Beban Berlipat Orangtua dan Anak Berkebutuhan Khusus
Problem berlipat muncul pada anak berkebutuhan khusus dan orangtua pada saat Covid-19 karena minimnya kemampuan adaptasi.
”Saya kalau pas ada kelas online rasanya ingin mengkloning diri.” Sepenggal kalimat yang diucapkan Melany Broto (37) sedemikian kuat mewakili rasa keterbatasan adaptasi orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus pada saat pandemi Covid-19.
Bagi orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusuh (ABK), menjadi guru sementara di tengah pandemi ini adalah sebuah kesulitan yang berlipat. Belum lagi jika orangtua memiliki lebih dari satu anak yang semua harus belajar di rumah untuk saat ini.
Keadaan inilah yang tak jarang membuat frustrasi, seperti diungkapkan Melany Broto. ”Jadi di satu sisi adiknya minta bantuan Mamanya. Di sisi lain harus menjaga kakaknya yang punya kebutuhan khusus,” ujar Melany.
Sementara, enam bulan berlalu dan kasus positif Covid-19 di Indonesia justru kian masif. Menurut catatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dalam laman covid19.go.id, sejak memasuki awal September, jumlah terkonfirmasi positif Covid-19 secara harian tidak pernah kurang dari 3.000 kasus.
Situasi pandemi Covid-19 memaksa pemerintah mengambil kebijakan darurat, salah satunya memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara total.
Sepanjang Maret-Mei 2020, tercatat ada empat provinsi dan 22 kabupaten/kota melaksanakan PSBB. Pembatasan itu salah satunya terjadi di Provinsi DKI Jakarta.
Kebijakan PSBB di sejumlah wilayah, termasuk di DKI Jakarta, kini berulang walaupun tidak seketat sebelumnya, mengingat pandemi tak kunjung mereda. Kondisi ini tentu membuat semua orang tertekan lantaran hampir semua aktivitas menjadi sangat terbatas.
Jika bagi orang normal saja pandemi ini menimbulkan tekanan, sulit dibayangkan tekanan pada ABK yang kini memiliki keterbatasan ganda, dari dalam dan luar, termasuk bagi orangtuanya.
Pasalnya, ABK adalah anak yang harus menjalani hidup dengan kondisi fisik atau nonfisik berbeda. Anak berkebutuhan khusus mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan secara fisik, mental-intelektual, sosial, ataupun emosional yang berpengaruh pada proses tumbuh kembang anak.
Dalam situasi normal, aktivitas ABK tidak bisa bebas layaknya anak pada umumnya. Sejumlah jenis kebutuhan khusus yang dialami ABK antara lain gangguan penglihatan, pendengaran, gerak, dan pengendalian diri. Untuk dapat menjalani aktivitas kesehariannya, mereka membutuhkan bantuan orang lain.
Baca juga: Lindungi Anak Berkebutuhan Khusus
Hambatan Anak
Di tengah pandemi ini, tentu kendala yang dialami ABK semakin kompleks. Bagi ABK yang masih mengenyam pendidikan, pandemi menjadi situasi yang menambah beban mereka.
Pendapat senada diungkapkan oleh lebih dari seperempat responden dalam jajak pendapat Kompas minggu lalu. Kesulitan utama yang dialami ABK di masa pandemi, menurut mereka, adalah kegiatan belajar yang dilakukan di rumah.
Persoalan ini bukan hanya sebatas ketersediaan teknologi. Kalangan ABK harus beradaptasi dengan cara belajar yang baru.
Sebelum muncul pandemi, ABK bersekolah di sekolah umum tetapi dikelompokkan secara khusus dengan ABK lainnya. Ada juga ABK yang sekolah di sekolah luar biasa (SLB).
Baca juga: Pandemi Mengikis Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Sementara, sistem belajar daring yang diterapkan di tengah pandemi belum tentu semuanya dapat dilakukan di rumah oleh ABK dengan keterbatasan yang beragam. Sebagai contoh, seorang ABK dengan tunanetra harus menunggu materi dalam bentuk tulisan diubah ke dalam bentuk audio dengan aplikasi screen reader (Kompas, 30/7/2020).
