanyak 3.500 dokter internship dan lebih dari 1.000 sukarelawan medis siap diterjunkan. Jumlah tersebut termasuk dokter spesialis dan tenaga kesehatan lain.
Jumlah ini akan menambah total sukarelawan tenaga kesehatan Nusantara sehat dan internship yang mencapai 16.286 orang. Mereka ditempatkan di rumah sakit penanganan Covid-19 dan laboratorium kesehatan untuk uji laboratorium Covid-19.
Rencana ini mengikuti penambahan kapasitas layanan kesehatan di sejumlah daerah. Di DKI Jakarta, 36 RS swasta yang melayani pasien Covid-19 menambah tempat tidur untuk pasien karena sebagian layanan sudah penuh.
Pemerintah juga menambah ruang isolasi RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran, yaitu di Tower 4 dan 5. Sebelumnya, ruang perawatan pasien Covid-19 yang digunakan hanya di Tower 6 dan 7. Penambahan ruang perawatan diperuntukkan kepada pasien Covid-19 tanpa gejala, mengikuti keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengisolasi pasien tanpa gejala.
Penambahan ruang perawatan pasien Covid-19 juga dilakukan di Garut, Tasikmalaya, Aceh, Medan, Bekasi, Depok, Wonosobo, dan beberapa daerah lain. Penambahan ruang perawatan bagi pasien Covid-19 dan meningkatnya kasus Covid-19 dapat menambah tugas tenaga kesehatan. Maka, solusi untuk tetap menjaga tugas tenaga kesehatan seimbang adalah menambah jumlah tenaga kesehatan untuk menangani Covid-19.
Penambahan tenaga medis
Pada awal penyebaran Covid-19 di Indonesia, kekhawatiran akan kurangnya tenaga medis diiringi dengan semakin meningkatnya kasus Covid-19 sudah terjadi. Sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk mengerahkan dokter muda dalam penanganan Covid-19.
Dua minggu setelah kasus pertama diumumkan, sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, mendesak Menteri Kesehatan Terawan untuk memberi diskresi agar dokter muda dapat bertugas sebagai tim medis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Ikatan Alumni UI juga membuka perekrutan sukarelawan medis bagi dokter-dokter muda. Dokter-dokter ini akan diperbantukan untuk penanganan kasus Covid-19 skala ringan.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kemudian membuka pendaftaran sukarelawan penanganan Covid-19 pada 25 Maret 2020. Sukarelawan yang dimaksud terdiri dari sukarelawan tenaga kesehatan dan nontenaga kesehatan.
Upaya ini pun ditempuh dengan mengharapkan para dokter magang dan mahasiswa kedokteran tingkat akhir dapat membantu penanganan Covid-19. Namun, syaratnya para dokter ini wajib mengantongi surat tanda registrasi (STR). STR adalah dokumen hukum bagi dokter bahwa ia telah mendaftarkan diri, memenuhi persyaratan, dan teregistrasi di Konsil Kedokteran Indoensia (KKI).
Gugus tugas pun meminta KKI untuk menerbitkan STR bagi dokter magang dan mahasiswa kedokteran yang belum mengikuti uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter (UKMPPD). Jika disetujui, akan ada sekitar 5.000 sukarelawan dokter tambahan (Kompas, 15/4/2020).
Pada awal penyebaran Covid-19, para sukarelawan ini hanya bertugas di rumah sakit darurat, seperti Wisma Atlet dan RS di bawah Kementerian Pertahanan. Per 15 April 2020, RS Wisma Atlet masih memerlukan 1.500 sukarelawan medis untuk menambah tenaga medis yang sudah terkumpul 396 orang. Sementata RS di bawah Kementerian Pertahanan membutuhkan 50 dokter serta 250 perawat.
