Preman: Dari Pialang Kuasa hingga Tertib Sosial
Preman menjadi bagian dari realitas sosial masyarakat. Dalam sejarahnya, preman menjadi pialang kuasa, perjuangan revolusi, hingga perpanjangan tangan pemerintah.
Preman telah memainkan beragam peran sepanjang sejarah perjalanan bangsa, baik dari aspek positif maupun negatif. Pialang kuasa, perjuangan revolusi, hingga perpanjangan tangan pemerintah di lingkup kawasan terkecil turut memanfaatkan peran dari orang-orang yang kini dikenal dengan sebutan preman. Hinggi kini, eksistensi preman selalu terlihat dalam ragam kehidupan sosial pada berbagai daerah di Indonesia.
Hari-hari ini, istilah preman kembali ramai diperbincangkan setelah lahirnya Peraturan Kepolisian Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa yang diterbitkan sejak 5 Agustus 2020. Dalam aturan ini, negara berencana merekrut masyarakat sipil pada lingkungan kawasan, pemukiman, hingga perkantoran untuk meningkatkan kesadaran dan ketertiban masyarakat.
Anggota Pam Swakarsa terdiri dari beberapa kelompok masyarakat, yakni satuan pengamanan, purnawirawan TNI dan Polri, satuan keamanan dan lingkungan, siswa dan mahasiswa Bhayangkara, hingga kelompok sadar keamanan dan ketertiban masyarakat. Selain itu, kearifan lokal seperti pecalang di Bali juga dimanfaatkan dalam pembentukan Pam Swakarsa.
Dalam aturan itu, tidak disebutkan bahwa kelompok masyarakat yang biasa disebut preman direkrut sebagai anggota Pam Swakarsa. Pihak kepolisian juga telah membantah untuk merekrut preman secara khusus sebagai anggota pengamanan. Meski demikian, ruang kemungkinan bagi preman untuk bergabung sebagai anggota Pam Swakarsa tetap terbuka mengingat adanya kelompok sadar keamanan dan ketertiban masyarakat yang juga dapat menjadi anggota.
Lahirnya silang pendapat tentang pelibatan preman untuk meningkatkan ketertiban masyarakat secara tidak langsung merupakan respons sosial terhadap eksistensi preman itu sendiri. Preman yang kini berkonotasi sebagai orang bebas dan meresahkan masyarakat di tempat umum memang selalu hadir di tengah-tengah kehidupan sosial maupun politik.
Jika melihat pada perjalanan sejarah bangsa, preman merupakan bagian dari kelompok sosial yang telah hadir di antara kehidupan masyarakat sejak era autokrasi, revolusi, hingga terus eksis pada periode reformasi.
Preman merupakan bagian dari kelompok sosial yang telah hadir di antara kehidupan masyarakat sejak era autokrasi, revolusi, hingga terus eksis pada periode reformasi.
Baca juga: Kapolri: Tak Ada Ruang untuk Kelompok Preman
Prakemerdekaan
Pada era autokrasi atau kerajaan, istilah preman belum digunakan. Walakin, tindakan yang merujuk pada premanisme seperti perampokan dan aksi kejahatan lainnya sudah terekam dalam berbagai catatan masa lampau. Salah satu tindakan premanisme terekam dalam Prasasti Mantyasih (907 M).
Berdasarkan prasasti itu, terungkap bahwa masyarakat di sekitar wilayah Temanggung, Jawa Tengah, pernah merasa ketakutan karena ulah para penjahat. Oleh sebab itu, diutus lima orang patih untuk menumpas kejahatan seiring diselenggarakannya pesta perkawinan raja.
Praktik premanisme juga memperoleh perhatian khusus pada era Kerajaan Majapahit. Sejumlah tindakan, seperti pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian), turut terangkum dalam naskah hukum Purwwadhigama. Artinya, tindakan premanisme telah dipandang serius sehingga perlu diatur secara legal pada zaman itu (Kompas, 21 September 2005).
