Sejarah Teknologi di Balap Sepeda Tour de France
Teknologi dilarang untuk digunakan dalam Tour de France pada masa sebelum tahun 1936. Namun, seiring berjalannya waktu, kemajuan teknologi boleh digunakan untuk membantu para peserta ajang balap sepeda prestisius itu.
Saat ini, Tour de France tidak hanya menjadi ajang ketangguhan atlet balap sepeda kelas dunia. Teknologi alat bantu di sepeda pun turut termutakhirkan. Padahal, sebelum tahun 1936, teknologi justru dilarang untuk digunakan di ajang balapan ini.
Tahun ini, Tour de France berlangsung dari 29 Agustus hingga 20 September 2020. Dikurangi 2 hari istirahat, maka lomba akan berlangsung selama 21 hari. Total lintasan lomba pada edisi ke-107 tahun 2020 ini sejauh 3.484 kilometer yang dibagi menjadi 20 etape. Rerata panjang lintasan tiap etape kurang dari 200 kilometer.
Untuk menyelesaikan lintasan sepanjang ribuan kilometer, manusia dan sepedanya harus dalam kondisi prima. Pebalap membutuhkan kemampuan fisik dan daya tahan tubuh, sedangkan sepeda berperan menyumbang kecepatan lewat teknologi mutakhir.
Sebagaimana dimuat di majalah sepeda VeloNews, salah satu alat bantu berteknologi yang pertama diadopsi adalah derailleur atau pemindah gir pada sepeda, dan quick release yang berfungsi memudahkan mengganti roda.
Panitia memilih derailleur buatan Super Champion untuk digunakan pada semua pesepeda Tour de France tahun 1937. Pemindah gir ini dilengkapi dengan empat variasi kecepatan dan pesepeda dapat memindah gir sembari terus mengayuh.
Menurut catatan dalam buku Bicycle The Definitive Visual History, salah satu pioner sistem derailleur modern adalah Tullio Campagnolo. Sistem yang ditawarkan Campagnolo itu belakangan diadopsi dengan diproduksi secara massal, dan masuk ke pasar tahun 1940-an.
Sumbangan Campagnolo lainnya yang cukup signifikan adalah sistem quick release yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1930. Model rancangan sistem lepas cepat roda masih digunakan hingga saat ini tanpa banyak berubah.
Sebelum 1936
Kejuaraan ini pertama kali diselenggarakan pada 1 Juli 1903 atas dorongan jurnalis dan pesepeda asal Perancis, Henri Desgrange (1865-1940). Pada mulanya, tur diselenggarakan sebagai bagian dari promosi untuk mendongkrak oplah penjualan koran L’Auto. Tidak disangka, antusiasme peserta membuat lomba ini bergulir lebih dari seabad.
Sejak awal, idealisme sang penggagas Desgrange adalah membangun reputasi kejuaraan ini untuk menguji kekuatan fisik pesepeda. Kemenangan paling besar porsinya harus berada pada faktor manusianya, bukan sepedanya.
Idealisme Desgrange memunculkan pembagian linimasa penggunaan teknologi dalam Tour de France menjadi dua era. Pertama, era sebelum 1936 dan era setelah 1937. Momen ini ditandai oleh keputusan Desgrange yang mengizinkan penggunaan bantuan teknologi mekanikal pada sepeda di perlombaan bersejarah ini.
Aturan yang diterapkan dengan maksud supaya dapat mendorong kemampuan peserta hingga ambang batas tertinggi. Panitia melarang adanya teknologi mutakhir yang dipasang pada sepeda.
Ketentuan ini muncul dari kekhawatiran bahwa adanya bantuan mekanis akan membuat balapan terlalu mudah dilalui. Beberapa aturan yang menguji nyali pebalap, antara lain, peserta hanya boleh menggunakan fixed gear seperti pada sepeda fixie saat ini.
Teknologi freewheel yang memungkinkan pesepeda mengistirahatkan kakinya untuk berhenti mengayuh sudah tersedia sejak tahun 1900. Namun, penggunaan komponen ini dilarang. Dengan hanya menggunakan fixed gear, tantangan terberat terjadi ketika melewati tanjakan. Melihat hal ini, panitia mengizinkan peserta memasang dua gir dengan ukuran yang berbeda di dua sisi poros roda.
Dengan hanya menggunakan fixed gear, tantangan terberat terjadi ketika melewati tanjakan.
