Humanisme Transendental: Warisan Pemikiran Jakob Oetama
Jakob Oetama mewariskan pemikiran hakikat jurnalisme bagi ”Kompas” dan juga untuk pers di Indonesia.
Di tengah gelombang pesat perkembangan teknologi, terpaan disrupsi melanda berbagai aspek, tak terkecuali media massa. Beralaskan batu penjuru pemikiran pendirinya, Jakob Oetama, Kompas dapat terus bertahan dan menjadi penunjuk arah.
Warisan pemikiran Jakob Oetama, khususnya dalam jurnalisme di Indonesia, perlu terus dibaca dan direnungkan kembali. Buah-buah pemikiran filosofis Jakob dapat menjadi obat penawar bagi dunia jurnalistik yang hanyut mengikuti arus zaman demi kepentingan bisnis. Entah dengan gaya penulisan yang bombastis, berita yang sensasional, bahkan cenderung menjadikan manusia lain sebagai obyek.
Dalam pemikiran Jakob, manusia bukanlah obyek, melainkan subyek dan media massa menjadi corong suaranya. Hal ini tertuang dalam konsep humanisme transendental yang Jakob tanamkan dalam jurnalisme Kompas. Dalam bukunya, Syukur Tiada Akhir (2011), St Sularto menuliskan bahwa humanisme transendental merupakan kemanusiaan yang tidak hanya mengarahkan diri kepada Yang Transenden, tetapi juga keterbukaan untuk selalu berani dan terbuka kepada dunia.
Sularto mencatat, istilah humanisme transendental ini muncul dalam wawancara Kees de Jong bersama dengan Jakob. Kala itu, Kees de Jong melakukan penelitian tentang Kompas untuk memperoleh gelar doktor di Universitas Nijmegen (1990). Menurut Kees de Jong, Kompas menaruh Pancasila sebagai dasar dan usaha manusia mengatasi kekurangan dalam kehidupan (humanisme), dengan mengharapkan kepenuhan dari rahmat Tuhan (transendental).
Kiranya untuk mengerti konsep filosofis dari humanisme transendental yang Jakob maksud perlu disusun sebuah pemikiran logis tersendiri. Humanisme merupakan paham yang menaruh keyakinan pada martabat manusia (human beings) dengan diterangi ilmu pengetahuan dan didorong harapan dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Kemunculan gagasan ini mulai pada masa Renaissance di Italia dan terus berkembang hingga saat ini.
Masalahnya, perkembangan paham humanisme membawa gagasan ini satu ekstrem, yakni percaya pada kedaulatan manusia dan menegasi paham-paham religius (humanisme sekular). Akan tetapi, ada pula paham humanisme religius yang menegaskan bahwa gagasan manusia yang bermartabat tentu sejalan dengan ajaran-ajaran religius dalam tradisi keagamaan.
Terlepas dari ekstrem itu, titik utama pemikiran humanisme adalah menempatkan manusia sebagai subyek yang memiliki harkat dan martabat atau dalam bahasa modern dikenal sebagai hak asasi manusia.
Kini, perkembangan zaman yang didominasi iklim ekonomi liberal saat ini (industri 4.0) seringkali mengabaikan aspek kemanusiaan. Atas nama peningkatan produksi, manusia hanya sebatas komoditas pekerja saja (homo faber). Maksudnya, hanya dianggap sebagai bagian dari mesin produksi demi kepentingan usaha.
Leo Batubara dalam buku Humanisme dan Kebebasan Pers (2001) menuliskan bahwa salah satu strategi Jakob Oetama dalam menumbuhkan Kompas ialah mengintegrasikan kepentingan perusahaan dan karyawannya secara serasi. Kepentingan perusahaan adalah eksis, beruntung, dan berkembang. Sementara itu, kepentingan karyawan adalah menyumbang (contribute) ke perusahaan, mendapat imbalan yang pantas (reward), dan tertantang (challenged).
Saat memimpin Kompas, Jakob tidak memperlakukan karyawannya sebagai sekadar komoditas penggerak bisnis. Melampaui itu, Jakob memberikan nilai-nilai keteladanan dan kekeluargaan.
Mengutip pemikiran Driyarkara, gagasan ”memanusiakan manusia” secara nyata dipraktikkan Jakob di dalam tubuh Kompas.
Lantas, bagaimana dengan konsep transendental yang dimaksud oleh Jakob? Konsep ini tertuang secara nyata lewat jurnalisme Kompas yang dipertahankan hingga saat ini.
Transendental
Dalam dunia jurnalistik, pengabaian atas aspek kemanusiaan ini sering kali hadir secara halus. Misalnya, seorang pejabat pemerintahan menjadi bulan-bulanan pemberitaan atas suatu kesalahan yang ia perbuat. Dari segi bisnis, tentu sorotan kasus ini akan mendatangkan iklan atau setidaknya membuat media yang memberitakannya menjadi makin dikenal.
Akan tetapi, dari segi etis, hal ini justru bermasalah. Hal ini turut menjadi kegelisahan Jakob dan dituangkan dalam pidato promosi untuk memperoleh gelar doctor honoris causa (HC) di bidang komunikasi dari Universitas Gadjah Mada. Mengutip pemikiran Prof De Volder, ahli etika media, Jakob mengatakan bahwa jurnalisme itu hendaknya hadir dengan obyektivitas yang subyektif.
Maksudnya, dalam menyajikan informasi, jurnalisme bukan didasari rasa suka atau tidak suka, bukan pula prasangka, apalagi kepentingan pribadi atau partisan. Subyektif dalam arti ini dikerjakan secara serius, jujur, benar, profesional, lengkap, menggali penyebab dan arti serta makna dari suatu fakta. Maka, selain independen, media massa perlu memiliki akal sehat, kepekaan, serta komitmen.
