RUU BI Mengancam Independensi Bank Sentral
Independensi Bank Indonesia dipertaruhkan dalam RUU Bank Indonesia. Kepentingan politik pemerintah cenderung menonjol dibandingkan upaya penguatan peran dan wewenang bank sentral.
Saat ini, Badan Legislasi DPR sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Bank Indonesia. RUU yang nantinya akan menggantikan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia ini dinilai sarat akan masalah. Apabila nanti disahkan, pemerintah dapat campur tangan dalam proses pengambilan keputusan moneter Indonesia. Alhasil, independensi BI sebagai bank sentral pun terancam.
Dalam dua dekade terakhir, sebetulnya bukan kali ini saja UU BI mengalami perubahan. Semenjak perubahan besar-besaran UU BI pascareformasi tahun 1999, setidaknya UU ini sudah dua kali mengalami perubahan. Perubahan tersebut tertuang pada UU No 3/2004 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2/2008.
Perubahan pada UU No 3/2004 terbilang cukup banyak. Setidaknya terdapat sepuluh poin penting yang diubah dari UU No 23/1999 melalui undang-undang ini. Perubahan tersebut meliputi semakin bertambahnya fungsi serta wewenang BI, menambah peran pemerintah dalam penunjukan dewan gubernur, adanya fungsi pengawasan oleh DPR, mendorong transparansi laporan tahunan, diberikannya hak politik kepada anggota Dewan Gubernur BI, dan pembentukan lembaga baru terkait dengan pelaksanaan tugas BI.
Beberapa aturan yang diubah ialah dalam UU ini termasuk bertambahnya fungsi BI untuk melaksanakan kebijakan moneter dan menambah wewenang BI untuk melakukan bail out kepada bank yang pailit dan berdampak sistemik yang berpotensi mengakibatkan krisis sistem keuangan. Selain itu, UU ini menjadi dasar pembentukan Dewan Supervisi, yang bertugas membantu DPR dalam mengawasi kinerja BI, serta Otoritas Jasa Keuangan, sebagai lembaga independen yang bertugas untuk mengawasi bank.
Revisi yang tercantum dalam Perppu No 2/2008 hanya mengubah satu pasal. Perubahan pada Pasal 11 dalam UU No 3/2004 ini kemudian membuat bank menjadi semakin mudah untuk mendapatkan kredit atau pembiayaan beradasarkan prinsip syariah. Alasannya, peraturan ini menghapus ketentuan yang sebelumnya mengatur bahwa bank yang mendapatkan kredit atau pembiayaan untuk memberikan jaminan yang bersifat mudah dicairkan.
Selain beberapa revisi di atas, secara umum jalannya BI diatur oleh UU No 23/1999. Berlakunya UU ini selama lebih dari dua dekade bukanlah tanpa alasan. Dalam 21 tahun, UU tersebut berhasil menjamin independensi BI. Artinya, meski masih ada pengaruh dari lembaga eksekutif serta legislatif negara, tidak ada pihak yang dapat memengaruhi proses pengambilan kebijakan moneter oleh BI.
Sayangnya, independensi BI yang sebelumnya dijamin oleh UU tersebut bisa jadi hilang apabila RUU BI kali ini disahkan. Hal ini karena adanya ketentuan pembentukan Dewan Moneter yang diatur dalam RUU ini. Melalui ketentuan tersebut, pemerintah eksekutif akan semakin leluasa mengontrol BI dalam mengeluarkan kebijakan moneter.
Dewan Moneter nantinya akan terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI, dan Ketua Dewan Komisioner OJK. Selain kelima unsur tersebut, Dewan Moneter juga dapat disertai dengan anggota penasihat yang diambil dari menteri presiden.
Posisi Dewan Moneter akan sangat strategis dalam hal pengambilan kebijakan moneter negara. Setelah disahkan, dewan ini berfungsi untuk memimpin, mengoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Selain itu, dewan ini juga akan menjadi pihak yang berhak untuk menetapkan kebijakan moneter.
Bertambahnya kuasa pemerintah dalam tata laksana BI tak hanya berhenti di Dewan Moneter saja. Beberapa contoh lainnya meliputi pemberian hak suara bagi pemerintah dalam Rapat Dewan Gubernur BI dan bertambahnya kuasa presiden dalam membentuk Dewan Gubernur BI.
Tidak hanya itu, melalui RUU ini, BI juga diharapkan untuk lebih bisa menyediakan jaring pengaman bagi situasi keuangan pemerintah. Hal ini tampak dari beleid yang membolehkan BI untuk memberikan kredit pada pemerintah dan semakin bebasnya BI untuk membeli surat-surat utang negara.
Melalui RUU BI, dapat dipastkikan bahwa pemerintah akan memiliki kuasa yang lebih untuk mengatur BI. Dalam UU yang saat ini berlaku, BI hanya perlu mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah ketika mengatur kebijakan moneter negara.
Artinya, apabila berseberangan jalan dengan pemerintah, BI tetap dapat mengambil kebijakan yang dirasa tepat asalkan diambil dengan cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan aturan baru, BI pun perlu persetujuan pemerintah apabila akan mengeluarkan keputusan.
Sayangnya, independensi BI yang sebelumnya dijamin oleh UU tersebut bisa jadi hilang apabila RUU BI kali ini disahkan.