Peserta harus berhenti dan turun dari sepeda untuk mengganti gir. Roda belakang harus dilepas, kemudian diputar 180 derajat untuk dapat mengaitkan rantai sepeda pada gir di sisi lain roda. Barulah ia dapat melanjutkan perjalanan dengan gir yang sudah disesuaikan kebutuhan.
Padahal, teknologi pemindah gir sudah tersedia sejak tahun 1903. Adalah Sturmey-Archer yang memperkenalkan gir dengan tiga kecepatan. Sistem buatan Archer dioperasikan dengan menekan dan menarik tuas untuk memilih gir, belum menggunakan sistem kabel seperti saat ini.
Baca juga: Tour de France, Jauh di Mata Dekat di Hati
Aturan lainnya ialah peserta tidak boleh didampingi mekanik untuk memperbaiki sepeda. Segala kendala mekanis harus ditangani sendiri oleh peserta. Maka dari itu, pada 30 edisi awal Tour de France, peralatan perbaikan, ban cadangan, dan pompa sepeda terpasang di rangka sepeda.
Belum lagi bobot sepeda yang dikayuh bisa sekitar 12-15 kilogram termasuk peralatan dan air minum yang dibawa. Dahulu, sepeda balap masih terbuat dari bahan besi, sekarang mayoritas berbahan komposit karbon yang ringan. Sebagai perbandingan, sepeda kompetisi di era modern menurut ketentuan Union Cycliste Internationale (UCI) minimal seberat 6,8 kilogram.
Aturan Tour de France yang begitu menyulitkan tidak membendung para peserta mencapai garis finis. Capaian rata-rata waktu tempuh tercepat pada periode 1903 hingga 1936 mencapai 31 km/jam. Kecepatan ini cukup tinggi dibandingkan dengan pesepeda pemula dengan sepeda modern yang rata-rata kecepatannya sekitar 24 km/jam.
Semakin sengit
Dengan hadirnya teknologi canggih, bukan berarti kompetisi ini menjadi mudah dilalui seperti yang dikhawatirkan Desgrange. Dari perbandingan catatan waktu terlihat persaingan antarpebalap Tour de France dari waktu ke waktu semakin sengit.
Catatan kecepatan peserta era sebelum 1936 ialah 27 km/jam untuk menyelesaikan lomba. Setelah tahun 1937 hingga saat ini, rata-rata kecepatan tertinggi mencapai 37 km/jam. Artinya, terdapat peningkatan kecepatan 10 km/jam dari dua era yang berbeda.
Selisih waktu yang semakin sempit menandakan semakin ketatnya Tour de France di masa kini. Bahkan, posisi finis antarpebalap di beberapa etape hanya berselisih setengah diameter ban saja atau hanya sepersekian detik.
Lihat juga: Tadej Pogacar Memenangi Etape Ke-15 Tour de France
Panjang lintasan pada tiap etape semakin berkurang dibanding dengan edisi awal tur. Pada 1903, lintasan yang dilombakan sejauh 2.428 km dan dibagi menjadi 6 etape. Berarti, panjang lintasan tiap etape sekitar 400 km.
Jika dibandingkan dengan tur edisi 2020, yang lintasannya sepanjang 3.484 km dibagi menjadi 20 etape, rerata panjang lintasan tiap etape kurang dari 200 km. Hal ini menandakan bahwa pebalap harus lebih kencang memacu sepeda dan menyiapkan adu strategi untuk mencapai finis.
Penggunaan teknologi canggih pada sepeda dan penambahan etape tidak mengubah marwah lomba, yakni menguji stamina para pebalap. Ajang yang berat justru menjadi daya tarik persaingan menuju gelar juara Tour de France.
Penggunaan teknologi canggih pada sepeda dan penambahan etape tidak mengubah marwah lomba, yakni menguji stamina para pebalap.
Di sinilah titik tumpu penegasan bahwa untuk melalui ribuan kilometer rute Tour de France diperlukan kualitas manusia yang tangguh fisik juga mental. Tour de France tetap menjadi panggung tertinggi kontestasi balap sepeda dunia.
Khusus tahun ini muncul satu lagi tantangan bagi para peserta. Mereka harus ketat dalam menerapkan protokol kesehatan dalam masa pandemi Covid-19.
Aturan yang ditetapkan oleh penyelenggara Amaury Sport Organization (ASO) dan otoritas kesehatan Perancis menyatakan bahwa jika dua anggota tim, pengendara atau staf, dinyatakan positif terinfeksi virus korona, seluruh tim akan dikeluarkan dari perlombaan. Jadi lengkaplah sudah ujian kemampuan seorang pebalap untuk memenangi Tour de France.
(LITBANG KOMPAS)