Hak Anak Berkebutuhan Khusus Belum Dipenuhi Optimal
Kesulitan anak berkebutuhan khusus yang cenderung luput dari perhatian mengerucut pada pendapat masyarakat bahwa pemenuhan hak mereka belum optimal. Hal ini tergambar dalam jajak pendapat ”Kompas”, awal September lalu.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 merupakan masa sulit dan memberi pukulan berat bagi anak berkebutuhan khusus. Dukungan konkret pemerintah sangat dibutuhkan.
Pandemi yang diikuti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mengakibatkan anak berkebutuhan khusus (ABK) kesulitan menjalankan rutinitas keseharian. Aktivitas terkait pemenuhan hak ABK bukan sektor prioritas yang boleh berjalan selama PSBB.
Dari 11 sektor yang dikecualikan pada PSBB pertengahan April-awal Juni di 4 provinsi dan 22 kabupaten/ kota, sebagian besar terkait aktivitas ekonomi. Aktivitas lain yang dikecualikan ialah pelayanan kesehatan dan energi. Hal serupa berlaku saat penerapan PSBB kedua di sejumlah wilayah.
Akses pendidikan ditetapkan sebatas pembelajaran jarak jauh, khususnya bagi ABK. Akibatnya, banyak tempat terapi ABK down syndrome atau hiperaktif, misalnya, tak beroperasi.
Kesulitan ABK yang cenderung luput dari perhatian mengerucut pada pendapat masyarakat bahwa pemenuhan hak ABK belum optimal. Hal ini tergambar dalam hasil jajak pendapat Kompas, awal September lalu.
Belum memadai
Sekitar 34 persen responden menilai pemerintah belum berupaya memadai dalam pemenuhan hak-hak ABK. Hampir tujuh dari 10 responden menilai pemerintah kurang berupaya optimal dan belum mengakomodasi kebutuhan pembelajaran jarak jauh ABK. Empat dari 10 responden menilai pemerintah belum menyentuh kebutuhan ABK dalam pendidikan daring.
Sulitnya pembelajaran daring bagi ABK tergambar dari survei yang dilakukan Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas Respons Covid-19. Survei pada April di 32 provinsi ini menemukan 67,97 persen responden ABK mengungkapkan kesulitan selama menjalani pembelajaran jarak jauh.
Tantangan yang dihadapi ABK lebih berat. Kebijakan pemerintah menerapkan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi belum mempertimbangkan kondisi ABK. Mereka mengalami keterbatasan fisik, sensorik, mental, dan intelektual.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Peraturan ini mewajibkan pemerintah kabupaten/kota menyediakan sedikitnya satu sekolah dasar, sekolah menengah pertama di setiap kecamatan, dan satuan pendidikan menengah untuk pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus.
Namun, sampai tahun lalu, baru ada 29.317 sekolah inklusif di Indonesia, 11 persen dari jumlah sekolah. Sementara itu, hanya 18 persen ABK mengikuti pendidikan inklusif. Di sisi lain, tidak semua kabupaten/kota memiliki sekolah luar biasa.
Data Statistik Pendidikan 2019 mencatat, tujuh dari 10 ABK tidak bersekolah lagi. Adapun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperkirakan tujuh dari 10 ABK belum mendapat pendidikan layak.
Pemahaman dan sosialisasi kepada orangtua dan masyarakat untuk memberikan pendidikan terbaik bagi ABK juga minim. Hasil jajak pendapat ini memperlihatkan sepertiga responden tak mengetahui adanya pendidikan inklusif. Sekitar sepertiga responden lain belum memahami pendidikan inklusif bagi ABK kendati pernah mendengar istilah itu.
Melihat kompleksitas persoalan yang dihadapi ABK, hampir tiga perempat responden berpendapat akan lebih tepat jika pemerintah berfokus pada dukungan pembelajaran jarak jauh dan kemudahan akses terapi.