Menanti Konsolidasi Riset Indonesia
Hasil riset dari berbagai lembaga penelitian dan pengembangan dikeluhkan tak relevan dengan kebutuhan. Hasil riset pun belum dapat terwujud menjadi hasil manufaktur di tahapan industrial atau sebagai inovasi kebijakan.
Presiden Joko Widodo menantang dunia riset dan pengembangan di Indonesia agar memecahkan berbagai persoalan bangsa sekaligus ”menerbangkan” Indonesia menjadi negara maju.
Hal itu disampaikan Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional tentang Integrasi Riset dan Inovasi Indonesia di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Kota Tangerang Selatan, Banten, 30 Januari 2020. Sebelumnya, dalam sidang kabinet paripurna, 9 April 2018, Presiden mengkritik anggaran riset yang tersebar dan terbagi di banyak balitbang kementerian sehingga hasilnya tak optimal.
Untuk beranjak menjadi negara maju, Indonesia membutuhkan berbagai temuan (invensi) yang dihasilkan oleh lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) baik di perguruan tinggi, pemerintah, maupun swasta. Sayangnya, sebagian besar penelitian mandek pada tahapan invensi (publikasi, prototipe, dan paten). Hilirisasi berupa produk industri ataupun kebijakan belum optimal.
Dengan pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), lembaga ini selayaknya mampu menjadi payung yang mengonsolidasikan berbagai sumber daya dan sektor penelitian yang tersebar. BRIN diharapkan pula membuat cetak biru penelitian nasional.
”BRIN harus bisa mengorkestrasi pengembangan proyek-proyek strategis yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memecahkan masalah bangsa, dan memanfaatkan peluang global bagi kemajuan negara kita,” kata Presiden Jokowi (Kompas, 11 Agustus 2020).
Kegemasan Presiden di satu sisi memang beralasan jika melihat pencapaian dunia riset Tanah Air. Hasil riset dari berbagai lembaga penelitian dan pengembangan acap kali dikeluhkan tidak relevan dengan kebutuhan pengguna atau industri. Hasil riset belum dapat terwujud menjadi hasil manufaktur di tahapan industrial atau sebagai inovasi kebijakan.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab hasil riset berhenti di tahapan invensi antara lain hasil riset tak sesuai kebutuhan industri, kepercayaan industri terhadap hasil riset lembaga litbang rendah, anggaran terbatas, birokrasi berbelit, sampai ekosistem riset yang tak kondusif. Saking banyaknya hambatan dalam menghilirisasi hasil riset, tahapan ini dijuluki para periset sebagai ”lembah kematian”.
Sebagai contoh, tiap tahun ada sekitar 16.000 judul penelitian yang didanai Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Dari jumlah itu, kurang dari 20 persen dapat dihilirisasi. Sisanya masuk ke lembah kematian. Ketiadaan integrasi dan konsolidasi menjadi penyebabnya.
Senada dengan hal itu, data dari Business Innovation Centre menunjukkan, ada 700 hasil riset yang terindeks di Scopus dalam tiga tahun terakhir. Namun, hanya 18 persen di antaranya yang berhasil didayagunakan.
Pengkajian kebijakan
Terkait kelembagaan litbang di Indonesia, menurut data Pusat Pengkajian Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (LAN), ada 329 lembaga litbang pemerintah pusat. Jumlah ini meliputi 228 lembaga litbang di kementerian/lembaga dan 101 lembaga litbang di lembaga pemerintah nonkementerian. Sebanyak 137 lembaga di antaranya sudah ditetapkan menjadi pusat unggulan iptek (PUI). Selain itu, ada 1.977 lembaga penelitian perguruan tinggi.
Mencermati output kinerja kelembagaannya, pada tahun 2019 diperoleh 833 paten, 2.442 publikasi internasional, dan 2.969 publikasi nasional. Selain itu, diperoleh 3.544 kerja sama riset nasional, 1.094 kerja sama riset internasional, 20.302 kerja sama nonriset, serta 6.686 kontrak bisnis dalam rangka hilirisasi produk unggulan lembaga litbang.
Tiap tahun ada sekitar 16.000 judul penelitian yang didanai Kementerian Riset dan Teknologi. Dari jumlah itu, kurang dari 20 persen dapat dihilirisasi.
