Komunikasi Buruk Trump Perparah Pandemi
Komunikasi publik yang baik turut memengaruhi persepsi publik pada upaya perlawanan terhadap Covid-19. Komunikasi model Donald Trump menjadi contoh kontraproduktif bagi penanganan pandemi ini.
”I wanted to always play it down. I still like playing it down, because I don’t want to create a panic.” – Donald Trump
Setelah sembilan bulan sejak AS mengonfirmasi kasus positif Covid-19 pertama, terkuak bahwa Donald Trump memang sengaja meremehkan bahaya dari virus tersebut. Pola komunikasi publik yang dipertahankan selama berbulan-bulan tersebut berujung petaka.
Hingga kini, lebih dari 6,5 juta warga AS terjangkit dan lebih dari 196.000 dari mereka meninggal akibat virus Covid-19. Alhasil, Trump menjadi contoh nyata bahayanya komunikasi pandemi yang buruk.
Kutipan pernyataan Donald Trump itu terungkap setelah sebuah buku berjudul Rage yang ditulis oleh Bob Woodward, seorang jurnalis Harian The Washington Post, terbit. Menurut buku tersebut, pernyataan itu disampaikan oleh Donald Trump pada 15 Maret 2020 ketika diwawancara oleh Woodward.
Artinya, saat wawancara tersebut dilaksanakan, jumlah kasus harian di AS masih berada di kisaran 890 orang. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan kasus harian di AS akhir-akhir ini yang hampir selalu berada di atas 30.000 kasus setiap hari.
Dalam buku tersebut, Donald Trump memang secara gamblang mengakui bahwa ia tidak jujur ketika mengomunikasikan perihal virus Covid-19 di masyarakat. Di depan publik, Trump menyampaikan beberapa pernyataan yang cenderung meremehkan bahaya Covid-19.
Hal ini trampak dari pernyataannya pada 10 Februari ketika virus Covid-19 baru terdeteksi masuk ke AS. Ia menyatakan bahwa virus akan menghilang dengan sendirinya ketika cuaca di AS menjadi lebih hangat pada bulan April. Tidak hanya itu, 9 Maret 2020, Trump mengatakan bahwa Covid-19 tidak lebih berbahaya dari flu biasa melalui cuitannya di Twitter.
Pernyataan-pernyataan Trump tersebut bertolak belakang dengan pandangan pribadinya terhadap Covid-19. Dalam wawancaranya dengan Woodward, ia mengakui Covid-19 merupakan virus yang berbahaya dan jauh lebih mematikan ketimbang flu biasa. Ia bahkan menyampaikan kekhawatirannya bahwa virus tersebut dapat dengan mudah menular lewat udara.
Donald Trump memang secara gamblang mengakui bahwa ia tidak jujur ketika mengomunikasikan perihal virus Covid-19 di masyarakat.
Dalam pembelaannya, Trump mengaku tidak punya pilihan lain. Ia merasa harus menjadi pemandu sorak bagi masyarakat AS di tengah sulitnya masa pandemi ini. Menurut Trump, komunikasi yang jujur terkait Covid-19 hanya akan membuat masyarakat menjadi gaduh dan panik. Itulah yang ingin ia hindari sejak awal Covid-19 masuk ke AS.
Walakin, cara komunikasi tersebut justru berujung pada petaka. Cara komunikasi yang tidak menghadirkan sense of crisis ini membuat penanganan penyebaran Covid-19 oleh pemerintah menjadi setengah hati dan masyarakat ikut menyepelekan bahaya virus tersebut. Alhasil, situasi Covid-19 di AS pun semakin tidak terkendali.
Situasi Covid-19 di AS
Sepanjang dua bulan terakhir, sebetulnya tren pertumbuhan kasus Covid-19 di AS sedang melandai. Peningkatan pertumbuhan kasus di AS paling tajam terlihat selama Juli silam. Saat itu, pertumbuhan kasus baru yang berada di kisaran 50.000 per hari terus menanjak. Bahkan, pada puncaknya, jumlah kasus harian di AS dapat mencapai lebih dari 74.000 jiwa. Namun, angka ini berangsur-angsur dapat ditekan hingga berada di kisaran 30.000 kasus per hari.
Meskipun begitu, situasi pandemi di AS masih sangat mengkhawatirkan. Hingga 11 September 2020, telah ada lebih dari 6,5 juta kasus Covid-19 terkonfirmasi di AS. Jumlah kematian akibat virus ini di AS pun sangat mengerikan, di angka lebih dari 196.000 jiwa. Dari serangkaian data statistik tersebut, dapat dipastikan bahwa AS menjadi negara di dunia yang paling terdampak virus Covid-19.