Lanskap sosial ini juga ditemukan pada era pemerintahan kolonial Belanda. Pada era VOC, telah terdapat istilah vrijman yang merujuk pada orang-orang yang merdeka dan bukan bekerja sebagai budak.
Ian Douglas Wilson, dalam buku Politik Jatah Preman, (2018) menuliskan, pada periode kolonial, vrijman atau orang bebas juga merujuk pada orang yang tidak terikat pada pengabdian pemerintahan kolonial, tetapi turut menjalankan praktik yang mendukung kepentingan VOC. Orang bebas ini hadir di wilayah legal dan bekerja dalam konteks hukum maupun di luar hukum.
Dalam sudut pandang yang berbeda, istilah virjman juga disebutkan untuk para pemuda kekar yang menentang pemerintah kolonial. Tindakan kekerasan dan keributan dilakukan sebagai wujud penolakan terhadap hadirnya pemerintahan asing.
Istilah vrijman ini kemudian bergeser menjadi preman yang mengalami perluasan makna untuk menyebut para jago yang memiliki modal dan peran pada konteks sosial dan politik. Pengetahuan tentang wilayah setempat, identitas kultural yang melekat di tengah-tengah masyarakat, hingga kekuatan fisik dan kemampuan mengendalikan situasi menjadi modal kuat yang dimiliki oleh para jago di masa itu.
Para jago inilah yang memainkan beberapa peran dalam pemerintahan kolonial. Pada satu sisi, mereka sempat berperan sebagai pialang kuasa, yakni perantara antara pihak yang berkuasa dengan masyarakat setempat untuk sebuah kebijakan politik maupun bisnis.
Pada sisi lain, preman juga menjadi manifestasi dari protes sosial melalui praktik perbanditan. Salah satunya terlihat dari suasana di Keresidenan Banten pada abad ke-19 yang cukup kental dengan praktik perbanditan. Perbanditan ini kemudian berkembang pada gerakan politik menentang pemerintahan kolonial.
Di sekitar Batavia, praktik perbanditan juga dilakukan sebagai wujud penolakan terhadap tuan tanah pada dekade awal abad ke-20. Perampokan di tanah partikelir hingga aksi penolakan yang berujung kekerasan terjadi demi mempertahankan hak lahan untuk masyarakat lokal (Pranoto, 2010).
Memasuki pertengahan abad ke-20, para jago semakin terpinggirkan dan dianggap sebagai pelanggar hukum. Namun, eksistensi para jago ini masih terselamatkan oleh hadirnya sejumlah organisasi yang membutuhkan tenaga mereka, salah satunya adalah Partai Komunis Indonesia. Para jago dianggap oleh PKI memiliki peran penting sebagai pialang antara partai politik dengan penduduk lokal.
Pada era pendudukan Jepang, para jago kian memiliki legitimasi. Menurut Robert Cribb dalam buku Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010), pihak Jepang merekrut pimpinan gerombolan yang kuat sebagai kepala kepolisian lokal. Bahkan, gerombolan penjahat di Jakarta juga dipilih sebagai pasukan perang gerilya melawan tentara sekutu.
Baca juga: Tanah Abang yang Tak Kunjung Jinak
Tahanan dan Pejuang
Memasuki awal periode kemerdekaan, orang-orang yang melakukan praktik premanisme juga memainkan dua peran yang berbeda. Pada satu sisi, tindakan kriminalitas masih dilakukan di tengah perjuangan. Pada masa itu, cukup sulit membedakan antara penjahat dan perjuangan revolusi dalam menentang penjajahan.
Namun, pada sisi lain, para pelaku kejahatan yang berada di tahanan turut dibebaskan dengan alasan untuk diikutsertakan dalam perjuangan. Kebijakan ini pernah diambil di sekitar wilayah Surakarta, Jawa Tengah.
Menurut Julianto Ibrahim dalam buku Bandit dan Perjuangan di Simpang Bengawan (2004), para tahanan dibebaskan dan bergabung dalam badan perjuangan yang ada. Gagasan ini sebelumnya telah dibicarakan pada Desember 1945 agar pelaku kejahatan dapat berjuang membela republik.