Seperempat responden lain berpendapat, ABK juga mengalami kendala pengobatan, baik terapi maupun klinik karena kebijakan PSBB. Jika kegiatan terapi berhenti, progres tumbuh kembang ABK berpotensi menurun.
Hal ini dialami Arka (9,5), seorang ABK dengan gangguan autis (ASD) sejak usia 2 tahun. Melany Broto, ibu dari Arka, mengaku terjadi penurunan motorik dan kognitif pada Arka setelah tidak mengikuti terapi selama enam bulan sejak Covid-19 mewabah di Indonesia.
”Enam bulan enggak bisa terapi, jadi seperti mulai dari nol. Yang diajarkan sejak usia 2 tahun jadi seperti hangus, dihancurkan oleh pandemi ini. Misalnya untuk identifikasi benda, harus mulai dari awal lagi,” ujarnya dalam sebuah wawancara melalui konferensi video.
Seorang psikolog, dr Erna Marina Kusuma, membenarkan bahwa pandemi yang terjadi saat ini sangat berat bagi ABK karena selama ini terbiasa dengan terapi intensif yang tidak dilakukan di rumah (Kompas TV, 29 Juli 2020). Sementara tempat terapi dan klinik harus tutup karena adanya pembatasan aktivitas.
Di sisi lain, anjuran untuk menerapkan protokol kesehatan dengan rutin mencuci tangan dan memakai masker merupakan kendala lain bagi ABK, diungkapkan oleh 23,7 persen responden. Keterbatasan secara fisik dan kemampuan menangkap informasi tentang Covid-19 menjadi alasannya.
Hal itu membuat tiga dari sepuluh responden berpendapat bahwa ABK lebih rentan terpapar Covid-19 karena sangat mungkin abai terhadap protokol kesehatan.
Sementara, 16,5 persen responden lainnya mengkhawatirkan kondisi psikologis ABK karena rasa terpenjara selama pandemi. Akibatnya, tak jarang membuat ABK menjadi tantrum (kemarahan yang tak terkatakan pada anak).
Peran orangtua
Dalam situasi ini, tak dapat dimungkiri bahwa peran orangtua atau keluarga ABK adalah yang utama. Mayoritas responden (86,8 persen) mengatakan bahwa orangtua atau keluarga ABK seharusnya menjadi pihak yang paling berperan dalam merawat dan mendidik ABK.
Namun, pandemi ini juga memberikan sejumlah tantangan yang harus dihadapi orangtua ABK. Seperempat responden berpendapat, mengajari ABK dalam sistem belajar daring adalah kesulitan utama orangtua ABK saat ini. Hal ini seirama dengan pendapat responden yang mengatakan kesulitan utama ABK di tengah pandemi adalah kegiatan belajar di rumah.
Beruntungnya, Melany adalah ibu rumah tangga yang hanya fokus merawat anak-anaknya, suaminya yang bekerja. Sementara, ada orangtua ABK lain yang harus tetap bekerja, baik di rumah maupun tetap ke kantor.
Situasi tersebut membuat seperempat responden lainnya mengatakan bahwa kesulitan kedua yang dialami orangtua ABK di masa pandemi adalah membagi waktu antara pekerjaan dan merawat ABK.
Memberi pemahaman bagi ABK terkait Covid-19 dan cara menerapkan protokol kesehatan pun tak mudah bagi orangtua, seperti diungkapkan seperlima responden. Sementara, seperempat responden lain mengatakan, menjadi pengganti terapis dan menjaga suasana hati ABK saat semua kegiatan dilakukan di rumah juga menjadi tantangan tersendiri bagi orangtua ABK.
Tak heran jika ada orangtua ABK yang memutuskan untuk menitipkan ABK kepada trainer dengan sistem lima hari bersama trainer dan dua hari diajak pulang ke rumah. Hal ini dilakukan Arie (44), bahkan sejak sebelum pandemi, karena merasa kewalahan dalam mengatasi ABK dengan gangguan autis yang sering mengalami tantrum.