Hingga 10 Juni 2020 terdapat 7.251 sukarelawan tenaga medis. Beberapa di antaranya adalah perawat (2.430 orang), ahli kesehatan masyarakat (783 orang), bidan (798 orang), dan dokter umum (490). Sementara mahasiswa kesehatan yang bertugas sebagai sukarelawan berjumlah 120 orang.
Libatkan dokter muda
Langkah serupa sebenarnya juga dilakukan oleh negara lain yang memiliki tenaga kesehatan lebih mencukupi. Akan tetapi, karena tingginya kasus Covid-19 di negara tersebut, sukarelawan medis terutama dari mahasiswa kedokteran sangat dibutuhkan.
Italia menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO) termasuk negara dengan kapasitas tenaga kesehatan di atas rata-rata dunia (174 per 10.000 penduduk). Untuk setiap 10.000 penduduk terdapat 319 tenaga medis. Jumlah dokter yang melayani 10.000 penduduk ada 39 orang.
Jumlah dokter yang tersedia masih belum mampu menangani kasus Covid-19 yang sampai 17 September 2020 telah mencapai lebih dari 291.000. Akhirnya, Pemerintah Italia mengirim 10.000 lulusan baru kedokteran untuk membantu penanganan Covid-19. Mereka diperbantukan di klinik dokter umum dan panti jompo.
Indonesia menjadi negara kedua di Asia Tenggara yang paling kecil rasio ketersediaan dokternya.
Demikian pula dengan Amerika Serikat dan Inggris yang juga mengizinkan mahasiswa kedokteran tingkat akhirnya untuk membantu penanganan Covid-19. Sejumlah sekolah kedokteran mempercepat kelulusan mahasiswanya demi kebutuhan tenaga medis pada masa pandemi ini. Beberapa di antaranya bahkan terpaksa membatalkan ujian akhir mahasiswa ini dan mengirimkan mereka langsung untuk membantu layanan kesehatan.
Padahal, kedua negara ini memiliki tenaga medis yang cukup saat kondisi normal. Inggris memiliki 664 tenaga medis dan 28 dokter setiap 10.000 penduduk. Sementara AS memiliki 682 tenaga medis dan 26 dokter setiap 10.000 penduduk.
Lain halnya dengan Jerman. Para tenaga medis dan mahasiswa kedokteran membuat komunitas yang menampung sukarelawan tenaga medis untuk diperbantukan di layanan kesehatan. Lebih dari 19.000 mahasisawa kedokteran menjadi sukarelawan penanganan Covid-19 di Jerman. Melalui Match4healthcare, mereka dapat melayani warga yang membutuhkan pertolongan sehingga penanganan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien.
Pemerintah Jerman dengan tangan terbuka menerima bantuan dari mereka. Upaya ini dilakukan sebagai salah satu penanganan Covid-19 yang cepat meskipun saat itu kasus Covid-19 di Jerman berhasil ditekan.
Ketersediaan tenaga medis
Di Indonesia, kondisinya lebih memprihatinkan. Jumlah tenaga kesehatan belum mencukupi standar pelayananan kesehatan dan sebarannya belum merata.
Sebagai perbandingan, Indonesia memiliki empat dokter yang melayani 10.000 penduduk. Artinya, satu dokter melayani 2.500 penduduk. Dengan ini, Indonesia menjadi negara kedua di Asia Tenggara dengan rasio ketersediaan dokter paling kecil.
Jumlah tersebut jauh tertinggal dari Singapura (23 dokter per 10.000 penduduk), Brunei Darussalam (18 dokter per 10.000 penduduk), Malaysia (15 dokter per 10.000 penduduk), bahkan Vietnam dan Thailand yang memiliki delapaan dokter per 10.000 penduduk.
Di tingkat dunia pun, kondisi ketersediaan tenaga kesehatan Indonesia masih jauh tertinggal. Indonesia menempati urutan ke-115 dengan jumlah tenaga kesehatan 67 per 10.000 penduduk. Jumlah tersebut masih di bawah rata-rata dunia, yaitu 174 pekerja kesehatan setiap 10.000 penduduk.
