Masa Depan Covid-19 di Tangan Kita
Covid-19 menjadi pandemi yang paling mengancam warga dunia pada dua dekade terakhir. Dalam situasi itu, sejumlah negara, seperti Korsel, Thailand, dan Selandia Baru, diapresiasi WHO karena dinilai mampu menangani wabah.
Kondisi darurat kesehatan global masih berlangsung setelah enam bulan pandemi Covid-19. Kewaspadaan berkelanjutan dibutuhkan untuk menekan penularan virus korona.
Enam bulan pandemi Covid-19 memberikan dua tantangan besar. Pertama, kasus yang masih masif terjadi dan berikutnya adalah masa depan pandemi itu sendiri.
Masalah itu disampaikan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus. Ia menggambarkan enam bulan pandemi dalam dua istilah, yaitu the most severe (paling berat) dan prisoners of the pandemic (tawanan pandemi). Kedua istilah merujuk pada kondisi darurat kesehatan yang masih berlangsung.
Diksi ”paling berat” merupakan metafora dari keadaan saat ini dan masa enam bulan yang sudah berlalu. Adapun istilah ”tawanan pandemi” merupakan pilihan terhadap masa depan pandemi. Kita akan memilih apa, terperangkap atau bebas dari pandemi?
Kondisi berat pandemi Covid-19 terlihat dari lonjakan kasus dan perbandingannya dengan pandemi lain dalam 20 tahun terakhir. Sejak WHO menetapkan wabah virus korona sebagai darurat kesehatan pada 30 Januari 2020, pandemi Covid-19 telah berlangsung lebih dari enam bulan. Adapun di Indonesia, masa enam bulan tercapai pada 2 September, terhitung sejak diumumkan kasus pertama 2 Maret.
Saat WHO menyatakan darurat kesehatan global, baru ditemukan 82 kasus korona di luar China dan belum ada kematian yang dilaporkan. Per 6 September, menurut data worldometers, Covid-19 secara akumulatif sudah menjangkiti lebih dari 27 juta orang (lebih dari 19 juta di antaranya sembuh) dan mengakibatkan 884.106 orang meninggal. Di Indonesia, total 194.109 orang positif Covid-19 (138.575 orang di antaranya sembuh) dan 8.025 orang meninggal.
Covid-19 menjadi pandemi yang paling mengancam penduduk dunia dalam dua dekade terakhir. Ebola yang mewabah pada 2014-2016 menjangkiti 28.616 orang dan mengakibatkan 11.310 orang meninggal. Sebelumnya, 2.519 orang terpapar wabah sindrom pernapasan Timur Tengah (Middle East Respiratory Syndrom/MERS) yang merebak pada 2012. Jumlah korban jiwa mencapai 866 orang. Pandemi lainnya flu babi, yang diakibatkan virus H1N1 pada 2009, mengakibatkan 151.700–575.400 orang meninggal. Jumlah kasus Covid-19 juga lebih banyak terjadi dibandingkan dengan penyakit sindrom pernapasan akut parah atau severe acute respiratory syndrome (SARS).
Penyakit SARS menjangkiti 8.096 orang selama 2002-2003. Paparan penyakit SARS mengakibatkan 774 orang meninggal. Besarnya paparan Covid-19 dibandingkan dengan pandemi lainnya dalam dua dekade ini memberi bukti betapa berbahayanya penularan virus korona ini.
Pengendalian wabah
Masih masifnya penularan virus korona membutuhkan komitmen politik dari pemimpin di seluruh dunia. WHO mengingatkan komitmen ini terutama untuk mengambil langkah-langkah dasar guna menekan penularan. Langkah itu ialah menemukan kasus dengan tes Covid-19, mengisolasi dan merawat pasien, serta melacak dan mengarantina warga.
Sayangnya, strategi tersebut tak semuanya dijalankan secara standar. Dalam konteks enam bulan pandemi, komitmen ini diingatkan kembali oleh WHO.
Meski demikian, WHO mencatat beberapa negara yang mampu mengendalikan wabah, seperti Jerman, Kanada, dan China. Negara-negara ini mampu mengendalikan wabah dengan tingkat kasus harian dan kasus aktif yang menurun.
Baca juga: Enam Bulan Melawan Covid-19
Upaya pengendalian wabah korona membuat Jerman sudah melewati puncak wabah. Pada 6 April, terdapat 72.865 kasus aktif dengan kurvanya melandai. Kasus aktif pada 30 Juli di Jerman menjadi 8.432 kasus. Demikian pula dengan kasus harian yang menurun menjadi 842 pada 30 Juli 2020 dari sebelumnya 6.813 pada 2 April 2020.
Hal serupa terjadi Kanada. Jumlah kasus aktif tertinggi tercatat 35.014 kasus pada 30 Mei. Strategi penanganan wabah membuat kasus aktif dapat ditekan menjadi 6.008 pada 30 Juli. Kasus harian pada 30 Juli 329 kasus, jauh menurun dibandingkan pada saat puncak yang mencapai 2.760.
Wabah juga dapat dikendalikan China. Hingga pertengahan Februari, China masih menghadapi tingkat infeksi virus korona yang masif. Jumlah kasus aktif pada 17 Februari mencapai 58.016. Lambat laun jumlah kasus aktif ditekan hingga 574 pada 30 Juli. Kasus harian pada enam bulan pandemi turun menjadi 105 kasus.
