Sudah saatnya EBT menjadi prioritas pembangunan energi dunia sebagai langkah menahan kerusakan bumi. Tenaga matahari menjanjikan potensi energi besar dan dapat digunakan baik di perkotaan maupun perdesaan.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·5 menit baca
Energi baru terbarukan semakin berpeluang menggantikan bahan bakar fosil di masa depan. Penggunaan tenaga surya dalam beberapa tahun ke depan diprediksi akan memimpin transformasi energi baru terbarukan tersebut. Perubahan kebijakan negara-negara dan penurunan biaya menyebabkan peningkatan penggunaan tenaga surya.
Isu lingkungan mendorong negara-negara dan organisasi dunia untuk melakukan transformasi penggunaan energi yang ramah lingkungan. Hal ini dilakukan sebagai implementasi sejumlah kesepakatan yang telah ditandatangani untuk menekan perubahan iklim. Salah satunya adalah kesepakatan Paris (2015) yang menyetujui penurunan emisi global sebesar 7,6 persen per tahun hingga 2030.
Transformasi penggunaan energi dimaksudkan untuk mengubah sumber energi yang tidak dapat diperbarui menjadi sumber energi baru terbarukan (EBT). Hal ini berarti mengubah penggunaan batubara dan minyak menjadi penggunaan air, angin, sinar matahari, tenaga bioenergi, dan tenaga panas bumi sebagai sumber energi.
Transformasi ini akan terus berlanjut seiring dengan semakin kritisnya kondisi bumi. Di masa depan, EBT sangat berpeluang menggantikan sumber energi bahan bakar fosil. Data tren penggunaan energi dunia menunjukkan, penggunaan bahan bakar fosil terus menurun, sementara penggunaan EBT meningkat.
Selama ini, bahan bakar fosil masih mendominasi sumber energi. Setidaknya 75 persen energi dunia bersumber dari bahan bakar fosil. Sementara penggunaan EBT hanya menyumbang listrik global sebanyak 25 persen pada 2018.
Namun, jika dilihat dari trennya, penggunaan EBT semakin meningkat dalam dua dekade. Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), pada 2000, hanya 18,7 persen EBT yang digunakan sebagai sumber energi listrik dunia. Pada 2018, persentasenya meningkat menjadi 25,6 persen.
Dari sisi produksi pun, Bank Dunia mencatat, terjadi kenaikan pesat produksi EBT selama periode yang sama. Pada 2000, produksi listrik yang bersumber dari EBT hanya sejumlah 217,1 miliar kWh. Kemudian, pada 2015, jumlahnya meningkat menjadi 1,65 triliun kWh.
Sementara persentase sumber energi batubara dan minyak untuk pembangkit listrik menurun. Tahun 2000, proporsi pembangkit listrik yang menggunakan batubara mencapai 38,9 persen. Namun, pada 2018, proporsinya turun menjadi 38,2 persen.
Penurunan yang lebih parah terjadi pada pembangkit listrik berbahan minyak. Dibandingkan tahun 2000, proporsi pembangkit listrik berbahan minyak menurun 4,8 persen dari 7,7 persen menjadi 2,9 persen pada 2018.
Era tenaga surya
Menurut IEA, pesatnya peningkatan penggunaan EBT didorong oleh meningkatnya penambahan kapasitas tenaga surya berupa solar photovoltaics (PV) atau panel surya. Pada 2016, kapasitas panel surya meningkat lebih dari 50 persen atau mencapai 74 gigawatt.
Peningkatan tersebut merupakan pencapaian besar. Untuk pertama kalinya pertumbuhan kapasitas energi panel surya melebihi bahan bakar lain, termasuk batubara, yang mencapai 57 gigawatt. Hal ini menjadi momentum tumbuhnya era tenaga surya bagi EBT.
Panel surya atau sel surya atau sel PV terbuat dari semikonduktor yang menangkap sinar matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik. Dilihat dari besaran kapasitas dan jenisnya, panel surya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu distributed PV dan utility-scale PV.
Distributed PV mencakup jangkauan area permukiman, komersial, dan industri. Sementara utility-scale PV mencakup pembangkit listrik yang lebih luas dan kapasitas lebih besar.
Perkembangan pemanfaatan panel surya dapat dilihat dari tren penambahan kapasitas bersih EBT. Penambahan kapasitas bersih tersebut adalah tambahan potensi energi yang dapat dihasilkan dari EBT. Semakin tinggi penambahannya, semakin besar potensi energi yang dihasilkan.
