Alzheimer, Beratnya Merawat Lupa
Penyebab demensia, termasuk alzheimer, bisa sangat kompleks. Ada kombinasi antara usia, faktor genetis, dan lingkungan. Problem obesitas, kolesterol, diabetes, dan hipertensi juga dapat berkontribusi.
Penerimaan masyarakat terhadap pengidap demensia alzheimer di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terbilang tinggi meskipun mereka kurang memahami penyakit ini. Selama ini, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya memahami alzheimer. Sebagian besar orang selalu mengaitkan alzheimer dengan orang yang pikun. Hal tersebut juga kerap dianggap lumrah seiring menuanya usia.
Ternyata persepsi masyarakat selama ini kurang tepat. Sebetulnya, yang terjadi adalah demensia, atau gejala ketika otak mengalami gangguan dalam fungsi lainnya seperti membuat keputusan, komunikasi, perilaku dan emosi.
Menurut Paola Barbarino, CEO Alzheimer’s Disease International (ADI), demensia tak terkait usia. Pada intinya, demensia terjadi jika terjadi penurunan fungsi otak secara progresif, dengan gejala seperti gangguan daya ingat, sulit fokus, disorientasi waktu dan tempat, serta perubahan sifat.
Meski demikian, demensia, khususnya demensia alzheimer, umumnya dialami lansia. Demensia kebanyakan dialami orang dengan rata-rata usia di atas 65 tahun. Sebanyak lebih kurang 70 persen kasus demensia adalah penyakit alzheimer (Kompas, 6/11/2017).
Faktor penyebab
Secara medis, demensia merupakan kumpulan gejala penurunan fungsi kognitif yang sedemikian rupa sehingga mengganggu kemampuan dan aktivitas sehari-hari. Adapun Alzheimer adalah salah satu jenis demensia yang banyak terjadi. Jenis demensia lain meliputi demensia vaskular, lewy bodies, frontotemporal, dan parkinson.
Penyebab penyakit ini bisa sangat kompleks. Umumnya ada kombinasi antara usia, faktor genetis, dan lingkungan. Kondisi kesehatan seperti obesitas, kolesterol, diabetes, dan hipertensi juga bisa menjadi faktor munculnya demensia.
Baca juga: Deteksi Dini Demensia Sebelum Perubahan Perilaku Muncul
Hal lainnya, demensia bisa disebabkan faktor gaya hidup seperti kebiasaan mengonsumsi rokok dan minuman beralkohol, atau jarang berolahraga. Ada juga faktor lain, seperti cedera berat pada kepala atau leher atau down syndrome.
Pada alzheimer, biasanya terjadi penumpukan zat abnormal yang mengganggu sistem persinyalan antarsel saraf. Hal ini selanjutnya menyebabkan turunnya produksi sejumlah zat kimia penting dalam otak.
Zat kimia tersebut berfungsi sebagai saluran komunikasi antarsel saraf atau neurotransmitter. Penurunan neurotransmitter inilah yang sering membuat sel-sel saraf tidak bisa menyampaikan sinyal dengan baik.
Problem penanganan
Permasalahan pemahaman dan penanganan alzheimer di Indonesia agaknya cukup serius. Paling tidak ada tiga aspek persoalan yang mencakup ketersediaan data prevalensi, miskonsepsi, dan rendahnya pendidikan perawat/pendamping para pengidap penyakit ini.
Sampai sekarang belum ada data nasional untuk memotret secara tepat prevalensi alzheimer. Pelaporan alzheimer umumnya tidak berbasis fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit. Alzheimer ditangani dengan cara tinggal di rumah bersama keluarga. Belum lagi kalau ada stigma di masyarakat, keluarga bersangkutan cenderung menyembunyikan–termasuk memasung– atau tidak mau melapor karena malu.
Kendala lainnya adalah registrasi. Menurut dr Yuda Taruna, dokter spesialis saraf yang juga pembina Alzheimer Indonesia (Alzi), upaya ini pernah dicoba melalui riset kesehatan dasar (riskesdas), tetapi selalu menemui kesulitan. Teknis pendataannya memerlukan daftar pertanyaan yang panjang, dan belum lagi pengukuran yang membutuhkan waktu lama.
Sulitnya menjaring data pasti dan registrasi itu sejalan juga dengan publikasi World Alzheimer Report 2019. Publikasi dari dari Lembaga Alzheimer’s Disease International ini menyurvei hampir 70.000 responden dari kalangan masyarakat umum, praktisi kesehatan, dan perawat/pendamping alzheimer di 155 negara termasuk Indonesia.