Selain karena jumlahnya, ketersediaan tenaga kesehatan masih terpusat di beberapa wilayah. Di wilayah Jawa saja, ketimpangan ini terlihat. Pelayanan dokter dan perawat terpusat di DKI Jakarta.
Di DKI Jakarta, untuk setiap 100.000 penduduk tersedia 65 dokter umum, 68 dokter spesialis, dan 285 perawat. Sementara Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk lebih banyak hanya terlayani oleh 11 dokter umum, 7 dokter spesialis, dan 77 perawat untuk setiap 100.000 penduduk.
Darurat kesehatan
Karena pertimbangan itu, menambah tenaga medis memang menjadi jalan utama yang perlu ditempuh. Penambahan tenaga medis, apalagi melibatkan mahasiswa kedokteran sebagai sukarelawan, menunjukkan darurat kesehatan luar biasa. Di AS, kondisi ini disamakan dengan situasi saat Perang Dunia II dan pandemi 1918.
Saat itu, sekolah kedokteran dipercepat menjadi tiga tahun hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis. Pada 1918, mahasiswa kedokteran bahkan bisa secara tiba-tiba diperbantukan untuk merawat pasien saat masa kuliah berlangsung.
Kini, dengan situasi yang serupa, pemerintah diharapkan benar-benar melindungi tenaga kesehatan ini. Sebab, risiko besar harus dihadapi para tenaga kesehatan ini.
Beban kelelahan sangat dirasakan tenaga medis. Berdasarkan survei Fakultas Kedokteran UI terhadap 1.461 responden tenaga kesehatan di seluruh Indonesia, ditemukan 82 persen mengalami kelelahan atau burnout kategori sedang. Burnout didefinisikan sebagai sindrom psikologis akibat respons kronik terhadap tekanan atau konflik.
Selain itu, risiko terpapar Covid-19 sangat tinggi, tidak hanya bagi tenaga kesehatan yang merawat pasien Covid-19, tetapi juga mereka yang menangani pasien lain. Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Abraham Andi Padlan Patarai, sejumlah dokter terinfeksi Covid-19 karena menangani pasien yang tidak diketahui membawa Covid-19.
Bertambahnya tenaga medis yang terjun menangani Covid-19 perlu diimbangi perlindungan maksimal. Jangan sampai mereka menjadi korban menyusul 115 dokter yang gugur ketika menangani Covid-19.
Ketersediaan alat pelindung diri (APD), seperti masker medis, respirator standar N95 atau FFP2 atau FFP3, jubah pelindung, dan sarung tangan steril, perlu dipastikan cukup dan senantiasa tersedia. Selain itu, ruang perawatan dan isolasi pasien perlu dipastikan sesuai standar, misalnya ruangan harus bertekanan rendah. Sebab, menurut Tri Maharini, dokter spesialis emergensi dari Kediri, tanpa kesesuaian standar ruangan, risiko penyebaran virus yang menular lewat udara (airborne) ini tetap tinggi.
Baca juga : Covid-19 dan Ragam Kebijakan Wajib Masker
Selain itu, tenaga kesehatan juga perlu disediakan fasilitas pemeriksaan psikologis untuk mengurangi beban tekanan dan stres yang dirasakan. Pengecekan kesehatan dan pemeriksaan Covid-19 juga perlu dilakukan rutin kepada tenaga kesehatan.
Dari faktor lingkungan dan kesehatan masyarakat, penertiban protokol kesehatan dan kebijakan pembatasan wilayah perlu dilakukan maksimal. Isu-isu kebohongan yang beredar di masyarakat tentang stigma tenaga kesehatan, seperti RS dan dokter mencari keuntungan atau virus korona sengaja ditularkan di RS, perlu ditepis dan ditindaklanjuti. Masyarakat juga diharapkan jujur dengan kondisi kesehatan yang dialami supaya penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Akan Selalu Terjadi Pandemi