Memahami Konstelasi Politik di Sumbar
Di satu sisi konstelasi politik Sumatera Barat tidak pernah lepas dari orientasi politik Islam. Di sisi lain, keterbukaan politik juga mengemuka sebagai perjalanan sejarah politik di tanah Minang.
Pernyataan Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Puan Maharani yang menyebut soal relasi Sumatera Barat dan Pancasila menulai pro dan kontra. Banyak pihak menilai pernyataan ini tidak lepas dari belum mampunya partai berlambang banteng ini mendulang suara maksimal di provinsi ini. Apalagi pernyataan itu disampaikan ketika memberikan surat rekomendasi dukungan untuk pasangan calon pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat.
Terlepas dari pernyataan tersebut, menarik kita melihat bagaimana Sumatera Barat tidak bisa dilepaskan dengan konstelasi politik Islam di negeri ini. Sejarah mencatat, rekam jejak elektoral politik di provinsi ini lebih dekat dengan partai politik berbasis pemilih Islam dibandingkan dengan partai-partai nasionalis. Meskipun dalam perkembangannya partai nasionalis pun bisa meraih suara dominan, namun basis dukungan masih dirasakan lebih besar oleh partai-partai berorientasi pemilih muslim di wilayah ini.
Sejarah mencatat bagaimana Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang merupakan partai Islam terbesar dalam sejarah republik ini menguasai wilayah Sumatera Barat di Pemilu 1955 (saat itu nomenklatur masih disebut Sumatera Tengah).
Di pemilu pertama yang digelar dalam sejarah politik Indonesia ini, Masyumi mampu mendulang 50,7 persen suara dari ranah Minang ini. Hal ini menjadi potret separuh lebih pemilih di Sumatera Barat memilih Masyumi.
Perolehan suara Masyumi ini, jika dibandingkan dengan perolehan suaranya secara nasional, setara atau menyumbang 10,1 persen untuk rekapitulasi suara nasionalnya. Dengan perolehan suara mayoritas ini, Masyumi mampu meraih 6 kursi dari wilayah ini. Sekali lagi, jumlah kursi dari Sumatera Barat ini juga menyumbang 10,5 persen dari total perolehan kursi Masyumi di Pemilu 1955.
Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) merupakan partai Islam terbesar dalam sejarah republik ini
Selain memenangi pemilu di Sumbar, Partai Masyumi juga mendominasi perolehan suara di Sumatera Utara (37,0 persen) dan Sumatera Selatan (43,1 persen). Dari kedua provinsi ini, Masyumi mendulang 10 kursi. Jadi total jika digabung dengan perolehan kursi di Sumatera Barat (Sumatera Tengah kala itu) Masyumi meraih 16 kursi. Jumlah total kursi ini setara 28 persen dari total kursi Masyumi secara nasional di DPR kala itu.
Menariknya, dibandingkan Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, di Sumatera Barat (Sumatera Tengah), dari empat besar partai politik peraih suara tertinggi, tiga diantaranya adalah partai berbasis Islam, yakni Masyumi (55,7 persen), Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dengan 22,4 persen, Partai Komunis Indonesia (PKI) 5,8 persen, dan Partai Persatuan Tharekat Indonesia (PPTI) 2,2 persen.
Sebaliknya di dua provinsi yang lain, di Sumatera Utara, Masyumi peringkat pertama, namun tiga partai di bawahnya adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 37 persen suara, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 13,6 persen, dan PKI 12,1 persen.
Hal yang sama terjadi di Sumatera Selatan. Masyumi di peringkat pertama (43,1 persen) disusul kemudian PNI (14,6 persen), PKI (12,1 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan 10,2 persen suara. Dari pemetaan ini tampak bahwa Sumatera Barat memang lebih kental orientasi politik Islamnya dibandingkan kedua provinsi lainnya.
Konstelasi berubah
Setelah Pemilu 1955, Masyumi tak bertahan dalam konstelasi politik Indonesia. Dinamika politik yang penuh gejolak pada akhirnya melahirkan keputusan bagi pemerintahan Soekarno pada 1960 untuk membubarkan Masyumi. Tujuh tahun kemudian konstelasi politik berubah, kekuasaan Soekarno berhenti yang kemudian digantikan Soeharto.
Pengaruh partai Islam pun sedikit meredup dengan kekuasaan negara yang begitu kuat dalam mengendalikan partai politik. Golkar, sebagai partai penguasa berpengaruh besar dalam memengaruhi orientasi politik pemilih, termasuk di Sumatera Barat.
Namun, meskipun Golkar sebagai partai yang dibangun oleh kekuasaan Orde Baru dan berhasil memenangkan Pemilu 1971 di Sumbar, tidak menutup fakta bahwa pemenang kedua masih ditempati oleh partai berbasis pemilih Islam. Partai itu adalah Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi.
