Potret Calon Tunggal di Wilayah Banteng
Dominasi PDI-P di Jawa Tengah makin kokoh dengan banyaknya calon tunggal yang diusung partai ini di pilkada. Sebagian besar mereka adalah kader PDI-P dan petahana. Dua modal yang lebih dari cukup untuk rebut kemenangan.
Data pasangan calon di pilkada yang mendaftar ke KPU mencatatkan Provinsi Jawa Tengah sebagai wilayah yang menghadirkan calon tunggal terbanyak. Modal kemenangan besar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di wilayah tersebut sukses memboyong dukungan politik dari mayoritas partai di daerah untuk mengalirkan dukungan kepada calon tunggal.
Pilkada 2020 menjadi momentum bagi PDI-P untuk memetik hasil dari kemenangan besar di Jawa Tengah pada pemilu lalu. Jawa Tengah sejak lama memang dikenal sebagai lumbung suara bagi partai banteng ini.
Suara PDI-P di wilayah pemilihan dengan 10 dapil ini memang tak pernah sepi. Pada Pemilu 2019, PDI-P sukses unggul telak di delapan Dapil Jawa Tengah dengan total penguasaan suara mencapai lebih dari 29 persen.
Modal kemenangan besar di Jawa Tengah mengantar PDI-P mampu mengusung calon kepala daerah pada Pilkada 2020 di 21 daerah kabupaten dan kota. Dewan Pengurus Daerah PDI-P Jawa Tengah bahkan optimistis mampu menang di sedikitnya 15 pilkada.
Tingkat optimisme partai kian tinggi ketika enam calon kepala daerah yang diusungnya maju tanpa lawan alias calon tunggal. Keenam daerah yang dimaksud adalah pilkada di Kabupaten Sragen, Kebumen, Boyolali, Grobogan, Wonosobo, dan Kota Semarang.
Terlepas dari calon tunggal yang dianggap sebagai upaya sabotase untuk memuluskan pemenangan pilkada, pencalonan kepala daerah tanpa kontestan lain ini memang menjadi sejarah baru.
Terlebih, tak satu pun dari enam daerah bercalon tunggal di Jawa Tengah ini pada Pilkada 2015 memiliki satu calon. Bahkan, pilkada sebelumnya di Kabupaten Sragen dan Wonosobo menyajikan pilihan hingga empat paslon. Ketika itu, satu paslon di Wonosobo bahkan maju dari jalur perseorangan.
Melunaknya kutub koalisi partai saat ini juga terlihat dari pilkada sebelumnya di Kota Semarang dan Kebumen yang dapat menghadirkan tiga pasang calon dalam pemilihan. Sementara di daerah Boyolali dan Grobogan masing-masing ada dua paslon yang maju dalam Pilkada 2015.
Pergeseran dinamika politik di daerah tentunya begitu memengaruhi sikap partai dalam menentukan dukungan calon kepala daerah. PDI-P memang menjadi partai pemenang dan berhasil menguasai mayoritas kursi legislatif di enam kabupaten dan kota bercalon tunggal ini.
Dalam porsi paling sedikit, bahkan PDI-P menguasai tidak kurang dari 24 persen kursi legislatif dan masih menjadi partai paling unggul di dua daerah, yaitu Wonosobo dan Kebumen. Penguasaan yang tak jauh berbeda ada di wilayah Sragen dengan total proporsi 28,9 persen kursi PDI-P di legislatif daerah.
Kekuatan politik PDI-P jauh lebih besar di tiga daerah berpaslon tunggal lainnya, yaitu Kota Semarang dan Kabupaten Grobogan, dengan perolehan kursi DPRD mencapai tak kurang dari 38 persen. Sementara di Kabupaten Boyolali, tanduk PDI-P tak diragukan lagi dengan penguasaan mayoritas mencapai 77 persen kursi Dewan.
Derasnya aliran dukungan politik dari partai di daerah kepada salah satu calon membuat sempit ruang untuk menghadirkan pasangan calon alternatif. Hal ini yang membuat muncul satu pasangan calon dominan yang sangat kuat karena disokong oleh mayoritas kekuatan politik di daerah.
Calon tunggal di enam daerah pilkada di Jawa Tengah ini memborong dukungan paling sedikit lebih dari separuh jumlah partai yang ada. Bahkan, untuk pilkada di dua wilayah, yaitu di Kota Semarang dan Kabupaten Kebumen, seluruh partai politik di daerah kompak mendukung satu pasangan calon.
Calon tunggal di enam daerah pilkada di Jawa Tengah ini memborong dukungan paling sedikit lebih dari separuh jumlah partai yang ada.
Di Kabupaten Sragen dan Wonosobo, lebih dari 60 persen jumlah partai politik yang ada mendeklarasikan dukungannya kepada satu calon tunggal. Sementara di Grobogan, sembilan dari total sepuluh fraksi di DPRD satu suara untuk mendukung pasangan calon tunggal.