Independensi
Sebetulnya, tidak semua perubahan dalam RUU BI itu bermasalah. Salah satu contohnya ialah bertambahnya fungsi BI untuk turut serta memikirkan persoalan ketersediaan lapangan kerja. Selain karena adanya kemungkinan pengaruh inflasi dengan pengangguran dalam rentang waktu singkat (Phillips Curve Law), negara lain seperti AS juga menugaskan bank sentralnya membantu pemerintah menangani pengangguran. Namun, dalam aturan yang baru ini, independensi menjadi soal karena merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar.
Dalam hal kebijakan moneter, independensi bank sentral patut untuk dipersoalkan. Dengan independensi, keputusan bank sentral akan lebih didasarkan pada keadaan perekonomian negara. Tujuannya untuk menjaga kestabilan mata uang dan melaksanakan kebijakan moneter dengan baik. Agar tujuan tercapai, kebijakan harus diambil dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan, konsistensi, dan transparansi.
Dengan kian berkurangnya independensi, pertimbangan BI dalam mengambil keputusan tidak hanya mempertimbangkan ketiga aspek di atas. Aspek lain yang akhirnya memengaruhi pengambilan kebijakan moneter ialah kepentingan politik. Persoalannya, acap kali aspek kepentingan politik bertabrakan dengan aspek keberlanjutan, konsistensi, dan transparansi.
Hal ini karena pengambilan keputusan dengan pertimbangan aspek tersebut tidak selamanya populis, tetapi baik untuk kesehatan perekonomian negara dalam jangka waktu yang panjang. Tak ayal, secara teori pun, independensi bank sentral memiliki korelasi langsung dengan stabilitas inflasi di suatu negara.
Menurut temuan Dana Moneter Internasional (IMF), jika mendapatkan akses, politisi cenderung akan memanipulasi kebijakan moneter untuk menggenjot popularitas dan elektabilitas mereka sebelum pemilu. Keuntungan jangka pendek yang diraup oleh para politisi tersebut akan menimbulkan persoalan ekonomi yang pelik bagi negara dalam bentuk hiperinflasi. Maka dari itu, semenjak tahun 1970-an, hampir seluruh negara di dunia memasukkan independensi sebagai salah satu poin penting dalam peraturan terkait bank sentral.
Pentingnya independensi juga dikemukakan oleh lembaga supervisi bank sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB). Bagi ECB, independensi bank sentral menjadi sarat mutlak yang tak dapat ditawar-tawar oleh semua negara anggota Uni Eropa. Hal ini tertuang dalam Ketentuan Kelembagaan ECB Pasal 7 dan Perjanjian tentang Fungsi Uni Eropa (Treaty on the Functioning of the European Union/TFEU) Pasal 130 yang menyatakan bahwa ECB, bank sentral nasional, atau lembaga yang terkait dengan fungsi moneter tidak boleh menerima perintah dari dari institusi di dalam serta negara anggota Uni Eropa.
Contoh nyata dampak buruk intervensi pemerintah terhadap bank sentral dapat dilihat di Turki pada 2019. Saat itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memecat Murat Çetinkaya, Gubernur TCMB, bank sentral Turki, karena berselisih paham. Pemecatan Çetinkaya dipicu oleh keengganannya untuk menurunkan suku bunga TCMB dalam sebuah rapat dengan Pemerintah Turki.
Dianggap melawan, Erdogan pun tak segan untuk segera mengusir Çetinkaya dari posisinya tak lama setelah selisih paham itu terjadi. Langkah yang baru pertama kali diambil Pemerintah Turki semenjak 1981 itu mengejutkan semua pihak. Alhasil, mata uang lira merosot sebanyak 3 persen dan indeks saham gabungan di Istanbul turun sebanyak 1,5 persen dua hari setelah pengumuman tersebut.
Hal serupa juga terjadi di India ketika Raghuram Rajan, mantan Gubernur Reserve Bank of India (RBI), mengundurkan diri. Rajan, seorang ekonom kawakan India, ditunjuk untuk menjadi Gubernur Bank Sentral India pada 2013. Selama menjabat, ia terkenal keras dan sangat konservatif, terutama dalam hal suku bunga. Sikap kerasnya yang enggan menurunkan tingkat suku bunga dihujani oleh kritik dari kubu pemerintah, terutama mereka yang berada di belakang Perdana Menteri India Narendra Modi. Tak betah dengan tekanan tersebut, Rajan pun akhirnya mengundurkan diri secara tiba-tiba pada 2016.
Sebetulnya, langkah Rajan yang keras tersebut membuahkan hasil. Selama ia menjabat, tingkat inflasi di India berhasil ditekan dari angka di atas 10 persen menjadi di kisaran 2-6 persen. Namun, setelah Rajan pergi, Gubernur bank sentral yang baru justru bersikap lebih lembek terhadap tekanan dari pemerintah dengan menuruti permintaan untuk terus memotong suku bunga. Hasilnya, dalam rentang satu tahun setelah Rajan meninggalkan RBI, tingkat inflasi di India terus merangkak naik hampir ke tingkat 10 persen.
Dari kedua contoh kasus di atas, Indonesia perlu hati-hati dalam hal revisi UU BI. Intervensi yang menggoyang independensi BI akan membuat fungsinya sebagai bank sentral menjadi tidak efektif. Kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang dipaksakan untuk diakomodasi dalam bentuk kebijakan moneter telah terbukti berdampak buruk terhadap situasi ekonomi jangka panjang.
Pada akhirnya, ketika inflasi yang tak terkendali, masyarakatlah yang harus menanggung akibatnya. RUU BI harus menjamin independensi bank sentral tetap terjaga, bukan malah sebaliknya. (LITBANG KOMPAS)