Partai ini meraih 22,7 persen suara di Sumatera Barat. Meskipun meraih posisi kedua, namun Sumatera Barat menjadi basis pemilih Parmusi. Sebab perolehan suaranya itu mampu menyumbang 9,3 persen suara Parmusi secara nasional.
Hal ini berbeda dengan Golkar, meskipun suaranya tertinggi di Sumatera Barat, sumbangan ke suara nasionalnya hanya 2,2 persen. Hal ini menyimpulkan, Sumbar masih menjadi basis pemilih Islam, dalam hal ini Parmusi yang menjadi ‘limpahan’ suara pemilih Islam setelah Masyumi tak ada lagi sebagai saluran politik mereka.
Sementara PNI yang menjadi saluran politik pemilih nasionalis kebangsaan juga belum mampu mendulang dukungan yang besar. Partai yang didirikan oleh Soekarno ini hanya meraih 0,4 persen suara di Pemilu 1971 di Sumatera Barat.
Kekuasaan Orde Baru makin menguat bersama Golkar. Pada 1973 kebijakan fusi partai kemudian diterapkan untuk menyederhanakan sekaligus memudahkan kekuasaan mengontrol kehidupan partai politik dan pemilu. Dua partai politik dan satu Golkar, begitu slogan yang kerap dikumandangkan oleh Orde Baru untuk melegitimasi kebijakan fusi ini. Terbukti, kebijakan ini mampu meredam ekspresi politik pemilih yang pada hakekatnya beragam menjadi lebih seragam.
Praktis, sepanjang pemilu pasca kebijakan fusi ini, Golkar menjadi penguasa tunggal dan mampu mendominasi perolehan suara, termasuk di Sumatera Barat. Namun, menariknya, sekali lagi, data menyebutkan, ekspresi pemilih di provinsi ini memang tidak bisa lepas dari orientasi politik berbasis Islam.
Hal ini terbukti sepanjang pemilu era Orde Baru, pemenang keduanya setelah Golkar adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai ini adalah hasil fusi dari partai-partai Islam. Sementara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan hasil fusi dari partai-partai nasional berada di urutan ketiga pada hasil pemilu di Sumatera Barat.
Rata-rata perolehan suara PPP di Sumatera Barat saat pemilu di era Orde Baru adalah 24,4 persen dan PDI mencapai 1,2 persen. Selisih keduanya memang jauh di bawah Golkar yang rata-rata mencapai 75,7 persen. Meskipun demikian, PPP relatif menguat karena mampu mendulang kursi DPR dari provinsi Sumatera Barat ini dibandingkan dengan PDI.
Sepanjang pemilu di era Orde Baru, PDI hanya mampu mendapatkan 1 kursi ketika di Pemilu 1992 dan setelah itu di Pemilu 1997, pemilu terakhir di era ini PDI gagal kembali tanpa satu kursi pun diraih dari Sumatera Barat.
Kontestasi terbuka
Memasuki pemilu di era reformasi, kontestasi politik sebenarnya lebih terbuka, termasuk di Sumatera Barat. Hal ini terbukti partai-partai nasionalis lebih banyak mendulang suara di provinsi ini dibandingkan partai-partai berbasis pemilih muslim.
Meskipun demikian, polanya relatif tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya karena partai bercorak Islam berada di urutan berikutnya yang masuk dalam lima besar partai pendulang suara terbesar di provinsi ini.
Di Pemilu 1999, polanya relatif masih sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Partai Golkar masih menunjukkan pengaruhnya di Pemilu 1999 dengan menguasai 23,6 persen pemilih di Sumatera Barat. Kemudian disusul oleh partai-partai berbasis pemilih Islam, seperti Partai Amanat Nasional (PAN), PPP, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Namun, selain Golkar, di pemilu-pemilu berikutnya muncul Partai Demokrat dan Partai Gerindra yang kemudian mencuat dalam jajaran partai peraih suara terbanyak di Sumatera Barat.
Menariknya, apa yang dialami oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak jauh berbeda dengan pemilu era Orde Baru. Partai pemenang tiga kali pemilu di era reformasi ini, yakni Pemilu 1999, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019, masih belum berhasil menaklukkan Sumatera Barat yang selama ini identik dengan basis pemilih Islam.
Kontestasi politik lebih terbuka terjadi di Sumatera Barat. Partai-partai nasionalis juga mendulang suara lebih banyak di provinsi ini dibandingkan partai-partai berbasis pemilih muslim.
Jika dibandingkan rata-rata perolehan suara PDI di era Orde Baru, perolehan suara PDIP di pemilu era reformasi sebenarnya meningkat. Jika di era Orde Baru rata-ratanya hanya mencapai 1,2 persen suara, di pemilu era reformasi ini rata-rata suara PDIP di Sumatera Barat mencapai 6,2 persen.