Dampak emosional
Pengalaman Arie secara tidak langsung menunjukkan bahwa tantangan bagi orangtua yang memiliki ABK bukan hanya dialami saat pandemi saja. Jauh sebelum itu, sejak mengetahui memiliki anak dengan kebutuhan khusus sudah memberi tantangan tersendiri.
Seperlima responden jajak pendapat Kompas mengatakan bahwa menerima kenyataan bahwa anak tidak sama dengan anak lainnya sudah menjadi masalah bagi orangtua ABK. Bisa dipastikan, orangtua mengalami shock yang hebat saat mengetahuinya dan menyangkal kenyataan tersebut.
Seorang psikolog, Dra Rahmitha, dalam publikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011), menceritakan bahwa selama lebih kurang 20 tahun menjadi psikolog, ia menemui ratusan orangtua ABK yang shock dan mengeluh tentang kondisi anaknya. Tak dapat dimungkiri, hal itu masih terjadi hingga saat ini.
Bahkan, tidak jarang orangtua ABK yang merasa malu dengan kondisi anaknya sehingga menarik diri dari masyarakat. Seperlima responden berpendapat bahwa stigma masyarakat tentang anak berkebutuhan khusus menjadi persoalan bagi orangtua ABK.
Sebuah publikasi berjudul ”Parenting Children with Special Needs” oleh Kantor Fakultas dan Staf Universitas Boston memetakan sejumlah dampak emosional yang dialami orangtua ABK.
Salah satu dampaknya adalah perasaan terisolasi dari kehidupan bermasyarakat, bahkan dari keluarga besarnya. Hingga ada orangtua ABK yang dianggap sombong oleh keluarga besarnya karena tidak pernah mengikuti perkumpulan keluarga, seperti dialami Loren Rosmawati yang memiliki ABK berusia 7 tahun.
Dampak emosional lainnya adalah rasa takut dan kekhawatiran akan masa depan anak, rasa bersalah karena hilangnya perhatian untuk anggota keluarga lain, dan kesedihan karena tidak memiliki pengalaman mengasuh anak seperti yang dibayangkan sebelumnya.
Problem laten
Selain dampak emosional, lebih dari seperempat responden mengatakan bahwa biaya yang tinggi untuk merawat ABK menjadi kendala bagi orangtua. Sebagai gambaran, Melany harus mengeluarkan Rp 150.000 hingga Rp 160.000 untuk satu kali terapi. Lebih kurang Rp 4 juta hingga Rp 5 juta dalam satu bulan.
Biaya tersebut barangkali tidak menjadi berat untuk keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Namun, bagi keluarga menengah ke bawah, sudah pasti menjadi beban yang berat. Bahkan, tidak jarang keluarga memutuskan untuk memasung ABK, terutama dengan gangguan autis, karena tidak memiliki biaya untuk perawatan dan pengobatannya.
Selain karena persoalan biaya, kurangnya pemahaman orangtua tentang cara merawat ABK boleh jadi menjadi penyebabnya, seperti yang diungkapkan oleh 21,2 persen responden.
Karena itu, menjadi penting bagi pemerintah untuk menyediakan sosialisasi hingga pelatihan bagi orangtua ABK terkait cara merawat dan mendidik ABK. Pasalnya, masih banyak orangtua yang kesulitan memperoleh layanan perawatan ABK, misalnya klinik terapi, seperti pendapat 11 persen responden. Layanan BPJS untuk pengobatan ABK juga masih belum tersedia di semua tempat.
Pelatihan tersebut dapat bermanfaat bagi orangtua ABK agar tetap dapat merawat anaknya di masa darurat seperti saat ini. Selain itu, bagi orangtua dengan kondisi ekonomi yang minim juga tetap dapat memberi perawatan dan bimbingan bagi ABK agar pasung tidak menjadi jalan keluarnya. Bagaimanapun, ABK juga memiliki hak yang sama dengan anak lainnya. (LITBANG KOMPAS)