Dari angka-angka itu, terbayang beratnya menyinergikan riset saintis ataupun riset kajian kebijakan. Belum lagi, ada tiga karakteristik dasar riset yang berbeda. Ada riset di perguruan tinggi, riset terapan (menuju komersialisasi produk atau perbaikan kebijakan), serta riset dasar (terkait pengembangan disiplin keilmuan). Ketiganya mensyaratkan jenis institusi yang berbeda beserta sumber daya peneliti dan solusi administratif yang tepat.
Hal ini harus diperhatikan karena karakteristik kerja peneliti memerlukan perlakuan khusus, tak seperti aparatur sipil negara (ASN) pada umumnya. Ambil contoh, relasi kuasa antarpeneliti lebih cocok diterapkan dalam organisasi dengan sistem matriks-kolegial ketimbang hierarkis-struktural yang biasa terdapat di kementerian/lembaga.
Unit litbang yang tersebar di berbagai instansi pemerintahan seolah masih berjalan sendiri-sendiri. Tidak mengherankan, kerap ditemukan hasil kajian tumpang tindih atau memiliki tema yang sama antara satu instansi dan instansi lain. Selain itu, belum ada potret komprehensif dan detail tentang sebaran tugas serta pengemban kewenangan di kementerian/lembaga.
Penataan kegiatan penelitian dan pengembangan kebijakan administrasi negara diperlukan dalam rangka penguatan dukungan sistem kebijakan nasional. Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinas Iptek) dan kelahiran BRIN yang disatukan dengan Kemenristek menjadi harapan baru.
Karakter riset
Kebijakan publik di Indonesia cenderung kurang terimplementasi dengan baik meski proses pembuatannya sesuai prosedur. Salah satu penyebabnya ialah hasil-hasil riset, terutama riset sosial atau riset kebijakan, belum menjadi pertimbangan utama bagi para pembuat kebijakan.
Litbang berperan untuk menghasilkan berbagai kajian dan penelitian, tetapi konsep, model, dan pilihan kebijakan yang dihasilkannya jarang dimanfaatkan sebagai dasar dalam formulasi kebijakan. Lemahnya peran litbang untuk turut menentukan arah dan strategi pembangunan dapat dilihat dari kebijakan instansi pemerintah di pusat serta daerah yang diambil tanpa melalui kajian dan litbang.
Baca juga: Menanti Arsitektur Tol Inovasi
Secara umum, permasalahan yang dihadapi lembaga kajian atau litbang instansi pemerintah meliputi (1) masalah pemanfaatan hasil kajian; (2) struktur, kultur, dan kualifikasi peneliti yang rendah; (3) dukungan data, informasi, dan literatur yang terbatas; (4) agenda riset nasional yang belum terintegrasi; (5) lemahnya koordinasi antarlembaga penelitian; serta (6) relasi pemangku kepentingan yang tidak sinkron (Eko Prasodjo, 2012).
Di sisi lain, anggaran riset yang tergolong sangat minim dibandingkan dengan negara-negara lain, yakni sekitar 0,25 persen dari produk domestik bruto, sering kali dituding sebagai kambing hitam. Anggaran riset Indonesia pada 2016 sebesar Rp 30,76 triliun. Dari jumlah itu, hanya 16,13 persen disumbang swasta, sisanya investasi pemerintah. Pemerintah pusat menjadi penyumbang dana riset terbesar, Rp 24,92 triliun.
Strategi nasional diperlukan untuk mengembangkan bakat ilmuwan guna berpartisipasi dalam ekonomi berbasis pengetahuan. Strategi itu juga diperlukan untuk membangun budaya universitas yang menghargai prestasi, kualitas, dan pikiran kritis dalam penelitiannya.
Baca juga: Perguruan Tinggi, Riset dan Inovasi: Perlu “Sandbox” Industri
Di tengah pandemi Covid-19, kita menyaksikan kemunculan inovasi di sektor kesehatan. Beberapa universitas yang bekerja sama dengan industri dan didukung penuh oleh pemerintah berhasil memproduksi ventilator, alat tes PCR, alat tes cepat (rapid test), dan alat-alat kesehatan lain.
Inovasi ini serasa oase di tengah padang pasir minimnya berita tentang inovasi hasil riset di Indonesia. Publik pun terekam meyakini kemampuan anak bangsa, sebagaimana terlihat dalam hasil jajak pendapat.
Kita menunggu turunan dari UU No 11/2019 sebagai dasar menyusun arsitektur, tata kelola, dan infrastruktur penelitian. Dengan demikian, nantinya kita mampu memotret, menyusun, dan mengevaluasi invensi serta inovasi anak bangsa dalam satu tarikan napas.
(LITBANG KOMPAS)