Pembebasan tahanan dilakukan pada sejumlah daerah seperti Surakarta, Boyolali, Klaten, dan Sragen. Sebanyak 103 tahanan dibebaskan pada Agustus 1946. Keputusan ini berdampak pada terjadinya pergeseran nilai di tengah-tengah masyarakat. Meski tak jarang para tahanan ini dimusuhi, sebagian kelompok masyarakat juga menerima mereka untuk berjuang bersama mempertahankan kedaulatan.
Baca juga: Waspadai Premanisme di Solo Raya
Tertib sosial
Jelang pergantian rezim, istilah preman dengan konotasi negatif mulai jamak melekat di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Harian Kompas bahkan pertama kali menggunakan diksi preman pada 2 September 1965 saat memberitakan gugurnya seorang personel angkatan laut. Dalam berita itu, diksi ”pakaian preman” digunakan untuk menggambarkan pakaian yang digunakan oleh preman yang biasa berada di lingkungan umum.
Berdasarkan catatan arsip harian Kompas, istilah preman dengan sudut pandang negatif kian muncul dipermukaan seiring maraknya aksi kejahatan yang dilakukan. Sorotan utama tentang kejahatan preman pernah diarahkan ke Kota Medan, Sumatera Utara, pada tahun 1980. Saat itu, masyarakat cukup resah dengan aksi preman yang meminta uang kepada masyarakat dengan beragam alasan. Tindakan ini bahkan turut dibicarakan dalam musyawarah pimpinan daerah.
Preman semakin dipandang negatif dengan adanya operasi pembasmian preman pada masa pemerintahan Soeharto. Bahkan, pada tahun 1995, pelacakan juga coba dilakukan terhadap orang-orang yang berada di balik suburnya praktik premanisme di sejumlah daerah.
Namun, di tengah konotasi negatif yang terbentuk pada era orde baru, di sisi lain preman juga turut menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam konteks sosial dan politik. Salah satu tugas yang diemban oleh preman adalah menjaga tertib sosial di tengah-tengah masyarakat.
Pada tahun 1984, misalnya, preman di Kota Medan, Sumatera Utara, bertugas untuk mengawal masyarakat agar patuh terhadap kebijakan parkir dari pemerintah. Para preman ini bekerja dengan memungut uang parkir untuk disetorkan kepada para pemborong. Uang setoran kemudian kembali disalurkan pemerintah setempat (Kompas, 16 April 1984).
Tindakan premanisme dengan dalih tertib sosial juga pernah terjadi pada era orde baru. Salah satunya terjadi pada 10 November 1998 saat kelompok masyarakat yang mengaku sebagai Pam Swakarsa hadir ketika berlangsungnya Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tongkat bambu dan bambu runcing turut dibawa oleh Pam Swakarsa kala itu.
Alih-alih mengamankan jalannya sidang, bentrokan timbul antara Pam Swakarsa yang pro dengan Sidang Istimewa MPR dengan masyarakat setempat. Buntutnya, muncul suara dari beberapa tokoh partai politik agar Pam Swakarsa dibubarkan (Kompas, 11 November 1998).
Konon, berdasarkan penelusuran harian Kompas saat itu, sebagian Pam Swakarsa yang direkrut adalah anggota bayaran yang dikoordinasi oleh sekelompok orang. Mereka memperoleh uang saku hingga nasi bungkus untuk bertugas menahan aksi mahasiswa.
Pada era reformasi, preman masih terus menunjukkan eksistensinya pada dua sisi yang berbeda. Pada satu sisi, preman kerap dimanfaatkan dalam pusaran aksi massa pada berbagai isu sosial dan politik. Di sisi lain, mereka juga sering kali terjaring aksi razia karena dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan.
Bagaimanapun, preman adalah bagian dari realita sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat. Selain faktor sosial, eksistensi mereka bisa saja merupakan sebuah manifestasi dari kebijakan politik pada segala masa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?