Secara geografis, kasus Covid-19 paling parah terdapat di 20 negara bagian yang paling parah. Wilayah-wilayah itu memiliki kasus positif lebih dari 100.000 orang. Di antara negara-negara bagian tersebut, terdapat 7 negara bagian yang paling parah dengan jumlah kasus lebih dari 200.000 orang. Beberapa negara bagian tersebut ialah California, Texas, Florida, New York, Georgia, Illinois, dan Arizona.
California menjadi negara bagian di AS dengan kasus Covid-19 terbanyak. Hingga 10 September 2020, terdapat lebih dari 751.000 orang di wilayah itu yang terpapar virus Covid-19. Posisi itu disusul oleh Texas dan Florida dengan jumlah kasus masing-masing 681.000 orang dan 654.000 orang.
Sementara itu, meski memiliki jumlah kasus yang lebih sedikit di kisaran angka 475.000 orang, New York memiliki jumlah kematian yang paling tinggi di AS. Setidaknya, ada lebih dari 33.000 orang meninggal akibat terpapar Covid-19 di negara bagian itu. Artinya, nyaris 17 persen dari seluruh kematian akibat Covid-19 di AS terkonsentrasi di New York.
Selain New York, negara bagian lain yang memiliki jumlah kematian yang besar dibandingkan dengan jumlah kasus ialah New Jersey. Meski memiliki jumlah kasus yang lebih sedikit dibandingkan ketujuh negara bagian di atas, yakni sekitar 198.000 kasus, daerah tetangga dari New York itu memiliki jumlah kematian 16.000 jiwa.
Pengaruh Komunikasi Publik yang Baik
Di lapangan, komunikasi publik pemerintah memengaruhi upaya penanganan Covid-19 di AS. Gaya komunikasi Trump yang meremehkan bahaya Covid-19 tersebut menimbulkan perpecahan di tingkat elit. Salah satu contoh kasusnya ialah perselisihan yang terjadi antara Gubernur New York Andrew Cuomo dan Donald Trump.
Dengan penyebaran kasus yang cepat dan makin banyaknya korban meninggal di New York, tentu Cuomo sadar betul dengan bahaya dari Covid-19. Mau tak mau, ia pun harus berani mengambil keputusan penting, seperti menetapkan perintah pembatasan sosial dan memastikan dipatuhinya protokol kesehatan.
Namun, dengan sikap pemerintah pusat yang santai, langkah-langkah Cuomo tak dapat berjalan dengan maksimal. Akhirnya, semakin hari kian banyak korban jiwa berjatuhan di New York.
Sikap pemerintah pusat ini kemudian didengungkan oleh media-media di AS. Media-media yang memiliki keberpihakan dengan Trump atau Partai Republikan menyampaikan narasi-narasi yang menganggap enteng bahaya Covid-19. Akhirnya, hal tersebut menimbulkan persoalan persepsi terkait Covid-19 di tingkat akar rumput.
Alhasil, mereka yang memiliki keberpihakan politik kepada Trump atau Partai Republikan memiliki pandangan yang serupa dengan narasi Trump. Ujungnya, orang-orang tersebut cenderung tidak percaya dengan bahaya Covid-19 dan enggan menaati protokol kesehatan.
Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil penelitan dari lembaga survei Gallup. Menurut hasil jajak pendapat yang dilaksanakan pada 29 Juni hingga 5 Juli 2020 oleh lembaga tersebut, hanya 24 persen simpatisan Partai Republikan yang mengaku selalu menggunakan masker di tempat umum.
Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan persentase masyarakat yang memiliki keberpihakan pada Partai Demokrat yang mengaku selalu menggunakan masker di tempat umum dengan angka 61 persen.
Fenomena ini perlu diamati dan dicatat bagi seluruh pemangku kebijakan di dunia. Meski diawali dengan niat baik untuk meredam kepanikan masyarakat, pola komunikasi yang tertutup dan cenderung memandang remeh bahaya Covid-19 telah terbukti berbahaya.
Upaya penanganan pandemi perlu dimulai dengan komunikasi yang jujur dan terbuka dengan masyarakat. Dengan begitu, masyarakat dapat memahami seberapa berbahayanya Covid-19 yang kemudian akan mendorong mereka untuk lebih menaati protokol kesehatan. (LITBANG KOMPAS)