Lebih lanjut, Jakob merujuk pada gagasan Prof John C Merril yang menggunakan istilah wartawan ”Apolonisian” (dari kisah mitologi Yunani Kuno tentang Dewa Apolo dan Dionisos). Sosok wartawan Apolonisian ini hadir sebagai pribadi yang berpikir dan merasa yang rasional tetapi juga sensitif, yang peduli terhadap fakta ataupun perasaan, yang berdedikasi terhadap dunia obyektif ”di luar sana” dan terhadap dunia subyektif ”di dalam sini” (bela rasa, compassion).
Kendati risalah setebal 21 halaman itu menegaskan keseriusannya dalam dunia jurnalisme Indonesia, di sisi lain Jakob juga menanamkan semangat fortiter in re, sed suaviter in modo kepada Kompas. Semangat yang berasal dari pepatah Latin itu secara harafiah diartikan teguh dalam prinsip, tetapi lentur dalam cara. Istilah ini sering kali dipadankan dengan konteks ketika Jakob menandatangani surat perjanjian dengan pemerintah di era Soeharto (tertanggal 28 Januari 1978).
Jika melacak asal muasalnya, Jakob menyadur pepatah itu ketika mengenyam pendidikan di seminari sewaktu muda. Kala itu ia mempelajari bahasa Latin dan ilmu agama sebagai calon pastor. Lebih tepatnya, pepatah itu digunakan oleh Claudio Acquaviva, pastor dari Serikat Yesus, saat menjadi pimpinan lembaga agama tersebut. Dari sinilah, semangat kepemimpinan dan gagasan transendental yang Jakob tanamkan turut dipengaruhi tradisi keagamaan yang sempat ia dalami dulu.
Sindhunata (budayawan yang pernah menjadi wartawan Kompas pada 1977-2012) memberikan penjabaran atas falsafah transendental ini. Pertama-tama, pengalaman kemanusiaan menjadi kunci pokok perhatian Jakob. Pengalaman kemanusiaan ini secara jelas ditemukan dalam hati rakyat. Maka, Kompas tidak boleh letih dalam menyuarakan suara rakyat, terutama mereka yang papa.
Menyadur pemikiran teolog, Wolfhart Panenberg, manusia memiliki struktur dalam dirinya yang mengajak untuk tidak memusatkan diri kepada dirinya, tetapi keluar dari diri sendiri. Dengan begitu, manusia dapat dituntun untuk terbuka pada Tuhan yang transenden. Keterbukaan kepada Yang Transenden ini tidak dapat dimengerti tanpa keterbukaannya kepada dunia dengan segala realita di dalamnya.
Dalam ”Tajuk Rencana” Kompas, 28 Juni 1980, Jakob ingin menempatkan masyarakat manusia dalam posisinya yang vertikal dan horizontal. Vertikal dalam kaitannya relasi dengan Yang Ilahi dan horizontal dalam kebersamaannya dengan sesama manusia lain, komunitas, masyarakat bangsa, dan negara. Dengan begitu, iman ditempatkan dalam misi bersama yang memberikan makna dan kedalaman dalam hidup manusia sehingga meneguhkan persaudaraan di dalamnya.
Sarana dan tujuan
Kedalaman gagasan humanisme transendental ini akhirnya dapat dimaknai sebagai sarana. Kembali merujuk pada ”Tajuk Rencana” Kompas, 28 Juni 1980, impian Jakob tersematkan pada kemajuan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam makna yang sepenuh-penuhnya. Impian ini dapat diwujudkan dengan sikap saling hormat akan martabat manusia dan ikut dalam karya besar pembangunan nasional.
Lanjutnya, dengan cara itulah ekspresi diri manusia dapat terpenuhi sekaligus bermakna bagi kemajuan serta kesejahteraan bersama. Itulah yang dipandang sebagai kultur dan infrastruktur sistem masyarakat Pancasila.
Dalam pemikiran Jakob, manusia bukanlah obyek, melainkan subyek dan media massa menjadi corong suaranya.
Selang sepuluh tahun kemudian, Jakob menjelaskan lebih lanjut arti masyarakat Pancasila tersebut. Baginya, membangun masyarakat Pancasila adalah membangun masyarakat yang sarat akan bobot religiositasnya, tanpa harus menjadi negara agama.
Membangun masyarakat yang berkemanusiaan secara adil dan beradab; membangun masyarakat bangsa, negara, dan Tanah Air yang bersatu; membangun kerakyatan yang bermekanisme musyawarah dan perwakilan; dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (”Tajuk Rencana” Kompas, 28 Juni 1990).
Maka, humanisme transendental tidak lain ialah sebuah cara, pedagogi, formula, atau sarana guna mewujudkan Pancasila dalam masyarakat Indonesia. Pancasila yang bukan sekadar dihafalkan, melainkan berwujud nyata dalam keseharian hidup bermasyarakat.
Lantas, bagaimana warisan pemikiran Jakob ini akan berjalan ke depan? Sindhunata menyatakan, humanisme akan roboh jika dihidupkan di tanah yang miskin dan berkekurangan secara materi. Sularto menambahkan, Kompas menghayati humanisme sebagai pro yustitiae atau perjuangan demi keadilan.
Terlepas dari banyaknya pertanyaan tentang peluang dan tantangan Kompas di masa selanjutnya, perlu disadari bahwa semuanya bukanlah kebetulan. Seperti kata Jakob, ”Hidup ini seolah-olah sebagai kebetulan-kebetulan, tetapi bagi saya itulah Providentia Dei, itulah penyelenggaraan Allah”. Sungguh, syukur tiada akhir! (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengenang ”Sang Kompas”, Jakob Oetama