Menurut survei tersebut, penduduk di kawasan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, cenderung tidak sepakat bahwa orang yang hidup dengan demensia harus dipindahkan ke panti jompo. Penerimaan masyarakat umum di kawasan Asia Tenggara terhadap pengidap alzheimer berada di peringkat tertinggi kedua sesudah masyarakat kawasan Mediterania Timur.
Hal ini sejalan dengan pandangan masyarakat Indonesia mengenai terbatasnya layanan kesehatan memadai untuk pengidap alzheimer. Sebanyak 35 persen responden masyarakat umum menyatakan setuju dengan pernyataan bahwa layanan kesehatan bagi pengidap alzheimer belum memadai. Sementara itu, sebanyak 69 persen responden praktisi kesehatan dan 52 persen responden perawat/pendamping berpendapat sama.
Aspek berikutnya adalah miskonsepsi. Hal ini terekam dalam publikasi yang sama. Sebanyak lebih kurang 44 persen responden masyarakat umum setuju dengan pernyataan bahwa pengidap alzheimer adalah orang yang berbahaya. Hampir tiga perempat responden masyarakat umum juga setuju dengan pandangan bahwa pengidap alzheimer merupakan orang yang impulsif dan sulit diprediksi.
Antisipasi
Disadari atau tidak, kehidupan kita dikelilingi oleh penduduk usia tua. Indonesia mulai memasuki periode populasi menua (aging population), yakni umur harapan hidup meningkat, dan jumlah lansia terus bertambah.
Pada 2010, populasi lansia masih sekitar 18 juta, lalu tahun 2019 mencapai 25,9 juta, dan hingga 2035 diprediksi sekitar 48 juta. Dengan kata lain, penting bagi masyarakat Indonesia untuk memperhatikan kebutuhan warga lanjut usia (lansia) mengingat mereka lebih rentan mengalami alzheimer.
Sebanyak lebih kurang 44 persen responden masyarakat umum setuju dengan pernyataan bahwa pengidap alzheimer adalah orang yang berbahaya.
Dalam konteks tersebut, tidak sedikit pengidap alzheimer dirawat bersama keluarga. Artinya, mereka menjalani keseharian bersama perawat informal.
Para perawat ini bisa anggota keluarga inti, tetangga, keluarga lain yang membantu tanpa dibayar, dan asisten rumah tangga tanpa pengetahuan memadai lansia dan alzheimer. Publikasi Badan Pusat Statistik tahun 2019 menunjukkan, sekitar 41 persen lansia tinggal di rumah bersama tiga generasi, dan sekitar 27 persen lansia lain tinggal bersama keluarga.
Namun, hal ini bukanlah berarti pengidap alzheimer i harus tinggal di panti wredha atau jompo, dan rumah asuh. Organisasi yang peduli pada alzheimer, seperti Alzi maupun Alzheimer’s Disease International (ADI) di sejumlah negara justru mendorong agar perawatan disesuaikan dengan situasi masyarakat dan budaya di negara masing-masing.
Antisipasi penting lainnya terkait dengan pandemi Covid-19, yang juga bisa meningkatkan risiko alzheimer. Penyebabnya, pandemi rentan mendorong orang mengalami depresi dan kecemasan. Pada usia paruh baya atau lansia, faktor depresi dan kecemasan diketahui menjadi salah satu faktor pemicu alzheimer. Berdasarkan studi Divisi Psikiatri Fakultas Ilmu Otak University College London awal Juni lalu, pola pikir tertentu, yakni pikiran negatif berulang pada depresi dan kecemasan, menjadi dasar penyebab orang dengan gangguan tersebut lebih rentan mengalami alzheimer.
Baca juga: Menjaga Pikiran Positif di Masa Sulit
Bagaimana peran pemerintah dalam masalah alzheimer? Ada sejumlah permenkes yang mengatur pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan primier maupun rujukan. Salah satunya, Permenkes Nomor 25 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lansia 2016-2019.
Namun, menurut dr Yuda, rencana belum terealisasi sampai sekarang. Pada akhirnya, harus disadari bahwa dalam hal ini keluarga menjadi fondasi untuk perawatan. Membangun sebanyak-banyaknya panti jelas bukan solusi terbaik.
Yang lebih utama adalah long term care, atau pendampingan bagi keluarga yang anggotanya merawat lansia, termasuk sosialisasi dan pelatihan. Hal inilah yang menjadi fokus perayaan Hari Alzheimer Dunia 2020 pada 21 September nanti.
(LITBANG KOMPAS)