Tekan Penularan dengan Pembatasan Sosial Berskala Mikro
Pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) memiliki beberapa kelebihan daripada pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Salah satunya, PSBM lebih hemat karena ada kerja sama antara pemerintah dan komunitas terkait.
Salah satu kunci penanganan pandemi Covid-19 adalah membatasi pergerakan manusia. Dengan mempertimbangkan heterogenitas infeksi di suatu wilayah, penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala mikro dapat menjadi pilihan.
Ragam cara dilakukan untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia. Hingga 14 September 2020, tersisa tujuh wilayah yang menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yaitu dua provinsi dan lima kabupaten/kota. Dua provinsi tersebut adalah DKI Jakarta dan Banten.
Basis implementasi kebijakan pembatasan sosial terletak pada pengendalian mobilitas masyarakat. Pengendalian ini perlu dilakukan, mengingat masih terdapat 70 kota/kabupaten yang masuk zona merah.
Pengendalian pergerakan orang juga penting karena kini mobilitas warga meningkat pada masa normal baru. Berdasarkan pantauan Google Mobility pada pertengahan Februari 2020 hingga September 2020, terdapat pola yang sangat dinamis, mengikuti intensitas pergerakan masyarakat.
Periode awal pandemi di Indonesia, perubahan drastis muncul pada pertengahan Maret saat semua kegiatan di luar ruangan turun tajam, mulai dari aktivitas berbelanja hingga kegiatan di taman. Di sisi lain, aktivitas di dalam rumah naik signifikan.
Penambahan kasus yang terjadi setiap hari memaksa masyarakat untuk tetap tinggal di dalam rumah. Ancaman infeksi pun membayangi setiap individu setiap kali bepergian ke luar rumah. Persentase orang di dalam rumah naik ke angka 16,11 persen pada periode pertengahan Maret hingga Mei.
Padahal, rata-rata orang di dalam rumah pada masa awal pandemi hanya sekitar 1,13 persen. Pemberlakuan kebijakan PSBB di sejumlah daerah disertai kampanye tetap tinggal di rumah yang masif turut berpengaruh pada konsistensi untuk tidak berkegiatan di luar ruangan.
Selang beberapa bulan, tepatnya mulai Juni hingga September, sebagian masyarakat sudah melakukan berbagai kegiatan di luar ruangan. Google Mobility mencatat penurunan sekitar 4,4 persen kegiatan orang di dalam rumah.
Situasi tersebut diikuti oleh berbagai kegiatan, antara lain berbelanja di pusat perbelanjaan, perjalanan menggunakan moda transportasi tertentu, hingga bermain di taman, yang mulai meningkat pada periode Juni hingga September. Seluruh kegiatan di luar ruangan, yang sempat turun drastis hingga minus 38 persen, naik lebih dari 100 persen.
Aktivitas publik yang naik signifikan meliputi ritel dan rekreasi. Setelah mencatat angka minus selama periode Maret hingga awal September, angka itu menjadi positif sekitar 2 persen pada pertengahan September.
Skala mikro
Kebijakan PSBB dipilih sebagai cara utama mengurangi penularan dengan membatasi pergerakan masyarakat. Dalam perkembangannya, muncul opsi pembatasan skala mikro yang menyasar lingkup kecil di masyarakat atau disebut pembatasan sosial berskala mikro (PSBM).
Pada PSBB, pembatasan diterapkan di seluruh wilayah secara penuh, sedangkan pada PSBM pembatasan dilakukan pada unit sosial yang lebih kecil atau komunitas. Dalam konteks unit kewilayahan di Indonesia, unit sosial yang dimaksud dapat berupa kelurahan atau RW.
Baca juga: Antisipasi PHK, Optimalkan Bansos dan Stimulus
Kebijakan PSBM memiliki beberapa kelebihan daripada PSBB. Pertama, strategi ini lebih hemat karena ada kerja sama antara pemerintah dan komunitas terkait. Anggota masyarakat akan saling membantu sehingga memunculkan rasa kebersamaan antarwarga.
Implikasinya, ancaman stigmatisasi atau kelaparan karena tidak ada akses ke bahan pangan dapat ditekan. Masyarakat akan saling memahami dan memiliki tekad bersama menghadapi pandemi.
Kedua, setiap wilayah memiliki laju infeksi dengan tingkat kedisiplinan masyarakat yang berbeda-beda. Karena itu, penentuan prioritas penanganan melalui PSBM patut dilakukan.