Dalam laporan Renewables 2018, diperkirakan dalam periode 2018-2024, kapasitas bersih energi panel surya akan bertambah 575 gigawatt. Jika dibandingkan pada periode sebelumnya (2012-2017), jumlah tersebut meningkat 75,8 persen.
Tingginya pertumbuhan kapasitas bersih panel surya didorong oleh peningkatan jangkauan operasional pada area perumahan, komersial, dan industri (distributed PV). Pada 2012-2017, kapasitas bersih panel surya untuk distributed PV hanya 122 gigawatt atau 37 persen dari total penambahan kapasitas bersih panel surya. Pada periode 2018-2023 diperkirakan terjadi penambahan kapasitas bersih menjadi 256 gigawatt atau 44,5 persen dari total penambahan kapasitas bersih panel surya.
Dibandingkan dengan jenis EBT lain, peningkatan penambahan kapasitas energi panel surya memang paling tinggi. Pada periode 2012-2017, penambahan kapasitas bersih energi angin mencapai 295 gigawatt. Penambahan kapasitas bersih untuk energi air dan bioenergi mencapai 327 gigawatt dan 41 gigawatt.
Dukungan pengembangan
Namun, jika dilihat dari produksi listrik yang dihasilkan dari EBT, energi surya masih di berada di bawah pembangkit listrik tenaga air dan angin. Pada 2016, listrik yang dihasilkan oleh energi air dan angin mencapai 4.162 tWh dan 958,2 tWh. Sementara yang dihasilkan oleh energi surya mencapai 329,2 tWh.
Produksi energi oleh air dan angin lebih tinggi karena pemanfaatan kedua EBT ini sudah berlangsung sejak lama. Pengembangan dan pemanfaatannya sudah dilakukan jauh sebelum energi surya berkembang seperti saat ini.
Sementara energi surya baru berkembang baru-baru ini karena dampak dari penurunan biaya. Biaya investasi panel surya untuk perumahan dan area komersial diprediksi akan berkurang 15-35 persen pada 2024. Biaya yang lebih murah akan menarik penanam modal untuk mengembangkan EBT ini.
Didukung dengan kebijakan insentif bagi investasi EBT dalam lima tahun ke depan, diperkirakan instalasi panel surya untuk perumahan, area komersial, dan industri akan mencapai lebih dari 600 GW pada 2024. Jumlah itu setara dengan total kapasitas energi yang terpasang di Jepang pada 2019.
Selain itu, perkembangan EBT tenaga surya juga didukung oleh kebijakan negara-negara dalam memanfaatan EBT. Salah satu negara yang gencar mengeluarkan kebijakan penggunaan EBT adalah China.
Permasalahan polusi udara dan krisis air di China mendorong urgensi pemanfaatan EBT. Bahkan, isu lingkungan ini menjadi perhatian utama masyarakat melebihi isu korupsi. Menurut Chen Jinping, mantan Pemimpin Urusan Legislatif dan Politik Partai Komunis, pada 2013, isu lingkungan menjadi alasan utama yang melatarbelakangi berbagai aksi protes masyarakat.
Pesatnya peningkatan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) didorong oleh meningkatnya penambahan kapasitas tenaga surya berupa panel surya.
Karena itu, problem ini ditindaklanjuti dengan mengeluarkan kebijakan pemanfaatan energi bersih. Kebijakan tersebut didukung dengan komitmen China untuk berinvestasi terhadap produksi dan konsumsi EBT. Seperti pada Rencana Lima Tahun Kelistrikan ke-13 (2016-2020), China akan meningkatkan produksi listrik nasional EBT dari 35 persen menjadi 39 persen pada 2020.
Selain itu, China’s National Energy Administration (NEA) dan National Development and Reform Commission (NDRC) juga akan mengeluarkan 360 miliar dollar AS untuk mengembangkan EBT dan menciptakan 13 juta lapangan pekerjaan pada 2020. Dengan adanya sejumlah kebijakan ini, diperkirakan 36 persen dan 40 persen pertumbuhan energi surya dan angin dunia dalam lima tahun ke depan berasal dari China.
Dengan demikian, transformasi energi dunia menjadi EBT membutuhkan komitmen dari setiap negara. Sudah saatnya EBT menjadi prioritas pembangunan energi dunia sebagai langkah menahan kerusakan bumi.
Perkembangan teknologi dan berkurangnya biaya investasi menjadi awal untuk memulai langkah ini. Apalagi, tidak hanya angin dan air yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Ada tenaga matahari yang menjanjikan potensi energi besar dan dapat digunakan di perkotaan ataupun perdesaan. (LITBANG KOMPAS)