Konfigurasi dukungan partai politik terlihat sedikit berbeda untuk Pilkada Boyolali. Di Kabupaten ini, PDI-P mantap menyokong calon tunggal tanpa bantuan partai lain karena kursi mayoritas di legislatif daerah telah dipegang oleh partai banteng tersebut.
Kader PDI-P
Hal yang juga menarik, sebagian besar atau lima dari enam calon tunggal yang maju dalam pilkada tersebut merupakan petahana kepala daerah atau wakil kepala daerah. Hanya satu pasangan calon dari daerah Wonosobo yang bukan petahana kepala daerah.
Petahana kepala daerah memang memiliki pesona tersendiri dalam pilkada. Jaminan elektabilitas serta popularitas tak perlu diragukan lagi. Keunggulan modal sosial tersebut membuat peluang meraup suara bagi petahana sangat besar. Kondisi ini pula yang membuat poros lawan berpikir dua kali untuk melawan petahana.
Di Pilkada Wonosobo, sosok paslon tunggal yang diusung adalah Afif Nur Hidayat yang merupakan kader PDI-P dan sedang menjabat sebagai Ketua DPRD setempat. Afif maju berpasangan dengan Muhammad Albar, yang tak lain adalah politisi PKB yang sedang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Wonosobo.
Sebagai pemenang, PDI-P memang terlihat percaya diri mengusung para kader terbaiknya untuk maju dalam pencalonan kepala daerah. Terlebih jika barisan kandidat ini adalah petahana. Di Kota semarang, petahana Wali Kota Hendrar Prihadi kembali menggaet sang Wakil Wali Kota Hevearita Gunaryanti untuk maju dalam pilkada. Bisa dikatakan, ini merupakan pasangan calon kepala daerah formasi tulen kubu PDI-P.
Sebagai pemenang, PDI-P memang terlihat percaya diri mengusung para kader terbaiknya untuk maju dalam pencalonan kepala daerah.
Kondisi serupa juga terlihat pada Pilkada Boyolali. Kader terbaik PDI-P di wilayah itu, M Said Hidayat, yang juga wakil bupati petahana maju dalam pemilihan sebagai kepala daerah. Jika sukses memenangi pemilihan, Said akan melanjutkan trah bupati dari PDI-P yang sebelumnya dijabat Seno Samodro selama dua periode.
Di Pilkada Grobogan, petahana Bupati Sri Sumarni akan kembali maju untuk merebut jabatan periode keduanya. Politisi PDI-P ini menggandeng pengusaha Bambang Pujiyanto untuk mendampinginya sebagai calon wakil kepala daerah.
Meleburnya koalisi
Berbeda dengan empat daerah yang sebelumnya memiliki rekam jejak kejayaan PDI-P, calon kepala daerah yang juga petahana di Kebumen dan Sragen bukanlah kader PDI-P. Mencairnya polarisasi kubu politik di elite nasional tampaknya juga berimbas dengan kian merapatnya semua partai di daerah. Inilah yang kemudian mendorong dukungan mayoritas dari partai di daerah dapat mengarah kepada satu paslon.
Di Kebumen, calon tunggal yang maju pilkada adalah Arif Sugiarto yang juga petahana wakil bupati. Arif sukses membelokkan seluruh dukungan fraksi DPRD dan mengalahkan saingannya yang tak lain adalah Bupati Kebumen petahana Yazid Mahfudz. Arif maju dalam pencalonan didampingi sosok perempuan pengusaha Ristawati Purwaningsih.
Meleburnya konfigurasi koalisi partai juga terlihat dari pencalonan kepala daerah di Kabupaten Sragen. Di daerah ini, lima dari total delapan fraksi sepakat mendukung calon kepala daerah petahana, Kusdinar Untung Yuni Sukowati, yang berpasangan dengan kader PKB, Suroto.
Padahal, pada pergelaran Pilkada 2015, sosok Yuni Sukowati sempat bergulat dengan polemik pencalonan yang berujung pada pemecatannya sebagai kader PDI-P. Saat itu, Yuni dianggap telah melakukan pelanggaran berat sehingga DPP PDI-P perlu menerbitkan surat keputusan pemecatan.
Lepas dari PDI-P, Yuni tak patah arang untuk mencari perahu dukungan dalam pencalonannya sebagai kepala daerah dan berlabuh di Gerindra. Kala itu, untuk kian memperkuat basis dukungan, ia menggandeng politisi dari PKS, Deddy Endriyanto. Duet Yuni dan Deddy ini sukses unggul dalam pemilihan.
Pada akhirnya, segala dinamika politik pencalonan kepala daerah hanyalah akan menjadi bagian dari elite. Yang publik tahu hari ini, ruang demokrasi kian dikerdilkan dengan pemilihan kepala daerah yang sepi calon dan tak lagi harus berkontestasi.
Meleburnya sikap partai-partai untuk mendukung calon tunggal dalam pilkada tak lebih dari sebuah praktik transaksi untuk mengejar kekuasaan, bukan merawat marwah demokrasi. (LITBANG KOMPAS)