Urgensi Menarik Rem Pandemi
Kiranya tidak berlebihan jika penerapan kembali pembatasan sosial dipertimbangkan. Namun, pada sisi lain, penting juga dipikirkan sejauh mana pembatasan sosial akan berdampak pada perekonomian.
Menerapkan kembali pembatasan sosial di sejumlah wilayah saat ini penting dilakukan walaupun krusial, juga mencermati situasi ekonomi yang tengah lesu.
Paling tidak ada dua hal yang dapat menjadi dasar pertimbangan pentingnya mengulang penerapan pembatasan sosial. Pertama, tren kasus harian Covid-19 di dalam negeri dan perbandingannya terhadap tren di sejumlah negara yang memiliki kemiripan. Kedua, melihat pola mobilitas penduduk semasa periode pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi, khususnya antara DKI Jakarta dan wilayah lain.
Merujuk pada hal pertama, data gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 menunjukkan peningkatan konsisten sepanjang 1 Juni-9 September 2020. Sejauh ini, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terbilang tinggi. Hingga 9 September, Indonesia berada di urutan ke-23 dalam jumlah kasus Covid-19 dunia berdasarkan laman Johns Hopkins University and Medicine, Amerika Serikat.
Baca juga : DKI Jakarta Matangkan Detail Regulasi Sebelum Kembali pada PSBB Ketat
Dibandingkan dengan Pakistan, Indonesia memiliki kemiripan dari sisi jumlah penduduk (di atas 200 juta jiwa). Kedua negara juga sama-sama mengalami masa pandemi hingga lebih dari 190 hari per 8 September. Namun, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 8.000 jiwa, sedangkan Pakistan baru mencapai sekitar 6.000 orang.
Bahkan, China yang menjadi wilayah awal pandemi mencatat angka kematian kurang dari 5.000 jiwa pada periode yang sama. Padahal, China memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia dengan populasi 1,4 miliar jiwa.
Tren kasus harian
Lebih detail, kasus harian Covid-19 di Indonesia menunjukkan tren konsisten meningkat sepanjang Juni hingga 9 September. Kecenderungan meningkatnya kasus Covid-19 sepanjang periode tersebut, di antaranya, disebabkan perubahan mobilitas masyarakat sejak pelonggaran PSBB.
Hal senada disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam video yang diunggah di akun Youtube Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jumat (4/9/2020). Gubernur mengungkapkan, ada dua lokasi yang terbilang rawan penyebaran Covid-19, yakni perkantoran dan komunitas warga (Kompas.com, 28/7/2020).
Di DKI Jakarta, pada masa awal PSBB transisi, angka reproduksi (Rt) yang merupakan indikator penularan Covid-19 dari seseorang pasien positif ke orang lain cukup baik, yakni 0,96. Kemudian, angka Rt naik menjadi 1,15 pada 5 Juli dan 1,11 per 19 Juli.
Tren data harian kasus Covid-19 juga menunjukkan lonjakan pada 27 Juli-3 Agustus. Kenaikan kasus positif Covid-19 di periode itu sejalan dengan peningkatan aktivitas mudik libur Idul Adha.
Memasuki bulan September, data gugus tugas kembali menunjukkan peningkatan signifikan kasus harian Covid-19. Hal yang menarik, data harian sepanjang September juga menunjukkan tren laju angka kesembuhan yang lebih lambat. Dengan kata lain, di satu sisi terjadi tren peningkatan kasus positif Covid-19. Sementara di sisi lain, kesembuhan melambat.
Karena itu, dapat diperkirakan rumah sakit semakin penuh pasien, sedangkan kapasitas sarana dan tenaga medis terbatas. Jumlah pasien yang masih berada dalam perawatan terus bertambah.
Pola mobilitas
Memasuki masa PSBB transisi, secara nasional mobilitas masyarakat berangsur-angsur pulih berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Agustus lalu. Pergerakan masyarakat ke tempat perdagangan eceran dan rekreasi masih tercatat minus sekitar 18 persen, tetapi sudah jauh membaik dibandingkan periode bekerja dari rumah (work from home/WFH) April-Mei.