Namun, kenaikan rata-rata suara ini memang belum diikuti dengan perolehan kursi DPR dari Sumatera Barat. Di Pemilu 1999, PDIP hanya mampu meraih 2 kursi dari provinsi ini. Kursi PDIP ini gagal dipertahankan karena sama sekali tidak mendapat kursi di Pemilu 2004 dan 2009. Di Pemilu 2014 dua kursi kembali diraih PDIP, namun di pemilu 2019 lalu kursi tersebut kembali lenyap.
Menariknya lagi, pasangan calon presiden yang diusung PDIP juga kalah di Sumatera Barat. Pada Pilpres 2014, Jokowi-Jusuf Kalla kalah dan hanya mendapatkan 46,16 persen suara di Sumatera Barat. Kemudian Pilpres 2019, Jokowi-Ma\'ruf juga kalah dan hanya mendapatkan 28,15 persen suara di Sumbar.
Banyak pihak menilai sulitnya PDIP mendapatkan suara maksimal di Sumatera Barat juga tidak lepas dari rekam jejak sejarah politik di Sumatera Barat yang cenderung lebih kental ekspresi pemilih Islam, ceruk pemilih yang selama ini memang bukan basis utama PDIP seperti halnya di Jawa.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyebutkan, ekspresi berpolitik masyarakat Sumatera Barat yang cenderung kurang menerima PDIP dalam ajang elektoral politik tak lepas juga dari faktor sejarah terkait kebijakan pemerintah di era Soekarno.
"Kebijakan di masa lalu masih membekas dalam ingatan masyarakat Sumbar, seperti PRRI, pembubaran dan penangkapan tokoh-tokoh Masyumi, serta hubungan dengan Bung Hatta yang memburuk, " ujar Arya.
Meskipun demikian, Arya juga melihat, dari sisi variasi ideologi partai, preferensi politik masyarakat Sumbar sangat terbuka. "Di level DPR-RI dan DPRD, partai - partai berbasis nasionalis dan agama mendapatkan kesempatan yang sama. Bahkan di level DPR RI hampir semua partai dengan varian ideologi (nasional dan agama) mendapatkan kursi di Sumbar," ungkap Arya.
Lihat saja di hasil Pemilu 2019 lalu. Di daerah pemilihan Sumatera Barat I, dari delapan kursi yang diperebutkan, partai berbasis nasionalis dan agama sama-sama mendapatkan kursi, yakni Gerindra (2), Golkar (1), Nasdem (1), PKS (1), PAN (2), dan Demokrat (1).
Hal yang sama juga terjadi di daerah pemilihan Sumatera Barat II. Dari enam kursi yang diprebutkan, Gerindra (1), Golkar (1), PKS (1), PPP (1), PAN (1), dan Demokrat (1). PDIP sendiri di pemilu 2019 gagal meraih kursi, padahal di pemilu sebelumnya dua kursi pernah diraihnya dari Sumatera Barat.
Menurut Arya, selain di pemilihan legislatif, terbukanya orientasi politik pemilih Sumatera Barat juga dibuktikan dengan hasil di pemilihan presiden. "Saat pemilihan presiden 2009, SBY menang di Sumbar dan mengalahkan Pak JK yang istrinya orang Sumbar," ungkap Arya.
Selain beban sejarah, lemahnya PDIP di Sumatera Barat juga tidak lepas dari rendahnya party membership dari partai ini di ranah Minang. Selain itu, menurut Arya, boleh jadi juga karena tidak ada aktor lokal dari PDIP di Sumatera Barat yang kuat dan berdampak pada elektoral partai.
Padahal PDIP pernah menorehkan sukses saat Pemilihan Gubernur Sumatera Barat tahun 2005. Saat itu PDIP mengusung Gamawan Fauzi yang berhasil memenangkan kontestasi dan menjadikan sosok Gamawan menjadi tokoh nasional. "Bila PDIP mampu memilih aktor yang punya akseptabilitas tinggi dan berpresitas, terbuka kesempatan, " jelas Arya.
Apalagi hampir sebagian besar partai nasionalis, seperti Golkar, Demokrat, dan Gerindra juga terbukti mampu mendapatkan hasil elektoral yang baik. Tentu saja, ke depan ini akan menjadi tantangan bagi PDIP, bagaimana menjadikan Sumatera Barat sebagai ujian politik, meskipun di pilkada 2020 ini PDIP harus absen mengikuti kontestasi di pilkada gubernur setelah polemik atas pernyataan Ketua DPP PDIP Puan Maharani tersebut. (LITBANG KOMPAS)