”Travel Warning” Cermin Lemahnya Penanganan Pandemi
Peringatan bepergian dari sejumlah negara kepada warga negaranya agar tidak masuk ke Indonesia menjadi potret buruknya penanganan Covid-19 di negeri ini. Indonesia pun terancam ”dikucilkan” oleh dunia internasional.
Setelah enam bulan ditemukannya kasus positif pertama, situasi penyebaran Covid-19 di Indonesia semakin tak terkendali. Menyikapi hal ini, sejumlah negara di dunia menetapkan peringatan bepergian (travel warning) bagi warga negaranya agar tidak datang ke Indonesia.
Amerika Serikat, misalnya, menyematkan label Warning Level 4, atau level tertinggi, ke Indonesia. Peringatan bepergian ini dapat menjadi cermin yang merefleksikan seberapa bobroknya penanganan Covid-19 Indonesia di mata dunia.
Hingga 10 September 2020, di Indonesia tercatat ada lebih dari 207.000 kasus positif. Dari jumlah tersebut, sekitar 51.000 merupakan kasus yang masih aktif. Sementara lebih dari 147.000 orang telah sembuh dan sekitar 8.000 sisanya meninggal. Pertumbuhan harian yang melebihi angka 3.000 kasus setiap hari ini menjadi tanda bahwa pandemi belum akan mereda.
Tingkat pertumbuhan kasus di Indonesia pun semakin mengerikan seiring dengan berjalannya waktu. Dari dua kasus positif pertama pada Maret lalu, naiknya kasus positif hingga menembus angka 50.000 memakan waktu selama 115 hari. Laju pertumbuhan pun semakin cepat, dengan jarak antara 50.000 kasus dan 100.000 kasus menjadi hanya 32 hari.
Tren cepatnya penyebaran kasus ini pun terus berlanjut, dengan jarak antara kasus ke-100.000 dan ke-150.000 menjadi 26 hari. Perkembangan terakhir, jarak per 50.000 kasus ini semakin sempit, dengan jarak antara kasus ke-150.000 dan ke-200.000 hanya 17 hari.
Selain laju pertumbuhan yang kian cepat, situasi pandemi Covid-19 di Indonesia juga diperparah dengan tingginya angka kematian. Hingga 10 September 2020, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia lebih dari 8.400 orang.
Jika dilihat, tren kematian ini semakin meningkat selama September 2020. Pada 10 hari terakhir Agustus, rata-rata kematian akibat Covid-19 di Indonesia berada di kisaran 91 jiwa per hari. Namun, angka ini naik menjadi sekitar 104 jiwa per hari pada 10 hari pertama September ini.
Label peringatan bepergian
Di kawasan Asia Tenggara, situasi Covid-19 memang menjadi salah satu yang paling mengkhawatirkan. Dari segi jumlah, Indonesia menempati posisi kedua, berada di bawah Filipina dengan total kasus nyaris 249.000 orang.
Namun, dilihat dari jumlah korban meninggal, Indonesia justru berada di puncak klasemen. Meski memiliki jumlah kasus lebih sedikit, kematian akibat Covid-19 di Indonesia yang berjumlah 8.456 orang justru lebih banyak dua kali lipat dibandingkan Filipina dengan jumlah kematian 4.066 orang.
Kegentingan situasi pandemi di suatu negara pasti akan menuai respons dari lingkungan internasional. Salah satu cara negara untuk merespons perkembangan situasi Covid-19 di negara lain adalah dengan mengeluarkan travel warning atau peringatan bepergian. Cara ini digunakan untuk mengingatkan warga negaranya untuk tidak bepergian ke negara yang dianggap berbahaya.
Alhasil, kian gentingnya situasi pandemi di Indonesia saat ini pun memantik reaksi dunia. Setidaknya, ada 11 negara yang secara gamblang melarang warganya untuk mengunjungi serta menutup kunjungan dari Indonesia. Beberapa negara yang telah menyematkan travel warning ke Indonesia ialah Denmark, AS, Irlandia, dan Australia.
Alhasil, kian gentingnya situasi pandemi di Indonesia saat ini pun memantik reaksi dunia.
Sebetulnya, bukan hanya Indonesia yang mendapatkan status berbahaya dari negara-negara tersebut. Pada awal September ini, 10 negara yang berada di kawasan Asia Tenggara mendapat status bahaya sehingga sebaiknya tidak dikunjungi.
Negara-negara tersebut ialah Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam, Kamboja, Timor Leste, dan Laos. Negara-negara ini mendapat status bahaya dengan kategori 3 oleh Kementerian Luar Negeri AS. Dengan status ini, Pemerintah AS sangat tidak menyarankan warganya untuk datang ke negara-negara tersebut.
Namun, dari ke-10 negara tersebut, hanya Indonesia yang mendapatkan travel ban. Menurut Kementerian Luar Negeri AS, Indonesia masuk kategori 4 atau kategori dilarang untuk dikunjungi.