Ketiga, PSBM sesuai untuk wilayah munculnya kluster, seperti asrama, pesantren, atau tingkat kampung. Sebagai contoh, DKI Jakarta sebenarnya sudah melakukan kebijakan PSBM sejak Juni, dengan pengesahan wilayah pengendalian ketat di tingkat RW.
Secara rutin, DKI Jakarta melakukan penilaian tingkat RW setiap dua minggu. Pada 4-18 September, tercatat setidaknya ada 25 RW yang termasuk zona rawan, paling banyak berada di Jakarta Pusat, yaitu 13 RW.
Selain DKI Jakarta yang telah terlebih dahulu menggunakan pendekatan PSBM, beberapa daerah juga memutuskan memberlakukan PSBM untuk menangani pandemi di wilayah mereka. Pemerintah Kota Pekanbaru, misalnya, memilih menerapkan PSBM di Kecamatan Tampan mulai 15 September selama 14 hari. Hal itu ditempuh melalui Peraturan Wali Kota Nomor 160 Tahun 2020 tentang PSBM.
Hal serupa dipilih wilayah penyangga Ibu Kota, yaitu Bogor, Depok, dan Bekasi, setelah diberlakukannya PSBB secara ketat di DKI Jakarta. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyebutkan bahwa penerapan PSBM di Bodebek sebagai bentuk dukungan terhadap DKI Jakarta.
Walau memiliki lingkup yang lebih mikro, PSBM tetap harus dilakukan dengan persiapan yang baik. Ada beberapa syarat dan persiapan yang harus dilakukan pemerintah daerah. Prasyarat pertama, pemerintah daerah harus memastikan masyarakat mampu memenuhi kebutuhan harian tanpa keluar dari lingkungan tempat tinggal.
Walau memiliki lingkup yang lebih mikro, PSBM tetap harus dilakukan dengan persiapan yang baik.
Kebijakan PSBM juga menuntut sinergi kebijakan tingkat kota/kabupaten dengan provinsi, yaitu memastikan warga tidak beraktivitas di luar wilayahnya. Salah satu bentuknya, penerapan kebijakan bekerja dari rumah bagi karyawan yang lingkungan tempat tinggalnya ditutup.
Pilihan membatasi pergerakan masyarakat harus diterapkan dengan ketat. Alasannya, berdasarkan pengamatan Google Mobility mulai Februari hingga awal September, aktivitas di luar ruang makin meningkat. Kondisi tersebut dapat memperparah kondisi pandemi di dalam negeri.
Berbasis komunitas
Salah satu faktor penting dalam PSBM adalah pelibatan kelompok masyarakat berbasis komunitas tertentu. Dalam konteks kewilayahan di Indonesia, implementasinya dapat menggunakan skala kelurahan atau rukun warga (RW).
Komunitas penting dalam konteks pengurangan risiko pandemi. Ini sesuai dengan konsep pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas dalam penanggulangan bencana. Komunitas memegang peran penting dalam ukuran keberlanjutan sebuah kebijakan.
Setidaknya ada tiga hal yang menunjukkan urgensi kebijakan berpijak komunitas, yaitu efektivitas, legitimasi, dan kesetaraan di simpul sosial masyarakat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menegaskan pentingnya komunitas dalam penanganan pandemi.
Baca juga: PSBB Butuh Ketegasan dan Kedisiplinan
Dalam dokumen Managing Epidemics: Key Facts about Major Deadly Diseases (2018), WHO menggambarkan posisi komunitas sebagai kelompok terdepan dalam mendeteksi dan menangani wabah penyakit karena mereka yang terdampak secara langsung. Pelibatan komunitas perlu dibangun dengan koordinasi yang jelas. WHO menjelaskan ada tiga poin penting komunikasi komunitas. Pertama, membangun dialog antara pengambil kebijakan dan komunitas untuk memahami persepsi serta keyakinan dua pihak, termasuk mengidentifikasi pola penularan.
Kedua, membangun kepercayaan melalui komunikasi dalam konteks menemukan solusi bersama demi pengurangan transmisi. Terakhir, memberdayakan masyarakat melalui jaminan kebutuhan harian dan medis, termasuk secara intensif memberikan pengetahuan kepada masyarakat.
Melihat berbagai kemudahan dan manfaatnya, penentuan prioritas penanganan di suatu wilayah dapat dilakukan dengan diimbangi penerapan PSBM. Saat ini, pemerintah daerah perlu fokus ke daerah-daerah dengan status risiko tinggi, seiring dengan pembenahan layanan kesehatan untuk pasien terkonfirmasi, suspek, ataupun probable Covid-19. Harapannya, penularan virus korona di Indonesia dapat ditekan seminimal mungkin.
(LITBANG KOMPAS)