Angka mobilitas masyarakat ke pusat belanja kebutuhan sehari-hari juga semakin mendekati persentase positif. Hal ini menandakan bahwa mobilitas penduduk menuju dan dari lokasi tersebut kembali meningkat. Pergerakan masyarakat menuju pusat belanja kebutuhan sehari-hari hanya menunjukkan penurunan 2,6 persen dibandingkan dengan periode WFH.
Baca juga : Saatnya Mengerem Kebijakan Kontradiktif
Tren yang sama terjadi pada mobilitas masyarakat ke tempat kerja atau lokasi transit sarana angkutan umum. Sejak periode pelonggaran PSBB, perjalanan masyarakat ke lokasi kerja dan tempat transit sepanjang Juli tercatat masing-masing minus 20 persen dan minus 35,3 persen.
Pada Mei ketika PSBB masih berjalan ketat, perjalanan masyarakat ke tempat kerja masih minus sekitar 34 persen. Adapun perjalanan masyarakat menuju dan dari tempat transit angkutan umum masih minus 56 persen.
Sejalan dengan hal itu, pergerakan masyarakat di rumah menunjukkan angka positif yang terus menurun sepanjang Mei hingga Juli. Hal ini menandakan masyarakat mulai kembali ke luar rumah menjalankan berbagai aktivitas.
Menimbang ekonomi
Melihat dari beberapa aspek tersebut, kiranya tidak berlebihan jika penerapan kembali pembatasan sosial dipertimbangkan. Namun, pada sisi lain, penting juga dipikirkan sejauh mana pembatasan sosial akan berdampak pada perekonomian. Jika ditinjau lebih rinci, penyusutan kinerja dunia usaha tecermin dari pukulan besar yang dialami hampir semua sektor dalam produk domestik bruto (PDB) triwulan II-2020.
Pukulan terbesar dialami sektor ekonomi tersier, yaitu jasa transportasi serta jasa penyediaan akomodasi dan makan-minum. Sektor ekonomi sekunder dan tersier yang mencatat pertumbuhan Q to Q positif di triwulan II-2020 hanya sektor pengadaan air bersih serta jasa informasi dan komunikasi. Adapun sektor ekonomi primer, yakni pertanian, tercatat tumbuh positif 16,4 persen sehingga menahan laju perekonomian terpuruk lebih dalam. Secara sektoral, hanya
pertanian yang memberikan andil signifikan pada perekonomian.
Sampai dengan triwulan II-2020, hampir seperlima PDB nasional bersumber dari sektor industri pengolahan. Sektor berikutnya yang memberikan andil besar terhadap PDB triwulan II-2020 adalah pertanian (sekitar 15 persen). Sektor perdagangan juga memberikan andil cukup besar terhadap perekonomian nasional, yakni sekitar 13 persen.
Andil wilayah menjadi hal yang penting pula untuk dicermati dalam kaitan dengan dampak pada perekonomian. Sejauh ini, provinsi-provinsi di Pulau Jawa memberikan andil sekitar 59 persen terhadap PDB nasional.
Andil tersebut menurun 6,69 persen dibandingkan dengan triwulan II-2019. Penurunan kontribusi PDB dari enam provinsi di Pulau Jawa di triwulan II-2020 tercatat paling tinggi jika dibandingkan Bali dan Nusa Tenggara (-6,29 persen) dan sejumlah provinsi lainnya.
Dari sisi kesehatan, penting melihat kecenderungan bahwa sarana di rumah sakit beserta tenaga medis yang ada sangat mungkin tidak mampu berhadapan dengan lonjakan kasus Covid-19. Maka, perlu memprioritaskan penanganan medis Covid-19 pada kelompok rentan, yakni warga lanjut usia.
Dari kategori usia, kasus Covid-19 lebih banyak dialami kalangan muda dan produktif. Hingga 9 September, tercatat persentase kasus positif Covid-19 dialami mereka yang berada di rentang usia 19-45 tahun. Namun, kematian akibat Covid-19 dialami mereka yang berada di rentang umur 46 tahun hingga lebih dari 60 tahun.
Data tren kasus Covid-19, pola pergerakan penduduk, profil makroekonomi Indonesia, serta daya tahan kesehatan masyarakat sedikit banyak lebih memperjelas peta situasi pandemi saat ini. Hal itu dapat dijadikan pegangan agar pembatasan sosial berikutnya lebih efektif menekan penyebaran virus tanpa menepikan perputaran roda ekonomi. (LITBANG KOMPAS)