Parahnya, tidak hanya AS yang menyematkan status ”sangat berbahaya” ke Indonesia. Australia pun menjadi salah satu negara yang memberlakukan larangan bagi warganya untuk bepergian ke Indonesia.
Menurut keterangan dari laman Kementerian Luar Negeri AS dan Australia, ada tiga alasan utama di balik penetapan larangan bepergian tersebut. Pertama, kasus Covid-19 di Indonesia yang semakin memburuk. Kedua negara tersebut menyebutkan bahwa situasi Covid-19 di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dan mengancam keselamatan jiwa siapa saja yang hendak berkunjung.
Alasan kedua, tidak adanya fasilitas kesehatan yang memadai bagi orang yang terinfeksi virus Covid-19. Kedua negara di atas menyampaikan kepada warga negaranya bahwa apabila mereka datang ke Indonesia dan terinfeksi Covid-19, ada kemungkinan mereka tidak mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan. Tidak hanya itu, mereka pun tidak dapat dievakuasi kembali ke negaranya dan harus mendapatkan keterangan sembuh dari pihak berwenang di Indonesia apabila terjangkit Covid-19.
Alasan ketiga, rendahnya kemampuan tes dan tracing. AS dan Australia menyatakan ketersediaan tes usap (swab) di Indonesia tidaklah banyak. Selain itu, tes di luar PCR/swab dianggap tidak akurat sehingga sangat tidak disarankan.
Penilaian status bahaya
Keterangan yang diberikan oleh Kementerian Luar Negeri AS dan Australia juga selaras dengan imbauan yang dikeluarkan Pusat Pengendalian dan Penyakit (CDC) AS. Menurut lembaga tersebut, Indonesia termasuk ke dalam kategori 3 atau negara dengan risiko tinggi (high risk) karena perkembangan Covid-19 yang semakin memburuk.
Dengan status tersebut, CDC sangat tidak menyarankan untuk siapa pun bepergian ke Indonesia, kecuali mereka yang benar-benar memiliki urusan yang mendesak, seperti menjadi sukarelawan medis.
Dalam melihat seberapa parah status bahaya Covid-19 di suatu negara, ada beberapa parameter yang digunakan oleh CDC. Parameter tersebut dibagi menjadi dua kategori, yakni parameter primer dan sekunder.
Beberapa parameter yang masuk kategori primer ialah jumlah pertumbuhan kasus harian Covid-19, incidence rate (kasus baru per 100.000 orang), dan prakiraan kurva kasus baru (new cases trajectory).
Negara yang dimasukkan ke kategori sangat berisiko seperti Indonesia memiliki kriteria pertumbuhan kasus harian lebih dari 500 setiap hari, incidence rate di atas angka 3, dan kurva kasus baru yang naik.
Untuk dapat turun ke kategori 2 (moderate risk/risiko sedang), Indonesia perlu menekan pertumbuhan jumlah kasus harian hingga di rentang 251-500 orang, incidence rate di kisaran 1,5-3, dan memiliki kurva pertumbuhan kasus yang menurun atau stabil.
Sementara itu, untuk dapat masuk ke kategori 1 (low risk/risiko rendah), negara perlu menekan jumlah kasus harian berkisar 50-250 kasus, incidence rate di bawah angka 1,5, dan kurva pertumbuhan kasus yang menurun.
Selain parameter primer, ada pula beberapa parameter yang masuk kategori sekunder. Parameter yang masuk kategori ini ialah kapasitas dan infrastruktur layanan kesehatan. Negara dengan infrastruktur kesehatan yang baik serta kapasitas yang memadai masuk kategori 1. Adapun negara dengan kapasitas layanan kesehatan yang pas-pasan masuk kategori 2.
Negara dengan kapasitas serta infrastruktur yang tidak memadai serta informasi terkait Covid-19 yang tidak konsisten atau bahkan tidak tersedia masuk kategori 3 atau negara dengan risiko tinggi. Selain parameter tersebut, kasus Covid-19 ekspor yang terdokumentasi juga menjadi salah satu parameter yang dipertimbangkan dalam kategori ini.
Hingga kini, CDC menjadi salah satu otoritas yang menjadi rujukan bagi dunia. Status bahaya yang disematkan oleh institusi ini kepada Indonesia menjadi preseden buruk bagi posisi tawar Indonesia di mata dunia.
Dengan tren perkembangan saat ini, hampir tidak mungkin bagi Indonesia untuk mengendalikan situasi Covid-19 sehingga berada di kategori 2 atau 1 menurut standar CDC.
Maka, jika pemerintah masih belum mampu mengendalikan penyebaran Covid-19, bukan tidak mungkin apabila Indonesia semakin dikucilkan di lingkungan internasional. (LITBANG KOMPAS)