Sebenarnya tak ada hal khusus dari penanganan wabah di tiga negara itu. Mereka menerapkan protokol kesehatan sesuai dengan standar darurat kesehatan global yang ditetapkan WHO, yaitu pembatasan fisik serta menerapkan pola hidup bersih bagi seluruh warga dengan cuci tangan serta memakai masker.
Pengendalian dikoordinasikan lembaga atau satuan tugas khusus yang dibentuk pemerintah dengan anggaran dana dan dukungan fasilitas. Untuk mencegah penularan, ketiga negara menerapkan karantina, penutupan perbatasan internasional, serta mengalokasikan tambahan anggaran kesehatan untuk menyediakan fasilitas kesehatan darurat dan tambahan tenaga medis.
Artinya, tidak ada yang istimewa dari penanganan yang dilakukan mereka.
Negara-negara lain, termasuk Indonesia, juga menerapkan kebijakan dan protokol yang sama. Namun, mengapa muncul perbedaan hasil pengendalian wabah korona?
Refleksi enam bulan pandemi yang diutarakan Dirjen WHO Ghebreyesus memberikan jawabannya. Inti dan modal dasar dalam menangani wabah Covid-19 adalah tekad sekaligus kerelaan untuk melakukan langkah besar terutama oleh pemerintah. Kebijakan sulit harus berani dijalankan. Penutupan perbatasan, larangan masuk penerbangan asing, alokasi anggaran kesehatan, melarang kerumunan warga menjadi domain pemerintah.
Tawanan pandemi
Tekad menanggulangi wabah itulah yang membuat Pemerintah Jerman tak hanya menyusun peraturan dan menerapkan karantina wilayah, tetapi juga membangun fasilitas kesehatan dan laboratorium untuk melakukan tes.
Jerman meningkatkan kapasitas rawat darurat ICU dari 12.000 tempat tidur menjadi 40.000 unit. Dukungan fasilitas perawatan membuat tingkat kematian pasien Covid-19 di Jerman rendah, 3,7 persen.
Jerman menyediakan pula banyak laboratorium yang dapat menguji virus dan memberi fasilitas bagi peneliti untuk mengembangkan tes cepat. Jerman merupakan salah satu negara Eropa yang melakukan tes Covid-19 paling banyak.
Tingkat pengecekan di Jerman berada di angka 147.714 per 1 juta penduduk. Dengan tingkat pengecekan yang tinggi, Jerman bisa melakukan pelacakan secara cepat dan tepat.
Jerman merupakan salah satu negara Eropa yang melakukan tes Covid-19 paling banyak.
Jerman mulai melonggarkan pembatasan sosial pada 20 April ketika Robert Koch Institute melaporkan angka reproduksi virus turun hingga 0,7. Angka reproduksi kurang dari satu diperlukan sebagai jaminan untuk menghindari gelombang kedua infeksi.
Setelah pelonggaran, mitigasi risiko penularan tetap dijalankan. Pada awalnya, hanya toko kelontong dengan luas maksimal 800 meter persegi yang diizinkan dibuka kembali. Jerman juga kembali memberlakukan karantina di wilayah dengan 50 kasus baru pada tiap 100.000 penduduk per pekan.
Pemerintah Jerman menyadari keberhasilan memperlambat penyebaran virus karena kebijakan yang diterapkan mendapat partisipasi warga. Dukungan ini tidak jatuh dari langit. Partisipasi muncul karena pemerintah menunjukkan informasi yang tepat tentang virus dan peta jalan untuk pemulihan bagi seluruh warga.
Partisipasi warga, sistem kesehatan yang didanai dengan baik, penggunaan teknologi, serta kebijakan yang tegas membuat Jerman menjadi negara paling aman dari Covid-19 berdasarkan riset lembaga Deep Knowledge Group yang dirilis Forbes pada 3 September 2020.
Belajar dari penanganan korona di Jerman, intinya bukan apakah suatu negara telah terkena Covid-19 atau tidak, tetapi apakah ada kemauan politik yang kuat untuk menangani wabah? Jika suatu negara memiliki mitigasi wabah yang baik, dapat dipastikan negara tersebut dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan Dirjen WHO tentang masa depan pandemi Covid-19.
Baca juga: Kepatuhan terhadap Protokol Kesehatan Covid-19
WHO juga mengapresiasi sejumlah negara lain yang berhasil menangani wabah, seperti Korsel, Thailand, Kamboja, Selandia Baru, Rwanda, dan Vietnam. Keberhasilan negara lain menekan penularan menjadi bahan refleksi enam bulan pandemi Covid-19 di Indonesia. Pada 2 September, kasus aktif Covid-19 di Indonesia mencapai 43.059 dan kasus harian 3.075. Dalam enam bulan, kurva kasus Covid-19 terus menanjak.
Artinya, Indonesia belum aman dari wabah korona. Indonesia bahkan belum melewati titik puncak wabah. Kurva kasus aktif dan kasus harian yang terus menanjak memberi gambaran masih tingginya penularan virus. Tak ada cara lain, penanganan pandemi Covid-19 harus mengutamakan pengendalian dari aspek kesehatan di bawah kendali Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
(LITBANG KOMPAS)